Saat Anda melintas di jalan-jalan utama kota, cobalah berhenti sejenak. Jalanan begitu rimbun dengan produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Baca dengan saksama satu per satu. Bisa jadi isi pikiran kita sama, di mana saya ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Kenyataannya kita disuguhi beragam tulisan didominasi kata dan istilah asing terutama bahasa Inggris. Gerbang-gerbang perumahan merasa gagah dengan embel-embel Residences, Village, Town Hills,Hill Residence, atau City. Penghuninya jangan-jangan tidak tahu artinya apa. Di depan pusat perbelanjaan, berjajar spanduk bertuliskan, GREAT SALE, BIG SALE UP TO 70%, dan Department Store. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata, “Selamat Datang”. Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah mencermati saat masuk hotel. Seolah demi mendongkrak hotel berbintang agar lebih berbintang-bintang, bahasa Inggris ditebar di mana-mana. Tamu dijamu tulisan “In” di pintu masuk. Petunjuk bertuliskan, Please Do not Disturb (dalam ukuran besar) menggelayut di pintu kamar. Seolah malu-malu, di bawahnya tersemat tulisan Mohon Jangan Ganggu dalam ukuran kecil. Tamu pun bisa tersasar saat membaca petunjuk Rest Room. Sebagian kita mengira, itu arah ke kamar tidur, eh ternyata toilet. Di bandara suasana asing kian terasa. Beragam petunjuk bertuliskan, Departure, Check in area, Drop Zone, Boarding Lounge,Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found. Parahnya, petunjuk seperti itu di beberapa bandara tanpa keterangan bahasa Indonesia. Kalaupun menggunakan keterangan bahasa Indonesia, ukurannya kecil dan posisinya di bawah tulisan bahasa Inggris. Fakta-fakta tersebut baru sedikit gambaran penggunaan bahasa di tempat umum. Sungguh memprihatinkan. Padahal kita tinggal di negara yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ironis lagi, segmen pembaca baliho maupun spanduk itu pun orang Indonesia. Begitu pula mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara juga orang Indonesia. Lalu, mengapa bahasa Inggris lebih disanjung? Sejarah bahasa Indonesia, berjasa sampai sekarang sebagai pemersatu bangsa, tidak menjadikannya mendapat posisi terhormat. Bangsa sendiri saja kurang menghargai, apalagi bangsa lain. Saat ada anak negeri melamar pekerjaan di perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, semacam ada tuntutan penguasaan bahasa Inggris. Hal itu bisa jadi dilatarbelakangi jajaran petinggi yang lebih banyak berbahasa Inggris. Seharusnya para pekerja asing itulah yang menyesuaikan diri untuk belajar bahasa Indonesia. Sependapat dengan Menteri Tenaga Kerja, sebuah ketidakadilan apabila orang Indonesia hendak bekerja ke Jepang, Korea, Hongkong harus menguasai bahasa mereka. Giliran orang asing bekerja di Indonesia dengan modal terima kasih dan selamat pagi bisa mendapat posisi strategis. Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang atau lembaga lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa memang terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai pandangan terhadap bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Seseorang atau institusi tertentu lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Bahasa Inggris dianggap lebih eksklusif. Bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Bahasa Inggris lebih keren. Bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk/jasa. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Sebenarnya, sudah ada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Seperti pada pasal 36 ayat (3) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Seandainya dua puluh satu pasal mengenai bahasa negara dalam UU tersebut dapat ditegakkan, kekacauan penggunaan bahasa tidak perlu ditemui lagi. Sedangkan terkait tenaga kerja asing, menurut Farah Fitriani, sebenarnya dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing pasal 26 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa salah satu persyaratan TKA bekerja di Indonesia adalah dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Peraturan tersebut belum dapat dijalankan dengan efektif karena belum ada peraturan lain yang khusus membahas pelaksanaan dan pengawasan mengenai TKA bisa berbahasa Indonesia. Semoga wacana Menteri Hanif Dhakiri yang akan memberikan Uji Kemampuan Bahasa Indonesia bagi TKA segera direalisasikan. Membutuh Kesadaran Bersama Upaya pemerintah membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, dinahkodai Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dukungan bersama. Sosialisasi dan penegakan aturan tentang penggunaan bahasa Indonesia di daerah-daerah harus dibarengi kepedulian masyarakat. Menjadi tanggung jawab bersama menjaga bahasa Indonesia agar tidak ‘asing di negeri sendiri’. Bukan berarti kita alergi globalisasi. Bahasa Iggris dan bahasa asing lainnya perlu kita kuasai. Meski demikian, bahasa Indonesia berhak mendapat posisi terhormat. Kita berkewajiban menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia. Keteladanan pemimpin di pusat maupun daerah menjadi keharusan. Kita akan dapat tersenyum bangga kala bertandang ke kantor-kantor, perumahan, pusat perbelanjaan, hotel, maupun bandara. Tulisan Selamat Datang (dalam ukuran besar) dan di bawahnya Welcome (dalam ukuran kecil) ramah menyambut kita. Para pekerja kita pun percaya diri menyapa pekerja asing, “Selamat pagi”. * Opini Ali Kusno belum dipublikasikan “Saya bersedia mengganti seluruh pengeluaran sponsorship maupun CSR untuk pengadaan mobil listrik kalau memang proyek tersebut tidak diperbolehkan menggunakan dana sponsorship atau CSR. Saya merasa sedih karena mantan anak buah saya di kementerian BUMN dijadikan tersangka karena mengkoordinasikan CSR/sponsorship untuk pembuatan mobil listrik.” (Dahlan Iskan) Marah, sedih, bercampur jengkel. Mungkin itulah gambaran perasaan Dahlan Iskan dalam penggalan catatan ‘Mobil Listrik’ di gardudahlan.com. Dahlan Iskan pada 5 Juni 2015 ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Sebuah berita besar. ‘Dahlan Iskan Tersangka’ menjadi headline media massa nasional. Sebuah antiklimaks citra Dahlan Iskan selama menjabat Dirut PLN maupun Menteri BUMN. Selama ini masyarakat mengenal sosok Dahlan Iskan yang sederhana, bersih, dan merakyat. Sebagai rakyat biasa yang sebatas kenal dari catatan-catatan beliau, tentu kaget. Penetapan tersangka tersebut juga menimbulkan kekhawatiran Dahlan Iskan bakal mengunakan halaman-halaman Jawa Pos Group sebagai corong sekaligus tameng. Kekhawatiran itu segera dijawab dalam catatan ‘Soal Corong’. Dahlan Iskan memastikan tidak menggunakan Jawa Pos Group sebagai media menghadapi perkara yang membelitnya. Dahlan Iskan lebih memilih gardudahlan.com sebagai media klarifikasi kepada masyarakat. Penulis tidak ingin masuk pada carut marut perkara hukum tersebut. Tidak kalah menarik dari perkara hukum, pilihan Dahlan Iskan agar Jawa Pos Group tidak cawe-cawe. Media dan Kekuasaan Fakta media massa, sebagai salah satu sarana yang banyak digunakan untuk mengakses informasi, tidak terbantahkan. Media massa berpotensi memproduksi, menyebarluaskan, dan menentukan makna sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa dapat dimaknai positif maupun negatif dengan giringan media massa. Kelebihan media massa tersebut memang rentan disalahgunakan. Media massa dapat dimanfaatkan sebagai sarana mempengaruhi masyarakat. Media massa dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini masyarakat. Bila media massa dalam cengkraman penguasa, fungsi kontrol pun hilang. Menurut Joanna Thornborrow (Thomas, 2006) salah satu aspek penting dari potensi kekuasaan media jika dilihat dari sudut pandang linguistik adalah cara media memberitakan orang atau kejadian. Bentuk linguistik tentu dapat mempengaruhi nuansa dan makna yang ditimbulkan. Dua artikel dari media yang berbeda, cenderung menggunakan bentuk linguistik yang juga berbeda. Meski kejadian atau permasalahan sama. Meski sumber beritanya sama. Bila bentuk linguistik berbeda, penafsiran pun bisa berbeda. Dahlan Iskan sebenarnya memungkinkan mengarahkan Jawa Pos Group membentuk opini masyarakat ‘Dahlan Iskan tidak bersalah’. Dahlan Iskan sangat memungkinkan memberikan klarifikasi versinya. Jawa Pos Group layaknya ‘anak-anak’ Dahlan Iskan. Kalau pun tidak ada perintah, Jawa Pos Group bisa berlaku mikul duwur mendem jero. Menyampaikan kebaikan Dahlan Iskan dan memendam kekurangannya. Rupanya Dahlan Iskan tidak ingin itu terjadi. Dahlan Iskan tidak ingin menjerumuskan Jawa Pos Group. “Biarlah (Jawa Pos Group) menjadi corong bagi siapa saja.” Bisa jadi Dahlan Iskan belajar dari dunia pertelevisian kita. Sudah rahasia umum. Beberapa stasiun televisi berafilisasi dengan partai politik. Suguhan tontonannya pun ikut dipolitisasi. Sebagai contoh, Umar Fauzan dalam disertasinya Analisis Wacana Kritis Teks Berita MetroTV dan tvOne mengenai ‘Luapan Lumpur Sidoarjo’ (pasca.uns.ac.id) telah membuktikan. Dalam berita terkait ‘Luapan Lumpur Lapindo’ struktur teks MetroTV tidak hanya berisi pemaparan peristiwa. MetroTV juga memberi pemaparan hal-hal negatif yang mengangkat hal tidak baik (buruk) dari PT Lapindo Brantas. Sebaliknya, struktur teks tvOne tidak hanya berisi pemaparan informasi sebagaimana lazimnya teks berita. TvOne juga memberi nuansa argumentasi untuk teks berita. Tujuannya jelas, menetralkan isu-isu yang negatif. Secara ideologi, MetroTV menggunakan pencitraan negatif dengan menyerang. Sebaliknya ideologi tvOne menggunakan pencitraan positif dengan membela diri dan menentralkan isu-isu negatif pihak lain. Kedua seteru tentu berebut simpati dari masyarakat. Fakta tersebut membuktikan media massa yang terkontaminasi kepentingan tertentu maka tumpullah penanya. Wacana ‘Gardu’ Akal Sehat Catatan tidak bisa lepas dari sosok Dahlan Iskan. Baik saat menjabat CEO Jawa Pos, Dirut PLN, Menteri BUMN, maupun waktu ‘Menuntut Ilmu di AS’. Kini Dahlan Iskan memiliki kesibukan tambahan. Jabatan ‘tersangka’ memaksa beliau membuat catatan Gardu Akal Sehat Dahlan Iskan. Menurut penulis, catatan dalam gardudahlan.com efektif memberi pemahaman masyarakat tentang duduk perkara yang membelit Dahlan Iskan. Meskipun penjelasan Dahlan Iskan singkat. Meskipun penjelasan Dahlan Iskan sepotong-sepotong. Beliau membutuhkan waktu memutar ulang cuplikan episode yang sudah lama tayang. Masyarakat yang setia membaca setiap catatan Dahlan Iskan tentu lebih mudah memahami. Mereka lebih ‘nyambung’. Kebijakan maupun terobosan yang dilakukan Dahlan Iskan selama menjabat Dirut PLN maupun Menteri BUMN terekam dalam bundel catatan. Kecuali riak-riak tersembunyi yang Dahlan Iskan tak berkenan menuliskannya. Kita mengenal Dahlan Iskan sebagai mantan wartawan yang lihai merangkai catatan. Bahasanya enak dan mengalir. Bahasanya mudah dipahami pembaca. Semoga beliau juga lihai membuat catatan hukum. Pembelaan atas jeratan hukum yang mebelitnya. Dahlan Iskan orang yang bersih. Aroma citra itu keluar dari keringat kerja keras Dahlan Iskan. Kini episode hidup Dahlan Iskan ceritanya lebih menantang. Ceritanya penuh kejutan. Semoga Dahlan Iskan mampu menjaga citra yang kita kenal selama ini. Dahlan Iskan ‘bapak’ yang baik. Beliau tidak ingin menjerumuskan ‘anak-anak’nya ke jurang kesesatan. Biarlah Jawa Pos Group menjadi milik masyarakat. Semoga ketajaman pena Jawa Pos Group tetap terjaga. Kita lihat saja. * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos Ada satu foto mantan Presiden Soeharto sedang melambaikan tangan kanan. Meskipun wajahnya tampak tua dengan rambut sudah memutih, Soeharto tersenyum sumringah. Senyumnya benar-benar lebar. Selebar senyum petani memandang hijaunya tanaman padi. Soeharto, mengenakan jaket, wajahnya menoleh. Di bagian bawah foto tertulis, “Piye, isih penak zamanku, to?” Kalimat itu dalam bahasa Indonesia artinya, “Gimana, masih enak zamanku kan?” Sebuah guyonan politik penuh kritik nan menggelitik. Sungguh komplet. Itulah meme yang sekarang kita kenal meskipun sebenarnya ada beragam meme. Siapa yang tidak tahu meme? Foto menarik disertai tulisan kreatif, unik, juga asik. Kreativitas pembuat meme terlihat dari hasil meme yang dibuat. Meme akrab bagi pengguna media sosial, seperti facebook, path, twitter, instagram dan lainya. Meme menjadi sebuah kombinasi yang pas antara gambar dan tulisan untuk menyampaikan pesan. Perpaduan gambar dan tulisan itu dapat membentuk ruang makna baru. Sebuah bentuk penyampaian pesan yang efektif sarat makna. Fenomena meme berawal dari munculnya ide kreatif para pengguna media sosial untuk merespon beragam permasalahan di masyarakat. Kemasannya yang sarat humor dinilai mampu menjadi alternatif berpendapat dan berkespresi. Meme begitu ringan, renyah, dan mudah dicerna. Meme berhasil apabila imajinasi yang dituangkan pembuat meme dapat mudah dipahami pembaca. Karakter meme di media sosial cukup beragam. Ada meme humor. Para pengguna internet kreatif memplesetkan foto-foto publik figur dengan tulisan yang mengundang tawa. Meme juga dapat berperan sebagai motivator. Banyak meme memberikan penyemangat bagi pembaca. Semangat untuk bergerak dan berubah. Lagi-lagi dengan nuansa humor. Para pengguna internet lebih suka menggunakan meme sebagai sarana penyampai kritikan. Meme menjadi media kritik baru yang memberi kelapangan kreativitas. Sebagaimana pernah diulas di Koran Jakarta, kritikan melalui meme tidak kalah ‘menyentil’ daripada cara kritik pada umumnya. Yang paling menarik dari model kritik ini ialah kemasan yang selalu memancing tawa pembaca. Apa pun objek kritikannya dapat dikemas dalam humor. Meskipun demikian, pembuat meme harus tetap berhati-hati. Dibalik sisi manis sebagai penyampai pesan, meme dapat menjadi bumerang bagi si pembuat. Beberapa meme mengakibatkan si pembuat harus berurusan dengan hukum. Gara-gara membuat meme yang cenderung menghina bahkan melecehkan pihak tertentu. Pada bulan Agustus 2015 lalu, ramai diperbincangkan salah satu meme yang cenderung menghina dan melecehkan Presiden Jokowi. Sebuah akun Facebook bernama Mansyorie Lamp terancam berurusan dengan hukum karena meme yang dibuat dan diunggahnya. Meme tersebut (whatever.id) bermaksud memberi kritikan dengan gambar wajah Presiden Jokowi yang disamakan dengan barang belanjaan. Meme tersebut disertai tulisan "Punya Presiden Tidak Berguna? Jual aja di Toko Bagus. Langsung ketemu pembelinya. Klik, Ketemuan, Deal." Sungguh keterlaluan dan jauh dari kata sopan. Bukan lagi kritikan, melainkan hinaan. Kasus terbaru (Beritagar.id), meme ‘kreasi’ Imelda Syahrul. Imelda Syahrul membuat meme yang dianggap menghina polisi. Dalam meme tersebut digambarkan Bripda Aris melakukan tindak pidana pungli. Hasil pungli diberikan kepada istrinya melalui transfer. Intinya digambarkan polisi tersebut melakukan tindak kejahatan pungli untuk menghidupi keluarga. Kasus tersebut dimediasi dan akhirnya kedua belah pihak saling memaafkan dan menerima. Ujaran Kebencian Kita sepakat kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang. Sebagai salah satu upaya mengatur kebebasan berekspresi, termasuk di media sosial, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian. Surat ini diharapkan agar para personel Polri bisa lebih memahami dan mampu menangani kasus. Ada 180.000 akun media sosial yang diduga menyebar kebencian yang tengah diselidiki (BBC Indonesia). Kita harus berpikir positif dengan surat edaran tersebut. Semoga sedikit banyak dapat mengerem ujaran yang berisi hinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan yang tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, dan berita bohong. Kita memang harus belajar bertanggung jawab. Setiap tuturan kita baik lisan maupun tulis ada konsekunsinya. Kita harus belajar arif dalam menanggapi berbagai persoalan di masyarakat. Kita berhak menyampaikan pendapat maupun kritikan. Meskipun demikian, etika harus tetap kita kedepankan. Tuturan harus tetap sopan. Kritikan disampaikan atas dasar rasa peduli bukan membenci. Kebencian yang diwujudkan dalam pendapat dan kritikan hanya akan merugikan pihak lain dan diri sendiri. Silakan menggunakan meme sebagai sarana berekspresi, baik berisi humor, motivasi, maupun kritikan. Sebelum kita menggunggah, pastikan meme tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk siap bertanggung jawab apabila ada pihak lain menuntut secara hukum. Meme..., meme.... Rasanya saya juga ingin membuat meme. Semoga tidak masuk ujaran kebencian. Meme mantan Presiden Soeharto melambaikan tangan. Senyumnya merekah seakan berkata, “Mas Bro, gunakno otak lan ototmu kanggo mbangun bongso. Zamanmu bakal luwih kepenak ketimbang zamanku” (Mas Bro, gunakan pikiran dan tenagamu untuk membangun bangsa. Zamanmu akan lebih enak daripada zamanku”). * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa Telah usai perhelatan kompetisi dangdut bertajuk Dangdut Academy Asia (DAA) di salah satu stasiun televisi swasta. Suguhan dangdut dengan kemasan berbeda. Peserta dari negera-negera tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, ikut berkompetisi. Musik dangdut pun naik kasta. Satu hiburan tersendiri di tengah gaduhnya politik negeri dan kesulitan ekonomi. Ada yang menarik. Bisa dibilang keanehan, bisa juga keunikan. Tidak lain bahasa para komentator dan juri dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sungguh menggelitik untuk dikulik. Pemirsa tentu bertanya-tanya. Semoga benar tebakan saya. Kok bahasanya ada yang sama dengan bahasa Indonesia, ya? Kok ada kata-kata yang dituturkan terasa tabu bagi kita? Sebagian kita mungkin tidak menyadari. Selain persaingan kualitas suara peserta, juga ada unjuk bahasa. Antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Unjuk bahasa pada lirik lagu. Unjuk bahasa para komentator dan juri dari negara yang berbeda. Sedikit mengingat sejarah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Akar dialek Melayu di Indonesia berbeda dengan Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sesudah Traktat London 1824 yang ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Bahasa Melayu Riau (kepulauan Nusantara) lebih berkembang pesat dibandingkan bahasa Melayu Johor (Semenanjung Melayu dan Singapura). Seiring perjalanan sejarah, kedua bersaudara itu semakin menunjukkan perbedaan. Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan itu, pertama, dari latar belakang penjajahan. Bahasa Indonesia lebih menyerap bahasa Belanda. Bahasa Malayu (kususnya di Malaysia) lebih menyerap bahasa Inggris. Kedua, dari segi perlakuan, kedua bahasa tersebut diperlakukan sesuai dengan kebijakan kebahasaan di negara masing-masing. Ketiga, dari segi penyerapan kata di negara masing-masing, bahasa Indonesia menyerap pula bahasa-bahasa daerah di Indonesia (https://id.wikipedia.org). Sedikit dari fakta perbedaan itu telah diperankan para komentator dan juri di DAA. Ada penggunan ejaan yang berbeda. Masih ingat perdebatan soal lirik lagu Janji yang diciptakan Alm. A.Rafiq, dan dinyanyikan peserta dari Malaysia. Penggalan lagu itu dinyanyikan dengan, ...sungguh kau tak pandai menimbang rasa, ‘kerana’ janjimu diriku tersiksa.... Dalam Bahasa Indonesia menggunakan kata ‘karena,’ sedangkan dalam bahasa Malayu menggunakan kata ‘kerana.’ Ada juga kata yang sama memiliki makna berbeda. Contohnya pada saat komentator dari Malaysia mengomentari penampilan peserta, dengan mengucapkan “...memek muka” yang mengacu pada raut wajah seseorang. Tuturan itu sontak membuat kita terhenyak. Bagi penutur bahasa Indonesia, kata ‘memek’ memiliki arti, (maaf) mengacu kepada alat kelamin wanita. Sedangkan kata yang mengacu pada raut wajah dalam bahasa Indonesia menggunakan kata ‘mimik.’ Sebaliknya kata ‘butuh’, dalam bahasa Indonesia yang berarti ‘perlu,’ bagi penutur bahasa Melayu itu tabu. Kata ‘butuh’ dalam bahasa Melayu bermakna alat kelamin pria. Perbedaan makna kata juga tampak pada saat komentator mengatakan, “... semoga kau sukses bila-bila” yang bermakna semoga kau sukses selalu. Selain itu, ada kata yang sama, namun penggunaan huruf berbeda. Beberapa kata bahasa Melayu yang muncul dalam percakapan acara tersebut, seperti berbeza (berbeda), ade (ada), kate-kate (kata-kata), dan sikit (sedikit). Benar-benar ‘terpampang nyata’. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) jelas-jelas berbeda. Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang pantas? Bahasa Indonesia dan Malayu tengah berkompetisi. Siapa yang pantas dinobatkan sebagai bahasa internasional. Bagi Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, bahasa Melayulah yang pantas. Mengutip pernyataan Mahsun (Antara, 8/8/2014) Malaysia dan Brunei memang berambisi besar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Ambisi itu didasari argumen bahwa bahasa Indonesia juga termasuk bahasa Melayu. Padahal faktanya bahasa Indonesia dan Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) berbeda. Bahasa Indonesia memiliki nilai tawar yang lebih. Menurut Supriyanto Widodo, dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ejaan bahasa Indonesia sudah lebih mapan. Selain itu, jumlah penutur bahasa Indonesia jauh lebih banyak. Hal itulah yang menguatkan harapan kita agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Persoalan pengakuan sebagai bahasa internasional tidak sebatas pada kebanggaan dan kemudahan hubungan antarnegara. Perlu kita sadari dampak yang ditimbulkan apabila bahasa Indonesia harus bertekuk lutut pada bahasa Melayu. Ada kepentingan yang jauh lebih besar. Ancaman disintegrasi bangsa. Adanya kemungkinan negara lain mudah mengakui suku bangsa di Indonesia yang berbahasa Melayu sebagai bagian dari negaranya. Sayangnya, kita tidak mengabaikan hal itu. Sekarang anak-anak kita rajin belajar bahasa Melayu. Tidak di sekolah, tapi di rumah, dari televisi. Anak-anak fasih berbahasa Melayu meniru tayangan Upin Ipin. Tayangan itu tidak disulih suara bahasa Indonesia. Suka tidak suka anak-anak kita menirukannya. DVD bajakan kumpulan animasi berbahasa Melayu bertebaran dijajakan di pinggir jalan. Ini fakta dan bahan renungan bersama. Kita patut berterima kasih kepada dangdut. Dangdut telah menjadi duta bahasa Indonesia. Lantunan lagu dangdut membahana di negera-negara tetangga. Memang membutuhkan kepedulian bersama. Kita harus bahu membahu mengangkat bahasa Indonesia. Semoga amanat institusi dalam Pasal 44 Ayat 1 UU No. 24/2009, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan, dapat terwujud. Sebagai target awal, minimal bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jangan sampai kita berurai air mata ketika bahasa Melayulah yang ‘bergoyang’ sebagai bahasa internasional. Seperti derai air mata penonton ketika menyaksikan Lesti menyanyikan lagu Keramat. Apakah bahasa Indonesia yang berhasil, ataukah bahasa Melayu yang berjaya? Kita tunggu saja. * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa Rencana Revisi UU KPK menimbulkan tarik ulur. Muncul pula penentangan dari berbagai elemen masyarakat yang cinta KPK. Di sela-sela hiruk pikuk revisi UU KPK mencuat wacana baru. KPK diganti saja dengan KPM. ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ diganti ‘Komisi Pemberantasan Maling’. Kata ‘korupsi’ diganti kata ‘maling’. Harapannya memberi efek jera bagi koruptor. He... he... lucu juga. Wacana itu keluar dari Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Tohari, dalam diskusi lintas agama melawan korupsi di Kantor PP Muhammadiyah. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, pun mengamini. Dipastikan Muhammadiyah bakal menyetujui perubahan nama KPK menjadi KPM. Gayung bersambut, Ketua KPK, Agus Rahardjo, sepakat revisi terhadap UU KPK jika untuk mengubah kata ‘korupsi’ menjadi kata ‘maling’. Ntah serius atau guyonan, perihal wacana penggantian kata ‘korupsi’ dan ‘maling’ bisa kita diskusikan sambil nyruput kopi. Kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok). (https://id.wikipedia.org). Dalam KBBI (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id) ‘korupsi’ dimaknai dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan kata ‘maling’ dalam KBBI dimaknai dengan orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi; pencuri (terutama yang mencuri pada malam hari). Berdasarkan dua pemaknaan tersebut, memang ‘korupsi’ dan ‘maling’ hakikatnya sama, namun memiliki skala yang berbeda. Kelasnya pun juga berbeda. Korupsi itu maling intelektual, maling kelas atas. ‘Korupsi’ analoginya kurang lebih sama dengan prostitusi. Ada prostitusi kelas teri di pinggir-pinggir rel dan kali. Ada juga prostitusi kelas elit harga selangit. Sama halnya maling. Ada maling kelas teri, maling sapi dan TV. Ada juga maling kelas elit, ya koruptor. Prostitusi kelas elit berkedok artis maupun model. Koruptor kelas elit biasa berkedok politikus, pengusaha, maupun pejabat. Sikap dan tindak koruptor tidak ubahnya dengan prostitusi berkedok artis dan model. Ketika seorang model atau artis jelas-jelas terlibat prostitusi, bukannya menarik diri dari dunia artis, justru terkesan menjadi promosi gratis. Pasarannya lebih ramai. Apakah malu? Tidak tuh. Begitu pula dengan koruptor. Ketika mereka kedapatan terbukti korupsi, bukannya malu, malah senyam senyum. Korupsi bagi mereka bukan lagi aib. Harga diri ditukar dengan gelimang harta haram. Tanpa mempedulikan dampak perilaku bejatnya bagi rakyat. Memudarnya ‘Korupsi’ Memang kata ‘korupsi’ tidak lagi mampu memberi label buruk dan efek jera. Hal ini merupakan fenomena bahasa yang menarik. Fakta kebahasaan tersebut termasuk pergeseran makna. Yakni bergesernya makna suatu kata menjadi atau memiliki makna baru. Sebagai contoh, dulu kata ‘pelacur’ dirasa terlalu kasar. Kemudian diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS) ataupun pramuria. Meskipun sudah diperhalus dan dibungkus, kesan negatif tetap muncul juga pada kata WTS dan pramuria. Hal itu terjadi karena makna dirujuk dinilai rendah masyarakat. Sama halnya menutupi bau bangkai dengan aneka rupa parfum. Itulah pergeseran makna yang peyoratif. Fakta sebaliknya terjadi pada kata ‘korupsi’. Makna awal kata ‘korupsi’ sudah jelas-jelas negatif atau rendah. Sekarang kata ‘korupsi’ seolah kehilangan taji dan daya busuk. Seseorang yang terbukti melakukan korupsi bukan lagi sebuah aib. Makna yang seharusnya jelek, kini justru menjadi seolah-olah biasa saja. Bahkan dianggap terhormat bagi keluarga dan kelompoknya. Itulah pergeseran makna ameliorasi. Gejala yang mengarahkan makna kata ke arah yang menyenangkan dan positif (Parera, 2004). Pergeseran makna itu lebih disebabkan faktor psikologis pemakai bahasa. Begitu seringnya kita mendengar berita kasus korupsi, membuat korupsi dianggap sebagai kejahatan yang biasa. Begitu pula psikologis koruptor berandil besar terjadinya pergeseran makna kata. Mereka masih bisa senyam senyum. Mereka masih bisa melambaikan tangan ke wartawan. Tatapannya seolah berpesan kepada keluarga, “Papa baik-baik saja”. KPK atau KPM Sepakat dengan Buya Syafii Maarif. Tidak perlu mengubah nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Komisi Pemberantasan Maling (KPM). Bagi beliau kata ‘maling’ untuk mengganti ‘korupsi’ terlalu ringan. Mengganti kata ‘korupsi’ dengan kata ‘maling’ tidak tepat secara bahasa dan realita. Kalau itu benar-benar dilakukan, justru kasihan para maling. Nama jelek mereka semakin tercemar. Mereka hanya pencuri ecek-ecek dikira pencuri harta negara. Atau justru stigma koruptor menular ke para maling. Bisa-bisa para maling yang tertangkap ikut melambaikan tangan dan senyam senyum seperti para koruptor. Lalu apa yang harus dilakukan agar kata ‘korupsi’ kembali bertaji? Persoalan mendasar terkait daya makna kata ‘korupsi’ yakni mengembalikan daya psikologisnya. Cara masyarakat dan penegak hukum memperlakukan koruptor harus diubah. Semestinya, masyarakat terlebih penegak hukum, geramnya berkali-kali lipat dalam memandang koruptor. Kenyataannya, maling tertangkap sering dihias dengan benjolan di muka. Sedang koruptor pasti berdandan rapi dan riasan cantik. Jadi, yang perlu diubah bukan kata ‘korupsi’, melainkan persepsi dan tindak kita dalam memaknai kata ‘korupsi’. Persepsi dan perlakuan penegak hukum terhadap para koruptor. Sepantasnya koruptor diperlakukan jauh lebih buruk daripada maling. Jauh lebih dipermalukan daripada maling. Agar tidak ada lagi koruptor yang senyam senyum. Agar tidak ada lagi koruptor yang sumringah melambaikan tangan. Pada akhirnya para koruptor mampu memaknai kata ‘korupsi’ kemudian jera dan malu. Saya yakin maling-maling juga setuju. Opini dimuat di Kolom Laras Bahasa Lampung Post, 23 Maret 2016 Hampir setiap orang di negeri ini menggunakanku. Sayang, hanya sebagian kecil dari kalian yang paham siapa aku. Mungkin hanya sastrawan, jurnalis, linguis, dan kalangan pendidikan yang mencoba mengenalku dengan lebih baik. Bahasa Indonesia, itu namaku. Aku lahir dan besar seiring sejarah panjang negeri ini. Aku lahir dari semangat para pemuda mempersatukan bangsa. Tekad Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menobatkanku sebagai bahasa persatuan. Mempersatukan saudara-saudaraku bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Dayak, bahasa Banjar, dan ratusan bahasa daerah yang lain. Mempersatukan bangsa yang beribu pulau. Itu sebuah kepercayaan sekaligus kehormatan. Bersama rasa satu bangsa dan satu tanah air, aku berhasil mempersatukan negeri. Namaku bahasa Indonesia, bahasa perjuangan. Aku hadir dalam setiap komando melawan penjajah. Aku bangga, menjadi bahasa perjuangan Bung Tomo, memekikkan semangat arek-arek Surabaya pada tanggal 10 November 1945. “... Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya .... Aku pun bangga dipercaya pemimpin besar, Ir. Soekarno, menggunakanku sebagai bahasa teks proklamasi. Kalian mungkin tidak tahu betapa terharunya aku. Namaku bahasa Indonesia, bahasa aspirasi. Pada masa pembangunan aku menjadi bahasa suara ketimpangan dan ketidakadilan. Aku begitu sederhana dan mudah dipahami siapa saja, termasuk para pemangku kebijakan bangsa ini. Mereka pasti tahu, kecuali pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kerukunan. Aku bangga menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan agama, mengajak kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Akulah jembatan perbedaan. Menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Akulah sarana penyampai pesan kasih sayang. Dengan kasih sayang kita simpan bedil dan kelewang Punahlah gairah pada darah (W.S. Rendra) Namaku bahasa Indonesia. Katanya aku dibutuhkan, namun faktanya malah terabaikan. Tinggal menghitung hari usia 87 tahun. Tak terhitung pengorbanan yang kuberikan. Tak terkira lelah yang kuderita. Terus menjaga bangsa ini dalam satu dekapan. Tapi kenyataannya..., ya begitulah. Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah. Mungkin hiruk pikuk kehidupan kalian membuatku pantas terabaikan. Luangkan sejenak waktu kalian mendengarkan kegetiran yang kurasakan agar kalian tersadar dan tersulut semangat para pemuda yang dulu melahirkanku. Aku cukup senang sebagian kecil dari kalian telah berupaya melestarikan dan mengembangkanku. Bulan ini Bulan Bahasa. Meski tak semarak Agustusan. Sekolah, kampus, dan balai bahasa mengadakan beragam kegiatan. Pemilihan putra putri duta bahasa, lomba baca dan musikalisasi puisi, lomba menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba mendongeng, dan aneka lomba lainnya. Terima kasih sudah mencoba membuatku riang. Sekadar kalian tahu, segalanya sudah kucurahkan untuk bangsa ini. Sedang apa balasan kalian? Para politikus hitam memperalatku menyuarakan kepentingan sesaat atas nama rakyat. Para mafia hukum menyusun pasal-pasal ambigu yang sarat kepentingan. Pemangku kebijakan, yang tidak amanah, lihai memainkan gaya bahasa membuai harapan. Rasanya aku begitu kotor. Kalian gunakan aku untuk menghina dan menghujat. Hinaan dan hujatan bertebaran dalam orasi-orasi jalanan, di televisi, dan di ruang dewan yang katanya terhormat. Bahkan seorang presiden pun tak luput dari hinaan dan hujatan kalian. Kesantunan tutur kian hancur. Tidakkah kalian sadari, anak cucu kalian meniru yang kalian pertontonkan. Kalian tentu tak ingin diabaikan, terlebih diduakan. Namun, entah sadar atau tidak, kalian telah berlaku demikian. Bahasa Inggris kalian bangga-banggakan. Jalanan, perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan penuh sesak kata-kata yang sebagian besar kalian tidak mengerti. Mungkin aku kalah gengsi. Kini kalian benar-benar asing di negeri sendiri. Aku pun terima itu semua meski menyesakkan. Lagi-lagi aku harus menambah arti kesabaran. Kewajiban pekerja asing mengerti aku, kini tinggal kenangan. Demi kepentingan investasi, aku pun harus merelakan. Para pekerja itu tidak perlu mengerti aku. Mereka tidak perlu bisa membahasakanku. Namun kalian tidak menyadari, bahwa mengerti dan memahamiku salah satu jalan mengerti bangsa ini. Yah, sudahlah. Namaku bahasa Indonesia, aku kian tersingkir kian terpinggir. Tidakkah kalian sadari rasa cinta kalian pada tanah air ini kian sirna. Begitu pula sikap dan tindak bahasa kalian bak api yang melalap padang ilalang. Tidakkah kalian malu pada bangsa lain? Apakah perlu bangsa lain menyadarkan arti diriku? Apakah aku harus senasib seperti wayang kulit, reog, tari pendet, dan batik? Saat hendak diakui bangsa lain baru kalian pedulikan. Seorang mantan Presiden Singapura, Lee Kwan Yew, salut padaku. Baginya, keutuhan bangsa ini berkat peranku. Sebagai warisan para pendiri bangsa, aku sangat sentral menjaga keutuhan bangsa. Seandainya aku sirna, lalu dengan apa lagi bangsa ini kalian persatukan. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kalian. Bukankah kalian merasa bersaudara, kala di negeri orang, menggunakanku untuk saling bertegur sapa? Di mana rasa bangga kalian terhadapku, sedang bangsa lain ramai-ramai mempelajariku. Namaku bahasa Indonesia. Aku telah menemani perjalanan panjang bangsa ini. Namaku bahasa Indonesia. Rasa cintaku pada bangsa ini tidak perlu kalian ragukan lagi. Namamu bangsa Indonesia, bagaimana perasaanmu terhadapku? * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos Riuh. Ada yang pro ada yang kontra. Begitulah suasana masyarakat menanggapi wacana pemerintah ‘menghidupkan kembali’ pasal ‘penghinaan presiden’ yang telah dimumikan MK. Bagi masyarakat yang kontra, trauma daya jerat pasal itu akan mengekang kebebasan demokrasi. Bagi masyarakat yang pro, menginginkan perlunya aturan untuk menghindari pelecehan presiden sebagai pemimpin negara. Sebagaimana dituturkan Hendropriyono, "Menghina presiden itu salah. Masak dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina. Itu tidak boleh” (7/8/2015). Sekarang kita diskusikan wacana ‘pasal penghinaan’ tersebut. Bukan dari kacamata hukum dan politik, melainkan dari kacamata bahasa. Tidak dapat dipungkiri, pro kontra muncul karena masih remang-remangnya penafsiran kata ‘penghinaan’ dan ‘kritikan’. Coba kita raba dan singkap penafsiran kedua kata itu. Agar lebih objektif, kita harus melepaskan dahulu objek hinaan dan kritikan tersebut dari sosok Presiden Jokowi. Terus dipakaikan kepada siapa? Ya, kita pakai sama-sama. Tidak peduli pro atau kontra. Dengan begitu, kita sama-sama merasakan. Sama-sama ‘menikmati’ kritikan dan hinaan. Mari kita urai pelan-pelan kedua kata itu. Sebuah kritikan memiliki makna dan rasa yang bertolak belakang dengan pujian. Pujian selalu menyenangkan untuk didengarkan. Bahkan sering kali membuat orang melayang ke awang-awang. Berbeda dengan kritikan yang sangat sedikit orang berkenan membukakan telinga. Kritik biasa ditujukan kepada seseorang atas tindakannya. Institusi atas kebijakannya. ‘Kritik’ dalam KBBI (2015) dimaknai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Berkiblat pada makna tersebut dapat dipahami bahwa kritik dapat berupa kecaman. Selain itu, kritik juga dapat berupa tanggapan yang bersifat membangun. Kedua jenis kritikan tersebut akan terus hadir sepanjang manusia ada dan hidup bermasyarakat. Interaksi dalam kehidupan sosial tidak bisa lepas dari kritikan. Terlebih dalam kehidupan bernegara. Setiap kebijakan pemerintah sangat memungkinkan tidak dapat memuaskan semua pihak. Latar belakang pengkritik memang berpengaruh terhadap substansi maupun kemasan kritikan. Kritikan, dengan substansi yang sama, dapat disampaikan dengan bahasa yang beraneka. Terlebih lagi bagi lawan politik. Perlu diingat, jangan sampai terjadi kritik membabi buta. Gara-gara tidak suka pada orangnya, apa pun pendapat dan tindakannya, semua dianggap salah. Oleh karena itu, lagi-lagi kembali pada niatnya. Kritikan yang didasari niat baik lebih beraroma konstruktif. Pilihan dan bentuk bahasanya pun santun. Bila ternyata yang dikritik tebal telinga, pengkritik biasanya menaikkan level kepedasan kritikan. Sebaliknya, kritikan yang didasari niatan tidak baik, lebih berbau destruktif. Bahasanya pun jauh dari kesan santun, tidak mengenakkan, tepatnya menyesakkan. Kripik pedas, eh salah, kritik pedas yang konstruktif maupun kritik destruktif, sama-sama identik dengan bahasa kecaman. Persoalan muncul apabila kecaman tersebut kebablasan. Kebablasan dan terperosok pada jurang penghinaan. Kata‘penghinaan’ dalam KBBI (2015) dapat dimaknai dengan merendahkan kedudukan (pangkat dan martabat seseorang). Sedangkan ‘menghina’ dalam KBBI (2015) dimaknai dengan merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki dan menistakan). Merujuk pada kedua makna tersebut, apabila seseorang melontarkan kritikan yang memuat unsur merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki dan menistakan (mencela) seseorang atau institusi, dapat dikategorikan penghinaan. Masalahnya, ukuran ‘unsur merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki, dan menistakan (mencela)’ masing-masing orang berbeda. Penentuan ukuran itu sama halnya dengan urusan selera sambal. Ada orang yang setengah sendok sambal sudah mules. Ada orang yang bersendok-sendok sambal tetap saja kebal. Sama halnya dalam menyampaikan kritikan yang mengarah hinaan. Ada orang yang sudah merasa terhina dengan sedikit cacian dan makian. Sebaliknya, ada yang tetap santai meski cacian dan makian datang bertubi-tubi. Oleh karena itu, perlu rumusan bersama dari beberapa pendekatan keilmuan tentang batasan umum tingkat kepedasan’ kritikan yang masuk ke level penghinaan. Bukan Bangsa Penghujat Prinsipnya, mengkritik bukanlah sesuatu yang diharamkan. Kritikan justru diperlukan sebagai bahan introspeksi. Kritikan laksana obat yang dapat dibungkus bahasa santun agar terasa senikmat pujian. Seorang pengkritik harus tahu diri. Saat menyampaikan kritik kepada orangtua sepatutnya menggunakan bahasa yang santun. Bukan bahasa hinaan yang merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki, dan menistakan (mencela). Seorang ‘bapak’ negara juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Sebaliknya, seorang ‘bapak’ pun selayaknya terus menaikkan selera ‘kepedasan’ kritikan yang dilahap. Sedikit demi sedikit, kalau perlu sampai level ketagihan. Hingga suatu saat akan berkata, “Mana ‘sambalnya,’ kok hambar?Kurang pedas ini!” Perlu kesadaran jamak, baik pemimpin maupun yang dipimpin. Setiap orang tentu ingin dikenal sebagai sosok yang santun. Harga diri kita dinilai dari tutur bahasa, seperti pepatah Jawa ajining diri gumantung ing lathi. Dalam skala lebih luas, bahasa menunjukkan budi bahasa bangsanya. Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang santun dan beradab, bukan bangsa yang pandai menghujat. Terlebih suka merendahkan martabat pemimpinnya. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Cinta itu tidak pernah disakiti dan menyakiti cinta itu murni dari hati dan akhlak dan status sosial yang begitu hebat saat ini mengiringi aku, diri aku, harta aku, dan tak dapat membendungnya sebagai manusia biasa. Begitulah curahan hati Vicky Prasetyo seperti dikutip dalam artikel Kaltim Post (13/5) bertajuk ‘Kembalinya Sang Kontroversi Hati’. Sebuah curahan hati Vicky yang mengetahui mantan tunangannya, Zaskia Gotik, hendak menikah. Ehm, selalu menarik membahas Vicky Prasetyo sebagai ‘cemilan’ obrolan. Baik kehidupan apalagi bahasanya yang terkesan intelek namun superkocak. ‘Ceplas ceplos’ dan ‘pede abis’ selalu melekat pada diri Vicky. Sikap itu bisa jadi dilatarbelakangi pemahaman Vicky bahwa semua anak bangsa berhak mengutarakan pendapat. “Kalian harus paham! Undang-undang No. 9 Tahun 1998 segala macam kebebasan menyampaikan aspirasi secara serentak di muka umum. Jadi, kalian harus berani untuk berbahasa, berkata, atau apa pun bentuknya itu.” Hebat, Vicky melek hukum rupanya. Teralis benci telah membuat Vicky melakukan pergeseran sikap. “Akhirnya penjara menjadi bahan koreksi saya untuk melakukan pergeseran sikap yang baik. Yang kemarin salah menjadi baik.” Mantap, yang seperti ini harus ditiru napi lain, utamanya napi korupsi. Permainan Bahasa Wabah bahasa Vickinisasi yang ditularkan Vicky Prasetyo dinilai termasuk penyakit bahasa. Menurut Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa (Republika, 11/9/13), istilah khusus pada penyakit bahasa tersebut memang tidak ada. Meskipun demikian, ada orang yang menggunakan bahasa tertentu didasari upaya untuk meningkatkan prestise. Keinginan untuk terlihat intelek dan menaikkan nilai jual bisa jadi unsur yang mendasari penyakit bahasa. Dalam ilmu bahasa, orang menggunakan bahasa Indonesia dicampur unsur bahasa asing dan tidak pas termasuk interferensi. Tidak hanya Vicky, sebenarnya beberapa artis maupun politisi senang mempertontonkan hal yang sama. Sering kita temua para politisi dan pejabat menggunakan campuran bahasa Inggris saat berbicara dan berpidato. Hal itu tentunya menjadi contoh yang tidak baik bagi masyarakat. Vicky, selain mencampur aduk penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, juga lihai memainkan dan menukar penggunaan istilah untuk konsep makna yang berbeda. Hal itu dapat dikategorikan permainan bahasa. Menurut I Dewa Putu Wijana dan M. Rohmadi (2009) permainan bahasa adalah bentuk penggunaan bahasa yang tidak semestinya, di dalamnya mengandung berbagai penyimpangan, seperti fonologi, gramatikal, kekacauan hubungan bentuk dan makna, dan bermacam-macam pelanggaran yang bersifat pragmatis. Dengan demikian, berbagai penyimpangan maupun kesalahan dilakukan penutur. Permainan bahasa dilakukan dengan sadar untuk tujuan tertentu. Sumber gambar:http://showbiz.liputan6.com/ Permainan bahasa dimaksudkan untuk tujuan tertentu, seperti melucu, mengkritik, menasihati, melarang, dan berbagai tuturan lain yang sering tidak mudah diidentifikasi. Tujuan utama permainan bahasa pada dasarnya untuk humor. Tujuan tersebut dapat mudah tercapai apabila mengunakan ragam bahasa informal (santai). Penggunaan ragam informal memungkinkan keleluasaan permainan bahasa. Ragam bahasa resmi pun masih memungkinkan untuk dipermainkan, seperti yang dilakukanVicky. Permainan bahasa pemicu humor dapat diwujudkan dengan manipulasi linguistik dalam seluruh tataran kebahasaan. Manipulasi bebas dilakukan penutur. Manipulasi linguistik dirasa berhasil apabila menimbulkan gelak tawa. Keberhasilan itu tergantung kreativitas penutur. Kreativitas permainan bahasa Vicky dipadukan dengan muatan motivasi. Mungkin Vicky ingin menyejajarkan diri dengan Mario Teguh. “Kalian ketahui, gravitasi bumi terjadi pada siang hari khususnya pada jam makan siang. Iya, karena anarkis terjadi pada saat kondisi perut dalam keadaan lapar. Maka bumi saat itu mulai berputar. Anda harus paham pelajaran yang penting dalam pendidikan sekaligus masa depan Anda.” Sebuah permainan bahasa yang sulit kita cerna. Ada dua dugaan motif Vicky menggunakan permainan bahasa. Antara upaya meningkatkan prestise ataukah sekadar humor. Apabila untuk tujuan meningkatkan prestise dan kesan intelek, Vicky gagal total. Sama halnya penonton yang hampir selalu gagal paham mencerna permainan bahasa Vicky. Sebaliknya, apabila sekadar untuk humor, Vicky pantas dinobatkan sebagai pelawak cerdas, intelek, dan kreatif. Hasil lawakan ala Vicky membutuhkan kecerdasan juga perenungan. Cak Lontong salah satu pelawak yang juga memanfaatkan beragam permainan bahasa. Dalam ‘Permainan Bahasa Humor Cak Lontong’ Jurnal Lingua, (2014), Ali Kusno mengungkapkan beberapa permainan bahasa yang digunakan Cak Lontong. Cak Lontong menggunakan permainan logika/penalaran berbahasa, seperti: “Pengemis itu orang yang rendah hati. Walaupun uangnya banyak, tapi pakaiannya tetap sederhana. Daripada orang yang pakaiannya bagus tapi kerjaannya ambil uang rakyat, lebih baik minta daripada mengambil.” Cak Lontong suka mengkreasikan permainan peribahasa. Kreasi dilakukandengan substitusi kata dan frasa, seperti: “Air beriak tanda ada orang tenggelam.” Sedangkan versi asli peribahasa tersebut: air beriak tanda tak dalam. Cak Lontong terkenal sebagai pelawak yang gemar menggunakan permaian bahasa survei dan riset. Survei tersebut tidak lebih dari sekadar permainan kata Cak Lontong yang sebatas ‘survei-surveian dan riset-risetan’, seperti: “ngomongin tentang kopi, saya ingin menunjukkan data hasil penelitian saya tentang cara terbaik menikmati kopi. Salah satunya ialah tentang cara menuang air ke dalam cangkir kopi. Jangan salah, ini penting! Kualitas kelezatan kopi sangat dipengaruhi oleh kualitas penuangan air ke dalam cangkir itu. Caranya? Pastikan airnya adalah air panas yang dituang dan pastikan pula airnya dituang tidak melebihi ukuran cangkirnya.” Cak Lontong juga sering menggunakan permainan kata-kata motivasi. Kata-kata bijak berisi motivasi memberikan pesan-pesan positif bagi pemirsa. Sebaliknya, apabila kata-kata bijak dipelesetkan dapat menimbulkan humor, seperti: “hidup itu harus pasrah, agar hidup terasa ringan. Contohnya saya! Saya pasrahkan anak-anak saya ke mertua, sehingga hidup saya terasa ringan.” Belajar dari Cak Lontong, sebenarnya Vicky tidak perlu takut mengikrarkan diri sebagai pelawak. Sedikit banyak mengurangi cemoohan yang tak terbendung menghampiri. Bahasa inteleknya akan diterima pemirsa karena motifnya humor semata. Vickinisasi sebuah fenomena. Seperti fenomena lainnya, bila tiba saatnya, lenyap begitu saja. Tinggal Vicky memanfaatkan momentum sebaik mungkin. Permainan bahasanya berhasil menjadi lawakan dan hiburan masyarakat di tengah kondisi labil ekonomi. Vicky berhak memainkan bahasa. Tuturan katanya sebagai ungkapan retorika hati. Kata, bagi Vicky, mempunyai arti tersendiri. “Kata-kata itu tidak pernah menjadi sebuah hal yang membohongi bagi siapa pun yang berbicara. Kata-kata melahirkan kalimat interaksasi, interaksi untuk menguatkan ada keharmonisan dalam sebuah statusisasi sebuah hubungan antarsesama.” Menghargai bahasa Vickinisasi sebagai bentuk hiburan, bukan sebatas menghargai seorang Vicky. Kita sekaligus belajar sebagai bangsa pengapresiasi, bukan penghujat. Selama ini kita fasih saat mencaci, namun lidah kelu untuk menghargai. Bukalah teralis benci, lihatlah kebaikan daripada kekurangan orang lain.“Ada filosofi vickinisasi mengatakan, apabila hujan dilambangkan sebuah kesedihan dan mentari kita lambangkan sebuah keceriahan maka diperlukan keduanya agar tercipta pelangi yang indah pascakeburaman.” * Rangkaian kata yang dicetak miring merupakan pernyataan Vicky Prasetyo dan Cak Lontong dalam berbagai acara di televisi. * Opini Ali Kusno dimuat di Majalah Warta Harmoni Ada sebuah lelucon lama yang menggelitik bagi kita, namun menyakitkan bagi yang berpolitik. Pertanyaan, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?” Jawab, “Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.” Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong. (Jason Jones dan Shan Wareing). Setiap hari kita disuguhi dengan drama politik negeri. Sebuah cerita panjang tak berkesudahan. Selama negeri ini masih ada, drama itu pun tiada akhirnya. Sebuah drama politik dengan pemain yang silih berganti. Mereka beradu ‘akting’ dengan cerita yang sering tidak penting. Satu hal yang menonjol dan menarik dari para pemain drama politik. Kelihaian mereka mengolah gaya bahasa nan memikat. Masyarakat sebagai penonton terpesona pun terpedaya. Semakin susah membedakan yang benar-benar benar, dan mana yang hanya bunga-bunga bibir menutupi sebuah kebusukan. Ada yang berkoar-koar jangan pernah korupsi, selang beberapa waktu kemudian ditetapkan tersangka korupsi. Ada yang berkoar-koar basmi prostitusi, eh tidak tahunya tertangkap kering-kering basah menikmati gratifikasi ‘molek’ di hotel. Ada yang lantang bersuara padahal tidak paham apa yang dikatakan. Itulah perilaku sebagian politisi yang pantas disebut poli(tikus). Menurut Orwell (dalam Jason Jones dan Shan Wareing, 2006), bahasa politik adalah pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela. Terkadang membela membabi buta agar orang mengira yang dikatakan benar adanya. Orwell mengatakan bahasa politik sebagian besar terdiri dari eufimisme, pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan, dan ungkapan-ungkapan tidak jelas. Bahasa eufimisme berperan membungkus sampah dapat terlihat mewah. Menyamarkan kemlaratan dengan ketertinggalan. Menyamarkan korupsi dengan beragam jenis alokasi. Meminjam kepentingan rakyat, padahal untuk kepentingan pribadi dan konglomerat. Bahasa politik berisi pendapat dan ungkapan tidak jelas bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Bahasa politik dirancang untuk membuat dusta terdengar benar. Membuat pembunuhan terdengar tindakan mulia. Membuat omong kosong terdengar meyakinkan. Terlebih lagi menjelang Pilkada serempak tahun ini. Para pemain drama politik lokal seperti penjual durian di pinggir jalan. Memajang visi misi dengan rapi. Melambai tangan agar masyarakat mendekat. Bujuk rayu pun dilancarkan. Bagi yang tidak bisa ‘membaca’, yang dikatakan benar atau sebatas tipu muslihat, pasti terpedaya. Masyarakat membutuh wawasan agar dapat membedakan. Para politisi sebaiknya berbenah diri. Orwell mengajukan beberapa aturan penggunaan bahasa yang harus diterapkan para politisi. Aturan itu bertujuan mewujudkan komunikasi yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Pertama, jangan menggunakan metafor atau perumpamaan. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas membuat pendengar kesulitan memahami konsep yang diajukan. Masyarakat sudah terbiasa hidup sederhana. Masyarakat membutuhkan kesederhanaan konsep pula agar dapat mudah mencerna. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek mampu mengemukakan maksud yang sama. Kata yang panjang memang kedengarannya lebih formal dan serius daripada kata-kata pendek. Padahal ya, sami mawon. Acap kali politisi menggunakan kalimat panjang untuk membuat orang terkesan, orang segan, atau sengaja agar orang kebingungan. Gagasan berbobot tidak akan hilang taji dengan pernyataan sederhana. Ketiga, kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang saja. Menambah kata-kata yang tidak perlu merupakan teknik membuat pernyataan lebih mengesankan dari sebenarnya sehingga sulit dimengerti. Jadi, kalau politisi berharap agar rakyat benar-benar memahami yang dikatakan, buanglah kata-kata yang tidak perlu. Keempat, jangan menggunakan kata pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif. Ini terkait dengan masalah tata bahasa. Kalimat aktif mampu memberikan informasi lebih jelas dan langsung. Sedangkan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, rumit, informasinya pun lebih sedikit. Kelima, jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah, atau jargon apabila ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama. Istilah yang terkesan hebat sebatas berfungsi afektif, bukan informatif. Pendengar sebatas terkesan dengan betapa hebatnya si pembicara. Saat ditanya apa isi yang didengarkan, hanya geleng-geleng kepala alias tidak tahu isinya. Keenam, semua aturan tersebut lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang tidak benar. Dalam hal ini, isi lebih penting daripada kemasan penggunaan bahasa. Aturan satu sampai lima terkait masalah gaya bahasa. Bagaimana cara mengatakan sesuatu dan bukan apa yang dikatakan. Akhirnya, yang penting dari sebuah bahasa politik adalah isi yang disampaikan. Percuma mematuhi aturan satu sampai lima apabila mengabaikan aturan keenam. Percuma menebar janji, beretorika dengan gaya bahasa meyakinkan, apabila tidak pernah merealisasikan. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Masih ingat dengan rapat mediasi, 5 Maret 2015 yang diadakan Kemendagri menengahi kisruh antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta? Selain masih berlarut-larutnya masalah itu sampai sekarang juga masih ada penggalan cerita di akhir mediasi. Rapat berakhir buntu. Beberapa oknum diduga anggota DPRD DKI Jakarta melontarkan umpatan, "Gubernur goblok..!"; "Ahok dan SKPD anjing..!"; “Anjing! Bangsat! Sangat memalukan”. Terbaru, muncul kasus yang menyenggol sastrawan Saut Situmorang. Saut ditangkap polisi karena mengeluarkan kata-kata kasar di Facebook, “Jangan mau berdamai dengan bajingan”. Saat itu Saut mengomentari sebuah tautan tentang polemik buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh. Terlepas dari kasus-kasus tersebut. Siapa yang benar siapa yang salah? Menarik bagi kita untuk membahas umpatan-umpatan tersebut. Sejarah Umpatan Anjing, Bangsat, dan Bajingan Kemarahan sewaktu-waktu bisa hinggap pada diri seseorang. Ketika marah dan tidak dapat mengontrol kemarahan, orang berpeluang besar untuk mengumpat. Mengumpat dalam KBBI daring berarti mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb); mencerca; mencela keras; mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik; memaki-maki. Di antara sekian banyak umpatan, rupanya umpatan anjing, bangsat, tai, dan bajingan sedang naik daun. Anjing. Menurut Hendri F. Esnaeni, anjing kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayang. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. ‘Pasai’ kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Anjing sebagai umpatan, bermula ketika Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), menyamakan Raja Mataram, Sultan Agung, dengan ‘seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.’ Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis, ’Verboden voor Inlanders en Honden’ (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Para politisi dan rakyat Belanda pun mengecap Sukarno sebagai ‘anjing piaraan Jepang’. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda sebagai ‘Anjing Belanda’. Anjing sebagai umpatan mengalami perluasan pemakaian. Di beberapa tembok rumah-rumah kosong, biasanya ada tulisan, ‘Dilarang kencing di sini kecuali anjing’. Di tanah-tanah kosong ada plang bertuliskan, ‘Dilarang buang sampah di sini kecuali anjing’. Bangsat. Bangsat dalam KBBI berarti kutu busuk atau kepinding; orang yang bertabiat jahat (terutama suka mencuri mencopet, dsb.). Dalam bahasa Jawa, bangsat disebut tinggi, yakni kutu busuk yang bisa ditemukan di kursi anyaman atau tempat tidur. Bangsat meminum darah manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, istilah bangsat ini mengalami pergeseran makna sebagai sebuah umpatan kekecewaan. Bajingan. Bajingan dalam KBBI berarti penjahat, pencopet, kurang ajar (kata makian). Mengutip Merdeka.com, umpatan bajingan awalnya merujuk pada pengendara gerobak sapi. Konon, pada tahun 1940-an, istilah bajingan ini pertama kali muncul di daerah Banyumas. Pada saat itu sarana transportasi sulit ditemukan. Sarana transportasi alternatif paling banyak gerobak sapi. Masalahnya, kedatangan bajingan ini bisa dibilang suka-suka. Terkadang pagi, siang, sore, bahkan terkadang malam hari. Yah, mungkin sapinya lelah. Masyarakat yang tidak bertemu dengan bajingan, mau tidak mau ya jalan kaki. Seiring waktu banyak warga yang tanpa sengaja melontarkan kalimat-kalimat ketidakpuasan terhadap bajingan. Sejak itulah istilah bajingan ngetren sebagai umpatan karena keterlambatan seseorang, misalnya, "Bajingan, ditunggu-tunggu tidak datang?" Sekarang umpatan itu pun berkembang luas dan umum. Kalau iseng-iseng kita pikir, sebenarnya apa salah anjing? Apa salah bangsat? Apa salah bajingan? Kasihan nama mereka tercemar. Untung mereka tidak pernah mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Tidak terhitung lagi orang yang dapat terjerat. Lha, hampir tiap hari orang menggunakannya sebagai umpatan. Penyebab Ketidaksantunan Luncuran umpatan saat bertutur dianggap sebagai bentuk ketidaksantunan. Pranowo mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan tuturan menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain: menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase yang kasar; didorong rasa emosi; penutur protektif terhadap pendapatnya; sengaja ingin memojokkan mitra tutur; dan menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Sekarang ini yang dikhawatirkan, umpatan yang dituturkan pejabat negara maupun publik figur di media massa maupun media sosial, akan ditiru anak-anak. Kita, yang katanya memegang adat ketimuran, diharapkan memperhatikan kesantunan dalam tuturan. Lebih penting dari itu, anak selain diajarkan santun bertutur juga perlu diajarkan santun berperilaku. Etika bertutur harus didukung dengan perilaku. Ada orang etika tuturannya santun, tetapi perilakunya sebaliknya. Orang seperti itulah yang memancing Ahok mengumpat untuk ke sekian kalinya. Ahok menjuluki orang-orang seperti itu dengan ‘tai’. Menurutnya kata yang paling cocok dan halus untuk orang-orang yang ngembat uang rakyat, ya ‘tai’ . Ada juga orang yang mengumpat orang lain, tetapi tidak sadar sebenarnya dialah yang lebih pantas mendapat umpatan itu. Mengumpat orang lain anjing, padahal dirinya yang lebih pantas mendapat umpatan anjing. Mengumpat orang lain bangsat, padahal dirinya sendiri bangsat. Mengumpat orang lain bajingan, padahal dirinya yang lebih pantas disebut banjingan. Kok saya jadi ikutan mengumpat. Maaf. Hendaklah kita pandai-pandai menjaga lidah, termasuk tidak mengumpat. Jangan sampai orang berprasangka buruk karena lidah kita ringan mengumpat. Jangankan mengumpat sesama, mengumpat nyamuk saja Rasulullah melarang. Dalam hadits riwayat Ahmad, Al-Bukhari dalam “Al-Adab al-Mufrad”, Al-Bazzar, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam “Syu’bul Iman”; dari Anas bin Malil, bahwa sesungguhnya Rasulullah mendengar seorang lelaki mengumpat nyamuk. Lalu beliau bersabda, “Jangan kau umpat nyamuk (itu), karena sesungguhnya ia membangunkan seorang nabi dari para nabi untuk melakukan sholat fajar!”. Bapak dan Ibu terhormat yang memegang amanah rakyat, biasanya santun bertutur. Semoga santun pula perilakunya. Kalau bahasanya santun, tetapi ternyata korupsi, itu sih memaksa rakyat berbuat dosa untuk berkata, “Dasar pejabat perilaku bangsat!”. Aduh, maaf saya mengumpat lagi. * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos Halaman-halaman Kaltim Post mulai dihiasi aneka berita jelang Pemilihan Wali Kota Samarinda 2015. Petahana sibuk berbenah berharap kelak terpilih lagi. Sebisa mungkin petahana tampil memikat pada detik-detik akhir. Wajah-wajah pesaing pun mulai bermunculan. Mungkin mereka bermimpi indah, masyarakat terpesona dan jatuh hati. Seperti alunan lagu Rina Nose: Maju mundur, maju mundur cantik, cantik. Kedip mata biar kau tertarik. Masyarakat Samarinda sepatutnya berpikir jernih. Semoga tidak ada lagi barter aspirasi dengan amplop. Masyarakat tidak mudah terbuai janji manis. Masyarakat jangan mau diperlakukan layaknya tempat berlabuh. Para calon wali kota berlabuh selagi butuh, kemudian berlalu pergi entah kapan akan kembali. Masyarakat sudah terlalu sering diperlakukan seperti itu. “Tahu lah Acil, Sakitnya tuh di sini!” Menjadi menarik membahas wali kota dari kaca mata kajian bahasa. Hakikatnya, seorang wali kota memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah . Hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.. Kata wali kota termasuk bentuk polisemi. Polisemi berasal dari kata poly dan sema, yang masing-masing berarti banyak dan tanda. Polisemi berarti bentuk bahasa (kata, frasa, dsb.) yang mempunyai makna lebih dari satu. Polisemi memiliki makna berbeda, tetapi masih memiliki hubungan makna. Contoh polisemi di antaranya kata kepala. Kata kepala memiliki polisemi kepala sekolah, kepala rumah tangga, kepala surat, dan kepala daerah. Kata kepala dalam polisemi tersebut dapat diartikan bermacam-macam. Beragam arti tersebut mengacu pada arti utama kata kepala sebagai bagian tubuh manusia yang ada di atas leher. Kata wali memiliki polisemi sebagai berikut: wali Allah, wali kota, wali hakim, wali kelas, wali murid, wali negara, dan wali negeri. Pemakaian kata wali pada konteks polisemi tersebut tidak menimbulkan makna yang benar-benar baru. Makna-makna tersebut masih memiliki kesamaan rujukan dengan makna wali yang berarti seseorang yang dipercaya, pelindung, atau pemimpin. Wali kota adalah orang yang dipercaya. Wali kota mendapatkan kepercayaan atau amanah dari rakyat yang memilih. Makna kata wali kota sebagai orang yang dipercaya berdekatan makna dengan kata wali Allah. Wali Allah dapat dimaknai orang yang dipercaya Allah atau ada juga yang memaknai Teman Allah. Wali dalam kisah penyebaran Islam di Nusantara, tidak bisa lepas dari Walisongo. Walisongo mumpuni dalam hal ilmu agama. Selain itu, Walisongo memiliki karomah bagi kehidupan masyarakat. Seorang wali kota dalam menjalankan pemerintahannya dapat meneladani sifat-sifat Wali Allah. Tulus menjalankan kepercayaan yang Allah berikan. Wali kota harus dapat menjadi karomah bagi masyarakat dan negara. Niscaya sang Wali kota akan selalu terpatri di hati masyarakat. Masyarakat akan mengenang sang Wali kota sebagai pemimpin yang amanah. Bekerja tulus untuk mendapatkan keridhoan Allah. Wali kota adalah pelindung. Pelindung masyarakat dari kepentingan kelompok. Pelindung masyarakat dari rasa tidak aman. Pelindung masyarakat dari keresahan tidak mampu menyekolahkan anak. Pelindung masyarakat agar dapat bekerja dengan aman dan nyaman. Wali kota adalah seorang pemimpin. Wali kota dalam memimpin dapat meneladani kepribadian para khalifah. Dalam sejarah Islam tercatat, Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai seorang khalifah yang patut menjadi teladan. Beliau sangat jujur. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah dari siapa pun. Sebuah riwayat menyebutkan, setelah dinobatkan datanglah seorang konglomerat yang hendak memberikan hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Azis menolak keras pemberian itu. Baginya, hadiah itu tidak ubahnya usaha penyuapan. Kolusi dan persekongkolan antara wali kota dengan kolega dapat berdampak pada penyuapan dan korupsi. Seorang wali kota sebagai pejabat negara saat dilantik telah bersumpah atas nama Allah. Dia bersumpah untuk tidak menerima hadiah atau sesuatu pemberian yang diketahui atau diperkirakan akan merugikan negara dan jabatannya. Suatu sumpah yang tidak main-main. Pertanggungjawabannya langsung kepada Allah. Seperti Khalifah Umar, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah memperingatkan gubernurnya di Mesir. Gubernur itu dijamu makan para pengusaha setempat. Beliau berkata”Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan pada diri Anda sendiri, dan carilah kepuasan rakyat, karena kepuasan rakyat memandulkan kepuasan segelintir orang yang berkedudukan istimewa. Ingatlah! Segelintir orang yang berkedudukan istimewa itu tak akan mendekati Anda ketika Anda dalam kesulitan.” Seorang wali kota adalah orang yang dipercaya, pelindung, dan juga pemimpin. Wali kota selayaknya bermanfaat bagi masyarakat. Bersih dari hal-hal yang merugikan. Wali kota bisa meneladani kegigihan dan ketulusan dari Wali Allah. Wali kota harus mampu menjaga dan melaksanakan amanah masyarakat. Wali kota harus mampu melindungi kepentingan masyarakat. Wali kota harus menjadi pemimpin seperti para khalifah. Saatnya para calon wali kota bertanya pada diri sendiri, “Layakkah saya menerima amanah? Layakkah saya sebagai pelindung? Layakkah saya memegang tongkat kepemimpinan? Kuatkah saya menahan rongrongan kepentingan pribadi dan kelompok?” Seandainya masih ragu terlebih lagi merasa tidak mampu, sebaiknya mereka jujur berkata, “Kalian pilih yang lain saja”. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Saya sendiri besok sudah berangkat ke Lombok, Bima, lalu jalan darat ke Dompu, Tambora, dan Sumbawa Besar. Saya juga harus langsung kerja, kerja, kerja. Seperti moto lama saya. Begitulah penggalan Dahlan Iskan dalam tulisan Ini Dia Kabinet Kerja, Kerja, Kerja, Sedikit Drama sebelum Kerja. Banyak pembaca koran maupun media online dibuat terpana dan penasaran tulisan Dahlan Iskan. Ada yang berpendapat seperti diajak jalan-jalan. Ada pula yang berpendapat asyik menggelitik. Saya mencoba memotret tulisan Dahlan Iskan dari sudut kajian bahasa. Kategori Tulisan Feature. Bahasa penulis maupun jurnalis bisa saja sama, tetapi gayanya pasti beda. Kekhasan penulis dapat tercermin dari tulisan. Tulisan Dahlan Iskan dapat dikategorikan sebagai feature. Feature dimaksudkan untuk memberikan hiburan sebagai bacaan sedap, mendidik, rileks, dan ringan. Feature yang disajikan Dahlan Iskan memiliki kekhasan, berikut uraiannya. Pilihan judul yang menarik. Judul feature Dahlan Iskan efektif membuat pembaca tertarik dan penasaran. Judul-judul yang pernah dipakai, seperti: Semoga Waras Listrik di Kegilaan BBM; Di Balik Jonan yang Meringkuk dan Danang yang Meringis; dan Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri. Optimalisasi teras (lead) yang sempurna. Sebuah teras (lead) yang menarik menjadi daya pikat awal seseorang membaca tulisan. Berhenti membaca atau meneruskan. Dahlan Iskan mampu memikat pembaca dengan teras yang sempurna. Penggunaan Humor. Feature Dahlan Iskan segar dengan selingan humor, seperti pada feature Gerak Gerbong Mandalika Menuju Toba: “Angin bertiup sejuk. Bulan yang mendekati purnama tampak menor di langit bersih. seperti baru keluar dari salon.” Pengunaan kalimat pendek. Dahlan Iskan menghindari kalimat panjang melelahkan. Kalimat pendek menjadi pilihan Dahlan Iskan, seperti dalam feature Bandara Kamil dan Pelabuhan Bergarbarata: “Garbarata? Yes! Inilah untuk kali pertama penumpang kapal dilewatkan garbarata. Seperti naik pesawat saja. Tidak lagi lewat tangga di dinding kapal yang bergoyang-goyang itu. Yes! Pelindo III memulainya! Sejarah!” Gaya deskripsi yang gamblang. Gaya deskripsi membuat pembaca memperoleh kesan mengenai hal yang digambarkan. Feature Dahlan Iskan memikat dengan deskripsi yang gamblang. Pembaca ikut merasakan petualangan Dahlan Iskan dalam feature Gerak Gerbong Mandalika Menuju Toba: “Seusai rapat, senja sudah lewat. Saya langsung menuju pantai terindah di kawasan Mandalika, di belakang Novotel: Pantai Kuta. Saya duduk di atas pasir putih menghadap laut selatan.” Gaya narasi seperti orang berkisah. Bertutur secara naratif dapat diibaratkan seperti orang berkisah. Dahlan Iskan berkisah tentang perjalanannya ke Balikpapan dalam feature perjalanan Jembatan Fenomenal di Tangan Perusahaan Fenomenal: “Setelah meninjau bandara baru Sepinggan, Balikpapan, saya berkesimpulan: sudah siap diresmikan kapan saja Presiden SBY menghendaki. Terminal bandara itu sangat membanggakan. Besarnya dua kali lipat dari bandara baru Surabaya.” Dandanan gaya bahasa. Feature-feature Dahlan Iskan banyak sentuhan gaya bahasa. Gaya bahasa bagi Dahlan Iskan seperti dandanan bagi tulisan. Tulisan menjadi cantik nan menarik. Sentuhan gaya bahasa Dahlan Iskan terasa dalam feature Pesiden Baru Tanpa Bulan Madu: “Contoh lain, anggaran untuk pesantren, PAUD, dan sekolah swasta. APBN bidang pendidikan itu besarnya seperti gajah bengkak.” Tidak terikat kaidah kebahasaan. Dahlan Iskan tidak ingin dibatasi aturan-aturan dalam menuangkan gagasan. Dahlan Iskan memiliki karakter feature yang mendobrak aturan kebahasaan. Dobrakan tersebut seperti pada feature Xiao Ping Guo Sebelum Jalan Ke Tamrin: “Tapi, juga ada satu gerakan senam yang tidak akan dimainkan lagi: Dahlan Style. Sebab, syair lagunya tidak cocok lagi. Ada kalimat ‘Dahlan Iskan seorang menteri’ di dalam lagu Sunda Cirebonan yang dinyanyikan Diana Sastra itu.” Menutup dengan klimaks ataupun antiklimaks. Penutup feature yang bagus mampu memberikan kesan yang mendalam. Dahlan Iskan suka mengakhiri tulisan dengan klimaks ataupun antiklimaks. Berikut penutup feature Telah Lahir Sang Penari Langit Nasional: “Ricky terdiam sejenak. Kepalanya menunduk. Wajahnya menatap ke bumi. Sesaat kemudian baru dia berucap. “Saya akan tetap di Indonesia. Seadanya,” jawab Ricky. “Saya akan meneruskan semua ini semampu saya,” tambah dia.” Dalam penutup tersebut Dahlan Iskan piawai melibatkan emosi menggugah empati. Pembaca ikut hadir dalam diri Dahlan Iskan dan Ricky. Begitu emosi pembaca sampai pada puncak suasana dan rasa, saat itu pulalah tulisan diakhiri. Merindukan Dahlan Iskan Dahlan Iskan besar di lingkungan jurnalistik. Meski sempat tersesat dalam pemerintahan dan politik. Melalui feature, Dahlan Iskan berbicara, bercerita, dan bersenda gurau dengan pembaca. Karakteristik feature Dahlan Iskan akan terus bertambah seiring derap langkah sepatu kets yang enggan berhenti. Segesit gerakannya dengan baju putih digulung. Baju yang sekarang menjadi tren pegawai pemerintahan. Penulis dan masyarakat akan selalu merindu Dahlan Iskan, hadir dalam untaian tulisan. Merindu feature Dahlan Iskan yang free dari menteri. Semoga Dahlan Iskan terus melahirkan feature-feature baru, seperti moto lamanya: kerja, kerja, kerja. * Opini Tulisan Ali Kusno dimuat di Kolom Opini Jawa Pos Group Saat ini, kita sebagai orang tua dihadapkan pada kenyataan anak kita yang mengalami keterlambatan berbicara. Anak yang mengalami keterlambatan bicara sebenarnya memiliki sosial-emosional dan perkembangan intelegensi yang normal seperti anak lainnya. Masalah anak terlambat bicara biasanya dialami 5-10 persen anak-anak usia prasekolah dan cenderung lebih sering dialami anak laki-laki daripada perempuan. Dalam Dokter Sehat (2014) diungkapkan bahwa keterlambatan bicara pada anak bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain : pertama, mengalami hambatan pendengaran. Bila anak mengalami kesulitan dalam pendengaran, secara otomatis menyebabkan anak kesulitan meniru, memahami, dan menggunakan bahasa. Masalah pendengaran pada anak biasanya disebabkan adanya infeksi telinga. Kedua, hambatan perkembangan otak. Adanya gangguan pada daerah oral-motor di otak mengakibatkan ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang berperan untuk menghasilkan bicara. Kondisi tersebut dapat menyebabkan anak kesulitan menggunakan bibir, lidah, dan rahang untuk menghasilkan bunyi. Ketiga, adanya masalah keturunan. Keterlambatan bicara juga bisa dipengaruhi oleh faktor keturunan. Meskipun belum ada penelitian yang bisa membuktikan kebenaran tersebut, biasanya anak yang terlambat bicara ternyata memiliki riwayat keluarga yang mengalami gangguan yang sama. Keempat, Minimnya komunikasi. Ini biasa dialami anak-anak yang kedua orangtua bekerja. Anak diserahkan kepada pembantu atau pegasuh. Padahal interaksi dan komunikasi antara orangtua dengan anak bisa menstimulasi anak untuk memperbanyak kosa katanya. Sayangnya, beberapa orangtua tidak menyadari jika cara berkomunikasi mereka berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kelima, Faktor televisi. Anak yang sering menonton televisi akan menjadi pendengar yang pasif. Anak hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Menonton televisi juga bisa membuat anak menjadi traumatis karena menyaksikan tayangan yang berisi adegan perkelahian, kekerasan, dan seksual. Pentingnya Kecerdasan Bahasa Menurut Howard Gardner (1993) kecerdasan bahasa, sebagai salah satu kecerdasan majemuk anak, menunjukkan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat beragumentasi, menyakinkan orang, menghibur, dan mengajar dengan efektif melalui kata-kata yang diucapkannya. Kecerdasan bahasa sangat penting dalam dunia modern sekarang karena setiap orang cenderung menilai orang dari cara berbicara mereka dan daya saing pada dunia modern sangat keras. Kecerdasan bahasa ini juga menentukan kesuksesan yang akan dialami anak usia dini di masa yang akan datang. Anak yang cerdas dalam berbicara memiliki kemampuan untuk menghargai kata-kata dan artinya juga. Dengan kecerdasan bahasa yang dimiliki, anak dapat menjalin hubungan yang baik sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan anak. Bahasa tidak dapat berlangsung tanpa proses pikir. Seseorang berpikir diungkapkan melalui bahasa. Hal ini perlu bagi anak usia dini untuk diberi pengalaman yang membantu mereka membentuk keterampilan bahasanya sehingga mereka dapat berpikir baik, untuk mengerti dunia yang mereka tinggali dan berkomunikasi dengan orang lain. Anak dengan latar belakang keterampilan bahasa yang baik akan memiliki pengertian yang lebih baik untuk konsep membaca dan menulis. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajiban bagi orangtua memberikan pendampingan dalam menstimulasi anak untuk mengembangkan kecerdasan bahasanya. Peran Lagu dalam Menstimulasi Bahasa Anak Salah satu cara yang dapat dilakukan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan bahasa anak adalah dengan menggunakan lagu anak-anak. Menurut Fortunata Tyasrinestu (2013) ketika anak-anak mendendangkan lagu, secara tidak langsung juga belajar bahasa. Kata-kata mempunyai peranan yang penting karena menggambarkan isi atau pesan dari lagu tersebut. Lagu anak juga berperan sebagai musik pendidikan yang lebih memperhatikan efek dari musik terhadap perkembangan anak. Dari hasil penelitian Fortunata Tyasrinestu (2013) terungkap bahwa karakteristik lagu anak berbahasa Indonesia telah disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga memperhatikan unsur kebahasaan yaitu satu suku kata untuk satu notasi dengan memperhatikan bahwa setiap suku kata didahului dengan pulsa dada yang dinyatakan sebagai hembusan nafas. Idealnya musik untuk anak-anak usia dini mempunyai tiga komponen utama yakni: memiliki vokal, mampu merangsang gerak, dan dapat memberikan rangsangan anak untuk mendengarkan dengan seksama atau menyimak (Tetty Rachmi dkk, 2008). Pilihan lagu yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak perlu diperhatikan. Saat ini banyak anak-anak yang justru mengenal lagu dewasa daripada lagu anak-anak. Hal itulah yang sangat mengkhawatirkan dan perlu peran aktif orangtua dalam pendampingan anak. Lagu-lagu anak-anak di Indonesia saat ini memiliki kelebihan dalam membantu perkembangan bahasa anak. Lagu yang sudah cukup akrab bagi anak-anak dan anak relatif mudah menirukan adalah lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu. Pada lagu tersebut, anak akan mengenal kata-kata baru. Kata-kata yang dikenalkan ada di antaranya kata bilangan. Secara makna, anak dikenalkan arti kasih sayang kepada anggota keluarga maupun sesama. Selanjutnya, pada lagu anak Lihat Kebunku, anak juga dikenalkan dengan hal-hal baru. Pada lagu Lihat Kebunku, anak dikenalkan dengan lebih banyak kata baru. Anak mulai dikenalkan dengan konsep berkebun dan menanam bunga. Anak dikenalkan dengan berbagai macam warna. Anak diajarkan untuk menyayangi tanaman. Anak diajarkan menyayangi keindahan. Pada lagu yang lain, seperti Bintang Kecil anak dikenalkan dengan pengalaman berbeda. Selain mengenalkan anak-anak dengan pengembangan bahasa dengan pengenalaan kata-kata baru, anak juga dikenalkan dengan ilmu perbintangan. Anak juga diajak berimajinasi terbang dan menari di antara bintang-bintang. Sudah selayaknya kita menjadi orang tua yang bijak. Orang tua yang mengerti tentang perkembangan anak, termasuk perkambangan bahasanya. Situmulasi bahasa pada anak harus terus dilakukan. Salah satu media yang efektif dengan menggunakan lagu anak-anak. Bisa menggunakan audia visual, atau orang tua menjadi model bagi anak. Apabila orang tua bisa terlibat menjadi model yang menanyikan lagu, akan berpengaruh baik untuk peningkatan perkembangan bahasa anak. Selain itu, Orang tua yang terlibat menyanyikan lagu-lagu akan bermanfaat menjaga hubungan emosional orang tua dengan anak. * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa Media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path dan lain-lain, makin naik daun. Hampir semua peselancar dunia maya memiliki akun media sosial. Jasa media sosial sangat besar. Kemenangan Obama dan Jokowi sebagai presiden tidak lepas dari kiprah media sosial. Masyarakat umum pun merasakan kelebihan media sosial. Bahkan ngegosip pun tidak lagi di kantin atau parkiran, cukup di media sosial. Betul ibu-ibu? Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, media sosial dapat berperan sebagai wadah kritik sosial. Media sosial hadir sebagai solusi sumbatan aspirasi. Berbagai ketidakberesan di masyarakat menjadi bahan kritikan. Kritikan di media sosial kian berisik, tajam, dan pedas. Masih hangat dalam ingatan, awal Februari lalu riuh cuitan “Cirebon Kota Tilang”. Para pengguna media sosial menggunjingkan kepolisian Cirebon. Mereka mengeluhkan banyaknya aksi tilang saat melintas di wilayah Cirebon. Alasan penangkapan pun terkesan mengada-ada. Beragam meme ‘Cirebon Kota Tilang’ bertebaran di media sosial. Rata-rata menggunakan bahasa humor, unik, dan menyentil. Hal itu tentu mencoreng nama baik Cirebon. Selain sebagai Kota Udang, Cirebon juga dikenal sebagai kota tilang. Polda Jawa Barat tidak tinggal diam. Dirlantas Polda Jawa Barat, Kombes Sugiharto, menerima kritikkan dengan lapang dada dan menganggap sebagai masukan dari masyarakat (Okezone.com, 22/2/2016). Oknum polisi yang terlibat pun langsung ditindak. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pembenahan kepolisian di Cirebon. Pengguna media sosial di Samarinda tidak mau ketinggalan. Belajar dari keberhasilan ‘Cirebon Kota Tilang’, pengguna media sosial di Samarinda kompak menyuarakan ‘Samarinda Kota Juru Parkir”. Keberadaan juru parkir liar di Samarinda dinilai sudah meresahkan. Lantaran mereka mengenakan tarif parkir seenaknya, bahkan mengarah pemerasan dan kekerasan. Pengguna media sosial meluapkan kekesalan dengan membuat beragam meme sindiran. Salah satunya, meme yang bertuliskan 'Selamat Datang di Samarinda Kota Jukir'. Gayung bersambut. Rupanya kritikan pengguna media sosial membuat Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang panas telinga. Jaang tidak terima dengan julukan baru kota yang dipimpinnya. Tindakan tegas pun diambil. Juru parkir liar ditertibkan. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pemerintah Kota Samarinda mengatasi juru parkir liar. Dua kasus tersebut membuktikan bahwa media sosial efektif menjadi sarana perubahan. Para pemangku kebijakan tidak perlu alergi. Sudah bukan zamannya lagi antikritik. Hal itulah yang diajarkan presiden kita, Bapak Jokowi. Masyarakat kita semakin cerdas dalam melihat ketidakberesan pemerintahan. Suara mereka dapat bergulir cepat di media sosial. Positifnya tentu masyarakat lebih berani bersuara. Keluhan masyarakat pun lebih didengar. Meskipun demikian, tentu kritik yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan. Para pengguna media sosial harus dapat bertanggung jawab secara substansi maupun kemasan bahasanya. Jangan sampai kritik yang disampaikan melanggar kesopanan dan mencemarkan nama baik seseorang. Terlebih lagi menabrak aturan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian. Sayangnya sebagian besar pengguna media sosial belum memahami hal itu. Kasus penghinaan dan pencemaran nama baik justru semakin marak. Sepanjang tahun 2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI mencatat ada 791 kasus pencemaran nama baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan (Zifana, 2015). Kasus yang masih hangat terjadi di Ponorogo bulan November 2015 lalu. Gara-gara membuat meme yang dinilai menghina polisi, seorang pengguna media sosial harus berurusan dengan hukum. Seorang anggota Polantas keberatan dengan meme tentang dirinya yang cenderung melecehkan. Meme tersebut menggambarkan polisi tersebut tengah memegang radio seluler (handie talkie). Permasalahannya adalah penggambaran percakapan antara sang polisi dengan istrinya seputar ‘uang hasil tilang’. Kasus serupa banyak terjadi di daerah-daerah. Kemudahaan dan kebebasan pengguna media sosial menjadi pemicunya. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa yang santun menjadi faktor pendorong. Banyak pengguna media sosial yang mencuitkan kata-kata kasar, tuduhan tidak berdasar, dan membunuh karakter seseorang. Pengguna media sosial sebaiknya menyadari etika dan norma dalam bermedia sosial. Kritikan yang disampaikan harus atas dasar rasa peduli bukan membenci. Kebencian yang diwujudkan dalam kritikkan hanya akan merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Oleh karena itu, tutur bahasa yang santun di media sosial harus dijaga. Kita harus membuktikan bahwa Indonesia pantas dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh adat ketimuran. Boleh kita mengkritik, tetapi janganlah menghina. Keberagaman kritik di media sosial merupakan perwujudan dari kontrol sosial. Tingginya akses masyarakat di media sosial berpotensi membentuk ruang demokrasi baru. Media sosial menyediakan ruang rembuk dan perdebatan. Berjalannya waktu, masyarakat akan semakin dewasa dalam menyampaikan kritikan di media sosial. Begitu pula, setiap para pemangku kebijakan. Mereka harus semakin terbuka terhadap kritikan yang datang. Semoga. |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|