Riuh. Ada yang pro ada yang kontra. Begitulah suasana masyarakat menanggapi wacana pemerintah ‘menghidupkan kembali’ pasal ‘penghinaan presiden’ yang telah dimumikan MK. Bagi masyarakat yang kontra, trauma daya jerat pasal itu akan mengekang kebebasan demokrasi. Bagi masyarakat yang pro, menginginkan perlunya aturan untuk menghindari pelecehan presiden sebagai pemimpin negara. Sebagaimana dituturkan Hendropriyono, "Menghina presiden itu salah. Masak dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina. Itu tidak boleh” (7/8/2015). Sekarang kita diskusikan wacana ‘pasal penghinaan’ tersebut. Bukan dari kacamata hukum dan politik, melainkan dari kacamata bahasa. Tidak dapat dipungkiri, pro kontra muncul karena masih remang-remangnya penafsiran kata ‘penghinaan’ dan ‘kritikan’. Coba kita raba dan singkap penafsiran kedua kata itu. Agar lebih objektif, kita harus melepaskan dahulu objek hinaan dan kritikan tersebut dari sosok Presiden Jokowi. Terus dipakaikan kepada siapa? Ya, kita pakai sama-sama. Tidak peduli pro atau kontra. Dengan begitu, kita sama-sama merasakan. Sama-sama ‘menikmati’ kritikan dan hinaan. Mari kita urai pelan-pelan kedua kata itu. Sebuah kritikan memiliki makna dan rasa yang bertolak belakang dengan pujian. Pujian selalu menyenangkan untuk didengarkan. Bahkan sering kali membuat orang melayang ke awang-awang. Berbeda dengan kritikan yang sangat sedikit orang berkenan membukakan telinga. Kritik biasa ditujukan kepada seseorang atas tindakannya. Institusi atas kebijakannya. ‘Kritik’ dalam KBBI (2015) dimaknai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Berkiblat pada makna tersebut dapat dipahami bahwa kritik dapat berupa kecaman. Selain itu, kritik juga dapat berupa tanggapan yang bersifat membangun. Kedua jenis kritikan tersebut akan terus hadir sepanjang manusia ada dan hidup bermasyarakat. Interaksi dalam kehidupan sosial tidak bisa lepas dari kritikan. Terlebih dalam kehidupan bernegara. Setiap kebijakan pemerintah sangat memungkinkan tidak dapat memuaskan semua pihak. Latar belakang pengkritik memang berpengaruh terhadap substansi maupun kemasan kritikan. Kritikan, dengan substansi yang sama, dapat disampaikan dengan bahasa yang beraneka. Terlebih lagi bagi lawan politik. Perlu diingat, jangan sampai terjadi kritik membabi buta. Gara-gara tidak suka pada orangnya, apa pun pendapat dan tindakannya, semua dianggap salah. Oleh karena itu, lagi-lagi kembali pada niatnya. Kritikan yang didasari niat baik lebih beraroma konstruktif. Pilihan dan bentuk bahasanya pun santun. Bila ternyata yang dikritik tebal telinga, pengkritik biasanya menaikkan level kepedasan kritikan. Sebaliknya, kritikan yang didasari niatan tidak baik, lebih berbau destruktif. Bahasanya pun jauh dari kesan santun, tidak mengenakkan, tepatnya menyesakkan. Kripik pedas, eh salah, kritik pedas yang konstruktif maupun kritik destruktif, sama-sama identik dengan bahasa kecaman. Persoalan muncul apabila kecaman tersebut kebablasan. Kebablasan dan terperosok pada jurang penghinaan. Kata‘penghinaan’ dalam KBBI (2015) dapat dimaknai dengan merendahkan kedudukan (pangkat dan martabat seseorang). Sedangkan ‘menghina’ dalam KBBI (2015) dimaknai dengan merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki dan menistakan). Merujuk pada kedua makna tersebut, apabila seseorang melontarkan kritikan yang memuat unsur merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki dan menistakan (mencela) seseorang atau institusi, dapat dikategorikan penghinaan. Masalahnya, ukuran ‘unsur merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki, dan menistakan (mencela)’ masing-masing orang berbeda. Penentuan ukuran itu sama halnya dengan urusan selera sambal. Ada orang yang setengah sendok sambal sudah mules. Ada orang yang bersendok-sendok sambal tetap saja kebal. Sama halnya dalam menyampaikan kritikan yang mengarah hinaan. Ada orang yang sudah merasa terhina dengan sedikit cacian dan makian. Sebaliknya, ada yang tetap santai meski cacian dan makian datang bertubi-tubi. Oleh karena itu, perlu rumusan bersama dari beberapa pendekatan keilmuan tentang batasan umum tingkat kepedasan’ kritikan yang masuk ke level penghinaan. Bukan Bangsa Penghujat Prinsipnya, mengkritik bukanlah sesuatu yang diharamkan. Kritikan justru diperlukan sebagai bahan introspeksi. Kritikan laksana obat yang dapat dibungkus bahasa santun agar terasa senikmat pujian. Seorang pengkritik harus tahu diri. Saat menyampaikan kritik kepada orangtua sepatutnya menggunakan bahasa yang santun. Bukan bahasa hinaan yang merendahkan martabat, memburukkan nama baik, memaki-maki, dan menistakan (mencela). Seorang ‘bapak’ negara juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Sebaliknya, seorang ‘bapak’ pun selayaknya terus menaikkan selera ‘kepedasan’ kritikan yang dilahap. Sedikit demi sedikit, kalau perlu sampai level ketagihan. Hingga suatu saat akan berkata, “Mana ‘sambalnya,’ kok hambar?Kurang pedas ini!” Perlu kesadaran jamak, baik pemimpin maupun yang dipimpin. Setiap orang tentu ingin dikenal sebagai sosok yang santun. Harga diri kita dinilai dari tutur bahasa, seperti pepatah Jawa ajining diri gumantung ing lathi. Dalam skala lebih luas, bahasa menunjukkan budi bahasa bangsanya. Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang santun dan beradab, bukan bangsa yang pandai menghujat. Terlebih suka merendahkan martabat pemimpinnya. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Masih ingat dengan rapat mediasi, 5 Maret 2015 yang diadakan Kemendagri menengahi kisruh antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta? Selain masih berlarut-larutnya masalah itu sampai sekarang juga masih ada penggalan cerita di akhir mediasi. Rapat berakhir buntu. Beberapa oknum diduga anggota DPRD DKI Jakarta melontarkan umpatan, "Gubernur goblok..!"; "Ahok dan SKPD anjing..!"; “Anjing! Bangsat! Sangat memalukan”. Terbaru, muncul kasus yang menyenggol sastrawan Saut Situmorang. Saut ditangkap polisi karena mengeluarkan kata-kata kasar di Facebook, “Jangan mau berdamai dengan bajingan”. Saat itu Saut mengomentari sebuah tautan tentang polemik buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh. Terlepas dari kasus-kasus tersebut. Siapa yang benar siapa yang salah? Menarik bagi kita untuk membahas umpatan-umpatan tersebut. Sejarah Umpatan Anjing, Bangsat, dan Bajingan Kemarahan sewaktu-waktu bisa hinggap pada diri seseorang. Ketika marah dan tidak dapat mengontrol kemarahan, orang berpeluang besar untuk mengumpat. Mengumpat dalam KBBI daring berarti mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb); mencerca; mencela keras; mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik; memaki-maki. Di antara sekian banyak umpatan, rupanya umpatan anjing, bangsat, tai, dan bajingan sedang naik daun. Anjing. Menurut Hendri F. Esnaeni, anjing kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayang. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. ‘Pasai’ kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Anjing sebagai umpatan, bermula ketika Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), menyamakan Raja Mataram, Sultan Agung, dengan ‘seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.’ Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis, ’Verboden voor Inlanders en Honden’ (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Para politisi dan rakyat Belanda pun mengecap Sukarno sebagai ‘anjing piaraan Jepang’. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda sebagai ‘Anjing Belanda’. Anjing sebagai umpatan mengalami perluasan pemakaian. Di beberapa tembok rumah-rumah kosong, biasanya ada tulisan, ‘Dilarang kencing di sini kecuali anjing’. Di tanah-tanah kosong ada plang bertuliskan, ‘Dilarang buang sampah di sini kecuali anjing’. Bangsat. Bangsat dalam KBBI berarti kutu busuk atau kepinding; orang yang bertabiat jahat (terutama suka mencuri mencopet, dsb.). Dalam bahasa Jawa, bangsat disebut tinggi, yakni kutu busuk yang bisa ditemukan di kursi anyaman atau tempat tidur. Bangsat meminum darah manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, istilah bangsat ini mengalami pergeseran makna sebagai sebuah umpatan kekecewaan. Bajingan. Bajingan dalam KBBI berarti penjahat, pencopet, kurang ajar (kata makian). Mengutip Merdeka.com, umpatan bajingan awalnya merujuk pada pengendara gerobak sapi. Konon, pada tahun 1940-an, istilah bajingan ini pertama kali muncul di daerah Banyumas. Pada saat itu sarana transportasi sulit ditemukan. Sarana transportasi alternatif paling banyak gerobak sapi. Masalahnya, kedatangan bajingan ini bisa dibilang suka-suka. Terkadang pagi, siang, sore, bahkan terkadang malam hari. Yah, mungkin sapinya lelah. Masyarakat yang tidak bertemu dengan bajingan, mau tidak mau ya jalan kaki. Seiring waktu banyak warga yang tanpa sengaja melontarkan kalimat-kalimat ketidakpuasan terhadap bajingan. Sejak itulah istilah bajingan ngetren sebagai umpatan karena keterlambatan seseorang, misalnya, "Bajingan, ditunggu-tunggu tidak datang?" Sekarang umpatan itu pun berkembang luas dan umum. Kalau iseng-iseng kita pikir, sebenarnya apa salah anjing? Apa salah bangsat? Apa salah bajingan? Kasihan nama mereka tercemar. Untung mereka tidak pernah mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Tidak terhitung lagi orang yang dapat terjerat. Lha, hampir tiap hari orang menggunakannya sebagai umpatan. Penyebab Ketidaksantunan Luncuran umpatan saat bertutur dianggap sebagai bentuk ketidaksantunan. Pranowo mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan tuturan menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain: menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase yang kasar; didorong rasa emosi; penutur protektif terhadap pendapatnya; sengaja ingin memojokkan mitra tutur; dan menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Sekarang ini yang dikhawatirkan, umpatan yang dituturkan pejabat negara maupun publik figur di media massa maupun media sosial, akan ditiru anak-anak. Kita, yang katanya memegang adat ketimuran, diharapkan memperhatikan kesantunan dalam tuturan. Lebih penting dari itu, anak selain diajarkan santun bertutur juga perlu diajarkan santun berperilaku. Etika bertutur harus didukung dengan perilaku. Ada orang etika tuturannya santun, tetapi perilakunya sebaliknya. Orang seperti itulah yang memancing Ahok mengumpat untuk ke sekian kalinya. Ahok menjuluki orang-orang seperti itu dengan ‘tai’. Menurutnya kata yang paling cocok dan halus untuk orang-orang yang ngembat uang rakyat, ya ‘tai’ . Ada juga orang yang mengumpat orang lain, tetapi tidak sadar sebenarnya dialah yang lebih pantas mendapat umpatan itu. Mengumpat orang lain anjing, padahal dirinya yang lebih pantas mendapat umpatan anjing. Mengumpat orang lain bangsat, padahal dirinya sendiri bangsat. Mengumpat orang lain bajingan, padahal dirinya yang lebih pantas disebut banjingan. Kok saya jadi ikutan mengumpat. Maaf. Hendaklah kita pandai-pandai menjaga lidah, termasuk tidak mengumpat. Jangan sampai orang berprasangka buruk karena lidah kita ringan mengumpat. Jangankan mengumpat sesama, mengumpat nyamuk saja Rasulullah melarang. Dalam hadits riwayat Ahmad, Al-Bukhari dalam “Al-Adab al-Mufrad”, Al-Bazzar, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam “Syu’bul Iman”; dari Anas bin Malil, bahwa sesungguhnya Rasulullah mendengar seorang lelaki mengumpat nyamuk. Lalu beliau bersabda, “Jangan kau umpat nyamuk (itu), karena sesungguhnya ia membangunkan seorang nabi dari para nabi untuk melakukan sholat fajar!”. Bapak dan Ibu terhormat yang memegang amanah rakyat, biasanya santun bertutur. Semoga santun pula perilakunya. Kalau bahasanya santun, tetapi ternyata korupsi, itu sih memaksa rakyat berbuat dosa untuk berkata, “Dasar pejabat perilaku bangsat!”. Aduh, maaf saya mengumpat lagi. * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|