Ali K.BahasaOnline
Rencana Revisi UU KPK menimbulkan tarik ulur. Muncul pula penentangan dari berbagai elemen masyarakat yang cinta KPK. Di sela-sela hiruk pikuk revisi UU KPK mencuat wacana baru. KPK diganti saja dengan KPM. ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ diganti ‘Komisi Pemberantasan Maling’. Kata ‘korupsi’ diganti kata ‘maling’. Harapannya memberi efek jera bagi koruptor. He... he... lucu juga. Wacana itu keluar dari Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Tohari, dalam diskusi lintas agama melawan korupsi di Kantor PP Muhammadiyah. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, pun mengamini. Dipastikan Muhammadiyah bakal menyetujui perubahan nama KPK menjadi KPM. Gayung bersambut, Ketua KPK, Agus Rahardjo, sepakat revisi terhadap UU KPK jika untuk mengubah kata ‘korupsi’ menjadi kata ‘maling’. Ntah serius atau guyonan, perihal wacana penggantian kata ‘korupsi’ dan ‘maling’ bisa kita diskusikan sambil nyruput kopi. Kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok). (https://id.wikipedia.org). Dalam KBBI (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id) ‘korupsi’ dimaknai dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan kata ‘maling’ dalam KBBI dimaknai dengan orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi; pencuri (terutama yang mencuri pada malam hari). Berdasarkan dua pemaknaan tersebut, memang ‘korupsi’ dan ‘maling’ hakikatnya sama, namun memiliki skala yang berbeda. Kelasnya pun juga berbeda. Korupsi itu maling intelektual, maling kelas atas. ‘Korupsi’ analoginya kurang lebih sama dengan prostitusi. Ada prostitusi kelas teri di pinggir-pinggir rel dan kali. Ada juga prostitusi kelas elit harga selangit. Sama halnya maling. Ada maling kelas teri, maling sapi dan TV. Ada juga maling kelas elit, ya koruptor. Prostitusi kelas elit berkedok artis maupun model. Koruptor kelas elit biasa berkedok politikus, pengusaha, maupun pejabat. Sikap dan tindak koruptor tidak ubahnya dengan prostitusi berkedok artis dan model. Ketika seorang model atau artis jelas-jelas terlibat prostitusi, bukannya menarik diri dari dunia artis, justru terkesan menjadi promosi gratis. Pasarannya lebih ramai. Apakah malu? Tidak tuh. Begitu pula dengan koruptor. Ketika mereka kedapatan terbukti korupsi, bukannya malu, malah senyam senyum. Korupsi bagi mereka bukan lagi aib. Harga diri ditukar dengan gelimang harta haram. Tanpa mempedulikan dampak perilaku bejatnya bagi rakyat. Memudarnya ‘Korupsi’ Memang kata ‘korupsi’ tidak lagi mampu memberi label buruk dan efek jera. Hal ini merupakan fenomena bahasa yang menarik. Fakta kebahasaan tersebut termasuk pergeseran makna. Yakni bergesernya makna suatu kata menjadi atau memiliki makna baru. Sebagai contoh, dulu kata ‘pelacur’ dirasa terlalu kasar. Kemudian diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS) ataupun pramuria. Meskipun sudah diperhalus dan dibungkus, kesan negatif tetap muncul juga pada kata WTS dan pramuria. Hal itu terjadi karena makna dirujuk dinilai rendah masyarakat. Sama halnya menutupi bau bangkai dengan aneka rupa parfum. Itulah pergeseran makna yang peyoratif. Fakta sebaliknya terjadi pada kata ‘korupsi’. Makna awal kata ‘korupsi’ sudah jelas-jelas negatif atau rendah. Sekarang kata ‘korupsi’ seolah kehilangan taji dan daya busuk. Seseorang yang terbukti melakukan korupsi bukan lagi sebuah aib. Makna yang seharusnya jelek, kini justru menjadi seolah-olah biasa saja. Bahkan dianggap terhormat bagi keluarga dan kelompoknya. Itulah pergeseran makna ameliorasi. Gejala yang mengarahkan makna kata ke arah yang menyenangkan dan positif (Parera, 2004). Pergeseran makna itu lebih disebabkan faktor psikologis pemakai bahasa. Begitu seringnya kita mendengar berita kasus korupsi, membuat korupsi dianggap sebagai kejahatan yang biasa. Begitu pula psikologis koruptor berandil besar terjadinya pergeseran makna kata. Mereka masih bisa senyam senyum. Mereka masih bisa melambaikan tangan ke wartawan. Tatapannya seolah berpesan kepada keluarga, “Papa baik-baik saja”. KPK atau KPM Sepakat dengan Buya Syafii Maarif. Tidak perlu mengubah nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Komisi Pemberantasan Maling (KPM). Bagi beliau kata ‘maling’ untuk mengganti ‘korupsi’ terlalu ringan. Mengganti kata ‘korupsi’ dengan kata ‘maling’ tidak tepat secara bahasa dan realita. Kalau itu benar-benar dilakukan, justru kasihan para maling. Nama jelek mereka semakin tercemar. Mereka hanya pencuri ecek-ecek dikira pencuri harta negara. Atau justru stigma koruptor menular ke para maling. Bisa-bisa para maling yang tertangkap ikut melambaikan tangan dan senyam senyum seperti para koruptor. Lalu apa yang harus dilakukan agar kata ‘korupsi’ kembali bertaji? Persoalan mendasar terkait daya makna kata ‘korupsi’ yakni mengembalikan daya psikologisnya. Cara masyarakat dan penegak hukum memperlakukan koruptor harus diubah. Semestinya, masyarakat terlebih penegak hukum, geramnya berkali-kali lipat dalam memandang koruptor. Kenyataannya, maling tertangkap sering dihias dengan benjolan di muka. Sedang koruptor pasti berdandan rapi dan riasan cantik. Jadi, yang perlu diubah bukan kata ‘korupsi’, melainkan persepsi dan tindak kita dalam memaknai kata ‘korupsi’. Persepsi dan perlakuan penegak hukum terhadap para koruptor. Sepantasnya koruptor diperlakukan jauh lebih buruk daripada maling. Jauh lebih dipermalukan daripada maling. Agar tidak ada lagi koruptor yang senyam senyum. Agar tidak ada lagi koruptor yang sumringah melambaikan tangan. Pada akhirnya para koruptor mampu memaknai kata ‘korupsi’ kemudian jera dan malu. Saya yakin maling-maling juga setuju. Opini dimuat di Kolom Laras Bahasa Lampung Post, 23 Maret 2016 |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|