Ali K.BahasaOnline
Ada sebuah lelucon lama yang menggelitik bagi kita, namun menyakitkan bagi yang berpolitik. Pertanyaan, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?” Jawab, “Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.” Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong. (Jason Jones dan Shan Wareing). Setiap hari kita disuguhi dengan drama politik negeri. Sebuah cerita panjang tak berkesudahan. Selama negeri ini masih ada, drama itu pun tiada akhirnya. Sebuah drama politik dengan pemain yang silih berganti. Mereka beradu ‘akting’ dengan cerita yang sering tidak penting. Satu hal yang menonjol dan menarik dari para pemain drama politik. Kelihaian mereka mengolah gaya bahasa nan memikat. Masyarakat sebagai penonton terpesona pun terpedaya. Semakin susah membedakan yang benar-benar benar, dan mana yang hanya bunga-bunga bibir menutupi sebuah kebusukan. Ada yang berkoar-koar jangan pernah korupsi, selang beberapa waktu kemudian ditetapkan tersangka korupsi. Ada yang berkoar-koar basmi prostitusi, eh tidak tahunya tertangkap kering-kering basah menikmati gratifikasi ‘molek’ di hotel. Ada yang lantang bersuara padahal tidak paham apa yang dikatakan. Itulah perilaku sebagian politisi yang pantas disebut poli(tikus). Menurut Orwell (dalam Jason Jones dan Shan Wareing, 2006), bahasa politik adalah pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela. Terkadang membela membabi buta agar orang mengira yang dikatakan benar adanya. Orwell mengatakan bahasa politik sebagian besar terdiri dari eufimisme, pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan, dan ungkapan-ungkapan tidak jelas. Bahasa eufimisme berperan membungkus sampah dapat terlihat mewah. Menyamarkan kemlaratan dengan ketertinggalan. Menyamarkan korupsi dengan beragam jenis alokasi. Meminjam kepentingan rakyat, padahal untuk kepentingan pribadi dan konglomerat. Bahasa politik berisi pendapat dan ungkapan tidak jelas bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Bahasa politik dirancang untuk membuat dusta terdengar benar. Membuat pembunuhan terdengar tindakan mulia. Membuat omong kosong terdengar meyakinkan. Terlebih lagi menjelang Pilkada serempak tahun ini. Para pemain drama politik lokal seperti penjual durian di pinggir jalan. Memajang visi misi dengan rapi. Melambai tangan agar masyarakat mendekat. Bujuk rayu pun dilancarkan. Bagi yang tidak bisa ‘membaca’, yang dikatakan benar atau sebatas tipu muslihat, pasti terpedaya. Masyarakat membutuh wawasan agar dapat membedakan. Para politisi sebaiknya berbenah diri. Orwell mengajukan beberapa aturan penggunaan bahasa yang harus diterapkan para politisi. Aturan itu bertujuan mewujudkan komunikasi yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Pertama, jangan menggunakan metafor atau perumpamaan. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas membuat pendengar kesulitan memahami konsep yang diajukan. Masyarakat sudah terbiasa hidup sederhana. Masyarakat membutuhkan kesederhanaan konsep pula agar dapat mudah mencerna. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek mampu mengemukakan maksud yang sama. Kata yang panjang memang kedengarannya lebih formal dan serius daripada kata-kata pendek. Padahal ya, sami mawon. Acap kali politisi menggunakan kalimat panjang untuk membuat orang terkesan, orang segan, atau sengaja agar orang kebingungan. Gagasan berbobot tidak akan hilang taji dengan pernyataan sederhana. Ketiga, kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang saja. Menambah kata-kata yang tidak perlu merupakan teknik membuat pernyataan lebih mengesankan dari sebenarnya sehingga sulit dimengerti. Jadi, kalau politisi berharap agar rakyat benar-benar memahami yang dikatakan, buanglah kata-kata yang tidak perlu. Keempat, jangan menggunakan kata pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif. Ini terkait dengan masalah tata bahasa. Kalimat aktif mampu memberikan informasi lebih jelas dan langsung. Sedangkan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, rumit, informasinya pun lebih sedikit. Kelima, jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah, atau jargon apabila ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama. Istilah yang terkesan hebat sebatas berfungsi afektif, bukan informatif. Pendengar sebatas terkesan dengan betapa hebatnya si pembicara. Saat ditanya apa isi yang didengarkan, hanya geleng-geleng kepala alias tidak tahu isinya. Keenam, semua aturan tersebut lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang tidak benar. Dalam hal ini, isi lebih penting daripada kemasan penggunaan bahasa. Aturan satu sampai lima terkait masalah gaya bahasa. Bagaimana cara mengatakan sesuatu dan bukan apa yang dikatakan. Akhirnya, yang penting dari sebuah bahasa politik adalah isi yang disampaikan. Percuma mematuhi aturan satu sampai lima apabila mengabaikan aturan keenam. Percuma menebar janji, beretorika dengan gaya bahasa meyakinkan, apabila tidak pernah merealisasikan. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|