aLelaki renta setengah baya Geram di trotoar jalan Saat panas tikam kepala Seorang buruh disingkirkan Bising mesin menyulut resah Masih bisa engkau pendam Canda anak istri di rumah Bangkitkan kau untuk bertahan Itulah penggalan lirik lagu PHK karya Iwan Fals. PHK menjadi mimpi buruk sekaligus malaikat maut bagi kaum buruh. Awal bulan Mei 2015 menjadi momentun istimewa. Hingar bingar para pekerja merayakan hari besar mereka. 1 Mei, Hari Buruh Sedunia. Beberapa ruas jalan utama di Ibukota diliburkan. Jalanan menjadi panggung bagi ribuan buruh menyuarakan segala tuntutan. Buruh dalam KBBI dimaknai sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Perkembangannya saat ini, kata buruh mengalami perubahan makna peyoratif. Kata buruh diidentikkan dengan pekerja kasar dengan status sosial rendah. Buruh mempunyai sejarah panjang seiring sejarah bangsa. Buruh sudah lama lahir di desa-desa. Kita yang mempunyai sejarah tinggal di desa atau saat ini tinggal di desa, kata buruh sangat akrab di telingga. Buruh di desa identik dengan buruh tani. Bicara tentang buruh mengingatkan pada ibu-ibu di kampung dulu. Salah satunya, sebut saja Simbok. Simbok dengan buruh tani yang lain berangkat pagi-pagi. Mereka tidak memakai seragam. Baju lengan panjang, jarik ataupun celana panjang seadanya melekat di badan. Hanya caping yang membuat mereka tampak rampak. Kala ditanya ke mana, serempak mereka menjawab, "Buruh tandur (tanam) ”. Buruh di desa menyesuaikan masa tanam. Ada buruh macul (cangkul), buruh tandur/tanam, buruh matun/menyiangi, dan buruh panen. Tidak ada spesialisasi, orangnya itu-itu saja. Mereka tidak ada serikat buruh macul, buruh tandur, buruh matun, ataupun buruh panen. Seandainya ada, mungkin setiap tanggal 1 Mei mereka juga libur ke sawah. Para buruh tani sebagian besar tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Untuk menyambung hidup keluarga, mereka mengandalkan hasil upah buruh. Dulu mereka dalam sehari biasanya mendapat upah antara lima ribu sampai sepuluh ribu. Kalau sekarang sudah mengalami kenaikan pada kisaran empat puluh ribu. Terkadang kalau buruh panen, dibayar dengan menggunakan gabah atapun singkong. Persoalan kenaikan upah, biasanya diselesaikan dengan dasar ilmu tahu sama tahu. Misalnya, saat paceklik, Simbok dan teman-temannya menyadari dan mau menerima upah yang kurang. Sebaliknya, saat hasil panen melimpah, pemilik sawah ikhlas memberi upah lebih dari biasanya. Kedua pihak saling mengerti. Kedua pihak saling memahami. Ketiadaan buruh tani membuat padi-padi di sawah tenggelam dalam rimbun rerumputan. Sebaliknya, apabila pemilik sawah membiarkan sawahnya bero tanpa tanaman, buruh tani pun bingung mencari makan. Simbok bekerja sebagai buruh, anaknya pun tidak mau ketinggalan. Si anak mengisi libur sekolah dengan nginthil Simbok ke sawah. Anaknya ikut ndaut (mencabut bibit dari persemaian), atau sekadar mencabuti rumput. Panas terik mentari justru membakar semangat anak itu. Dia tidak merasa bekerja. Semua yang dilakukan bagian dari senang-senang. Ya, mungkin sama senangnya anak-anak sekarang yang asyik memainkan ponsel pintarnya. Istirahat makan siang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Si anak ikut makan bekal yang dibawa pemilik sawah. Kalau beruntung bonus es dawet. Ehm, segarnya. Untuk mendapat ‘upah’ makan siang dan es dawet itu, Si anak harus menyelesaikan tugasnya. Si anak belajar makna ulet dan tekun. Si anak belajar makna bekerja keras, untuk meraih sesuatu butuh perjuangan dan kesabaran. Saat sedang makan dan berteduh di bawah rimbun pohon jati, simbok mengelus kepala anaknya. “Le, sekolah sek pinter yo. Ojo koyo Simbok. Wong bodo isone buroh. Sekolah sek dhuwur. Kerjo ben cekelane pulpen, dudu pacul. Simbok mung iso ndongo.” Si anak pun mengangguk. Anak belajar arti penting pendidikan. Anak belajar arti penting motivasi mengukir hidup yang lebih baik. Selesai buruh dari sawah, Simbok menuntun sepeda membawa karung besar berisi rerumputan. Si anak ikut mendorong sepeda. Saat itulah anak belajar berbakti kepada orangtua. Rangkaian pelajaran berharga dari guru dan sekolah istimewa. Orang desa seperti Simbok itu, tidak pernah tahu, setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Simbok tidak mengenal Ki Hajar Dewantara. Namun, keseharian Simbok sudah diwarnai dengan penerapan, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Simbok tidak tahu apa itu kurikulum. Simbok memberikan pendidikan kepada anak sebisa dan setahunya. Simbok tidak menekankan berhitung dan membaca, tetapi menghayati ilmu hidup dan kehidupan. Apa yang telah diberikan Simbok kepada anaknya, sekarang dikenal dengan pendidikan karakter. Simbok tidak pernah mendapatkan penyuluhan apalagi pelatihan. Kemuliaan ilmu Simbok diamini Daniel Muhammad Rosyid, (Jawapos, 1/5/15). Rosyid menyampaikan pentingnya pendidikan keluarga. Keteladanan karakter orangtua harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Memaknai Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional Ini merupakan kehendak Ilahi. Menyandingkan Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional dalam dua hari berurutan. Simbok telah terlebih dahulu memaknai kedua peringatan itu. Buruh tani bukan sebuah pilihan, melainkan paksaan keadaan. Getirnya keadaan sebagai buruh tani menjadi pelajaran berharga. Apa yang dialami dan dijalani jangan lagi diwariskan. Keadaan harus berubah. Karakter pekerja keras, ulet, sabar, dan tidak lelah meraih cita harus dibenamkan dalam benak anak. Pendidikan menjadi jalan mengubah kegetiran menjadi senyuman. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang bermental ‘buruh tani’ bekerja keras sepenuh hati. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang mencetak karakter anak-anak negeri. Maaf, sedikit terlambat. Selamat Hari Buruh Sedunia. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jayalah Indonesia. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Rencana Revisi UU KPK menimbulkan tarik ulur. Muncul pula penentangan dari berbagai elemen masyarakat yang cinta KPK. Di sela-sela hiruk pikuk revisi UU KPK mencuat wacana baru. KPK diganti saja dengan KPM. ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ diganti ‘Komisi Pemberantasan Maling’. Kata ‘korupsi’ diganti kata ‘maling’. Harapannya memberi efek jera bagi koruptor. He... he... lucu juga. Wacana itu keluar dari Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Tohari, dalam diskusi lintas agama melawan korupsi di Kantor PP Muhammadiyah. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, pun mengamini. Dipastikan Muhammadiyah bakal menyetujui perubahan nama KPK menjadi KPM. Gayung bersambut, Ketua KPK, Agus Rahardjo, sepakat revisi terhadap UU KPK jika untuk mengubah kata ‘korupsi’ menjadi kata ‘maling’. Ntah serius atau guyonan, perihal wacana penggantian kata ‘korupsi’ dan ‘maling’ bisa kita diskusikan sambil nyruput kopi. Kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok). (https://id.wikipedia.org). Dalam KBBI (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id) ‘korupsi’ dimaknai dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan kata ‘maling’ dalam KBBI dimaknai dengan orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi; pencuri (terutama yang mencuri pada malam hari). Berdasarkan dua pemaknaan tersebut, memang ‘korupsi’ dan ‘maling’ hakikatnya sama, namun memiliki skala yang berbeda. Kelasnya pun juga berbeda. Korupsi itu maling intelektual, maling kelas atas. ‘Korupsi’ analoginya kurang lebih sama dengan prostitusi. Ada prostitusi kelas teri di pinggir-pinggir rel dan kali. Ada juga prostitusi kelas elit harga selangit. Sama halnya maling. Ada maling kelas teri, maling sapi dan TV. Ada juga maling kelas elit, ya koruptor. Prostitusi kelas elit berkedok artis maupun model. Koruptor kelas elit biasa berkedok politikus, pengusaha, maupun pejabat. Sikap dan tindak koruptor tidak ubahnya dengan prostitusi berkedok artis dan model. Ketika seorang model atau artis jelas-jelas terlibat prostitusi, bukannya menarik diri dari dunia artis, justru terkesan menjadi promosi gratis. Pasarannya lebih ramai. Apakah malu? Tidak tuh. Begitu pula dengan koruptor. Ketika mereka kedapatan terbukti korupsi, bukannya malu, malah senyam senyum. Korupsi bagi mereka bukan lagi aib. Harga diri ditukar dengan gelimang harta haram. Tanpa mempedulikan dampak perilaku bejatnya bagi rakyat. Memudarnya ‘Korupsi’ Memang kata ‘korupsi’ tidak lagi mampu memberi label buruk dan efek jera. Hal ini merupakan fenomena bahasa yang menarik. Fakta kebahasaan tersebut termasuk pergeseran makna. Yakni bergesernya makna suatu kata menjadi atau memiliki makna baru. Sebagai contoh, dulu kata ‘pelacur’ dirasa terlalu kasar. Kemudian diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS) ataupun pramuria. Meskipun sudah diperhalus dan dibungkus, kesan negatif tetap muncul juga pada kata WTS dan pramuria. Hal itu terjadi karena makna dirujuk dinilai rendah masyarakat. Sama halnya menutupi bau bangkai dengan aneka rupa parfum. Itulah pergeseran makna yang peyoratif. Fakta sebaliknya terjadi pada kata ‘korupsi’. Makna awal kata ‘korupsi’ sudah jelas-jelas negatif atau rendah. Sekarang kata ‘korupsi’ seolah kehilangan taji dan daya busuk. Seseorang yang terbukti melakukan korupsi bukan lagi sebuah aib. Makna yang seharusnya jelek, kini justru menjadi seolah-olah biasa saja. Bahkan dianggap terhormat bagi keluarga dan kelompoknya. Itulah pergeseran makna ameliorasi. Gejala yang mengarahkan makna kata ke arah yang menyenangkan dan positif (Parera, 2004). Pergeseran makna itu lebih disebabkan faktor psikologis pemakai bahasa. Begitu seringnya kita mendengar berita kasus korupsi, membuat korupsi dianggap sebagai kejahatan yang biasa. Begitu pula psikologis koruptor berandil besar terjadinya pergeseran makna kata. Mereka masih bisa senyam senyum. Mereka masih bisa melambaikan tangan ke wartawan. Tatapannya seolah berpesan kepada keluarga, “Papa baik-baik saja”. KPK atau KPM Sepakat dengan Buya Syafii Maarif. Tidak perlu mengubah nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Komisi Pemberantasan Maling (KPM). Bagi beliau kata ‘maling’ untuk mengganti ‘korupsi’ terlalu ringan. Mengganti kata ‘korupsi’ dengan kata ‘maling’ tidak tepat secara bahasa dan realita. Kalau itu benar-benar dilakukan, justru kasihan para maling. Nama jelek mereka semakin tercemar. Mereka hanya pencuri ecek-ecek dikira pencuri harta negara. Atau justru stigma koruptor menular ke para maling. Bisa-bisa para maling yang tertangkap ikut melambaikan tangan dan senyam senyum seperti para koruptor. Lalu apa yang harus dilakukan agar kata ‘korupsi’ kembali bertaji? Persoalan mendasar terkait daya makna kata ‘korupsi’ yakni mengembalikan daya psikologisnya. Cara masyarakat dan penegak hukum memperlakukan koruptor harus diubah. Semestinya, masyarakat terlebih penegak hukum, geramnya berkali-kali lipat dalam memandang koruptor. Kenyataannya, maling tertangkap sering dihias dengan benjolan di muka. Sedang koruptor pasti berdandan rapi dan riasan cantik. Jadi, yang perlu diubah bukan kata ‘korupsi’, melainkan persepsi dan tindak kita dalam memaknai kata ‘korupsi’. Persepsi dan perlakuan penegak hukum terhadap para koruptor. Sepantasnya koruptor diperlakukan jauh lebih buruk daripada maling. Jauh lebih dipermalukan daripada maling. Agar tidak ada lagi koruptor yang senyam senyum. Agar tidak ada lagi koruptor yang sumringah melambaikan tangan. Pada akhirnya para koruptor mampu memaknai kata ‘korupsi’ kemudian jera dan malu. Saya yakin maling-maling juga setuju. Opini dimuat di Kolom Laras Bahasa Lampung Post, 23 Maret 2016 Ada sebuah lelucon lama yang menggelitik bagi kita, namun menyakitkan bagi yang berpolitik. Pertanyaan, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?” Jawab, “Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.” Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong. (Jason Jones dan Shan Wareing). Setiap hari kita disuguhi dengan drama politik negeri. Sebuah cerita panjang tak berkesudahan. Selama negeri ini masih ada, drama itu pun tiada akhirnya. Sebuah drama politik dengan pemain yang silih berganti. Mereka beradu ‘akting’ dengan cerita yang sering tidak penting. Satu hal yang menonjol dan menarik dari para pemain drama politik. Kelihaian mereka mengolah gaya bahasa nan memikat. Masyarakat sebagai penonton terpesona pun terpedaya. Semakin susah membedakan yang benar-benar benar, dan mana yang hanya bunga-bunga bibir menutupi sebuah kebusukan. Ada yang berkoar-koar jangan pernah korupsi, selang beberapa waktu kemudian ditetapkan tersangka korupsi. Ada yang berkoar-koar basmi prostitusi, eh tidak tahunya tertangkap kering-kering basah menikmati gratifikasi ‘molek’ di hotel. Ada yang lantang bersuara padahal tidak paham apa yang dikatakan. Itulah perilaku sebagian politisi yang pantas disebut poli(tikus). Menurut Orwell (dalam Jason Jones dan Shan Wareing, 2006), bahasa politik adalah pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela. Terkadang membela membabi buta agar orang mengira yang dikatakan benar adanya. Orwell mengatakan bahasa politik sebagian besar terdiri dari eufimisme, pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan, dan ungkapan-ungkapan tidak jelas. Bahasa eufimisme berperan membungkus sampah dapat terlihat mewah. Menyamarkan kemlaratan dengan ketertinggalan. Menyamarkan korupsi dengan beragam jenis alokasi. Meminjam kepentingan rakyat, padahal untuk kepentingan pribadi dan konglomerat. Bahasa politik berisi pendapat dan ungkapan tidak jelas bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Bahasa politik dirancang untuk membuat dusta terdengar benar. Membuat pembunuhan terdengar tindakan mulia. Membuat omong kosong terdengar meyakinkan. Terlebih lagi menjelang Pilkada serempak tahun ini. Para pemain drama politik lokal seperti penjual durian di pinggir jalan. Memajang visi misi dengan rapi. Melambai tangan agar masyarakat mendekat. Bujuk rayu pun dilancarkan. Bagi yang tidak bisa ‘membaca’, yang dikatakan benar atau sebatas tipu muslihat, pasti terpedaya. Masyarakat membutuh wawasan agar dapat membedakan. Para politisi sebaiknya berbenah diri. Orwell mengajukan beberapa aturan penggunaan bahasa yang harus diterapkan para politisi. Aturan itu bertujuan mewujudkan komunikasi yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Pertama, jangan menggunakan metafor atau perumpamaan. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas membuat pendengar kesulitan memahami konsep yang diajukan. Masyarakat sudah terbiasa hidup sederhana. Masyarakat membutuhkan kesederhanaan konsep pula agar dapat mudah mencerna. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek mampu mengemukakan maksud yang sama. Kata yang panjang memang kedengarannya lebih formal dan serius daripada kata-kata pendek. Padahal ya, sami mawon. Acap kali politisi menggunakan kalimat panjang untuk membuat orang terkesan, orang segan, atau sengaja agar orang kebingungan. Gagasan berbobot tidak akan hilang taji dengan pernyataan sederhana. Ketiga, kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang saja. Menambah kata-kata yang tidak perlu merupakan teknik membuat pernyataan lebih mengesankan dari sebenarnya sehingga sulit dimengerti. Jadi, kalau politisi berharap agar rakyat benar-benar memahami yang dikatakan, buanglah kata-kata yang tidak perlu. Keempat, jangan menggunakan kata pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif. Ini terkait dengan masalah tata bahasa. Kalimat aktif mampu memberikan informasi lebih jelas dan langsung. Sedangkan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, rumit, informasinya pun lebih sedikit. Kelima, jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah, atau jargon apabila ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama. Istilah yang terkesan hebat sebatas berfungsi afektif, bukan informatif. Pendengar sebatas terkesan dengan betapa hebatnya si pembicara. Saat ditanya apa isi yang didengarkan, hanya geleng-geleng kepala alias tidak tahu isinya. Keenam, semua aturan tersebut lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang tidak benar. Dalam hal ini, isi lebih penting daripada kemasan penggunaan bahasa. Aturan satu sampai lima terkait masalah gaya bahasa. Bagaimana cara mengatakan sesuatu dan bukan apa yang dikatakan. Akhirnya, yang penting dari sebuah bahasa politik adalah isi yang disampaikan. Percuma mematuhi aturan satu sampai lima apabila mengabaikan aturan keenam. Percuma menebar janji, beretorika dengan gaya bahasa meyakinkan, apabila tidak pernah merealisasikan. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Halaman-halaman Kaltim Post mulai dihiasi aneka berita jelang Pemilihan Wali Kota Samarinda 2015. Petahana sibuk berbenah berharap kelak terpilih lagi. Sebisa mungkin petahana tampil memikat pada detik-detik akhir. Wajah-wajah pesaing pun mulai bermunculan. Mungkin mereka bermimpi indah, masyarakat terpesona dan jatuh hati. Seperti alunan lagu Rina Nose: Maju mundur, maju mundur cantik, cantik. Kedip mata biar kau tertarik. Masyarakat Samarinda sepatutnya berpikir jernih. Semoga tidak ada lagi barter aspirasi dengan amplop. Masyarakat tidak mudah terbuai janji manis. Masyarakat jangan mau diperlakukan layaknya tempat berlabuh. Para calon wali kota berlabuh selagi butuh, kemudian berlalu pergi entah kapan akan kembali. Masyarakat sudah terlalu sering diperlakukan seperti itu. “Tahu lah Acil, Sakitnya tuh di sini!” Menjadi menarik membahas wali kota dari kaca mata kajian bahasa. Hakikatnya, seorang wali kota memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah . Hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.. Kata wali kota termasuk bentuk polisemi. Polisemi berasal dari kata poly dan sema, yang masing-masing berarti banyak dan tanda. Polisemi berarti bentuk bahasa (kata, frasa, dsb.) yang mempunyai makna lebih dari satu. Polisemi memiliki makna berbeda, tetapi masih memiliki hubungan makna. Contoh polisemi di antaranya kata kepala. Kata kepala memiliki polisemi kepala sekolah, kepala rumah tangga, kepala surat, dan kepala daerah. Kata kepala dalam polisemi tersebut dapat diartikan bermacam-macam. Beragam arti tersebut mengacu pada arti utama kata kepala sebagai bagian tubuh manusia yang ada di atas leher. Kata wali memiliki polisemi sebagai berikut: wali Allah, wali kota, wali hakim, wali kelas, wali murid, wali negara, dan wali negeri. Pemakaian kata wali pada konteks polisemi tersebut tidak menimbulkan makna yang benar-benar baru. Makna-makna tersebut masih memiliki kesamaan rujukan dengan makna wali yang berarti seseorang yang dipercaya, pelindung, atau pemimpin. Wali kota adalah orang yang dipercaya. Wali kota mendapatkan kepercayaan atau amanah dari rakyat yang memilih. Makna kata wali kota sebagai orang yang dipercaya berdekatan makna dengan kata wali Allah. Wali Allah dapat dimaknai orang yang dipercaya Allah atau ada juga yang memaknai Teman Allah. Wali dalam kisah penyebaran Islam di Nusantara, tidak bisa lepas dari Walisongo. Walisongo mumpuni dalam hal ilmu agama. Selain itu, Walisongo memiliki karomah bagi kehidupan masyarakat. Seorang wali kota dalam menjalankan pemerintahannya dapat meneladani sifat-sifat Wali Allah. Tulus menjalankan kepercayaan yang Allah berikan. Wali kota harus dapat menjadi karomah bagi masyarakat dan negara. Niscaya sang Wali kota akan selalu terpatri di hati masyarakat. Masyarakat akan mengenang sang Wali kota sebagai pemimpin yang amanah. Bekerja tulus untuk mendapatkan keridhoan Allah. Wali kota adalah pelindung. Pelindung masyarakat dari kepentingan kelompok. Pelindung masyarakat dari rasa tidak aman. Pelindung masyarakat dari keresahan tidak mampu menyekolahkan anak. Pelindung masyarakat agar dapat bekerja dengan aman dan nyaman. Wali kota adalah seorang pemimpin. Wali kota dalam memimpin dapat meneladani kepribadian para khalifah. Dalam sejarah Islam tercatat, Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai seorang khalifah yang patut menjadi teladan. Beliau sangat jujur. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah dari siapa pun. Sebuah riwayat menyebutkan, setelah dinobatkan datanglah seorang konglomerat yang hendak memberikan hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Azis menolak keras pemberian itu. Baginya, hadiah itu tidak ubahnya usaha penyuapan. Kolusi dan persekongkolan antara wali kota dengan kolega dapat berdampak pada penyuapan dan korupsi. Seorang wali kota sebagai pejabat negara saat dilantik telah bersumpah atas nama Allah. Dia bersumpah untuk tidak menerima hadiah atau sesuatu pemberian yang diketahui atau diperkirakan akan merugikan negara dan jabatannya. Suatu sumpah yang tidak main-main. Pertanggungjawabannya langsung kepada Allah. Seperti Khalifah Umar, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah memperingatkan gubernurnya di Mesir. Gubernur itu dijamu makan para pengusaha setempat. Beliau berkata”Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan pada diri Anda sendiri, dan carilah kepuasan rakyat, karena kepuasan rakyat memandulkan kepuasan segelintir orang yang berkedudukan istimewa. Ingatlah! Segelintir orang yang berkedudukan istimewa itu tak akan mendekati Anda ketika Anda dalam kesulitan.” Seorang wali kota adalah orang yang dipercaya, pelindung, dan juga pemimpin. Wali kota selayaknya bermanfaat bagi masyarakat. Bersih dari hal-hal yang merugikan. Wali kota bisa meneladani kegigihan dan ketulusan dari Wali Allah. Wali kota harus mampu menjaga dan melaksanakan amanah masyarakat. Wali kota harus mampu melindungi kepentingan masyarakat. Wali kota harus menjadi pemimpin seperti para khalifah. Saatnya para calon wali kota bertanya pada diri sendiri, “Layakkah saya menerima amanah? Layakkah saya sebagai pelindung? Layakkah saya memegang tongkat kepemimpinan? Kuatkah saya menahan rongrongan kepentingan pribadi dan kelompok?” Seandainya masih ragu terlebih lagi merasa tidak mampu, sebaiknya mereka jujur berkata, “Kalian pilih yang lain saja”. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|