Abstrak Propaganda menggunakan manipulasi dan daya tipuan pesan yang mempesona sebagai sarana negosiasi dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indikasi propaganda dalam tuturan Habib Rizieq Shihab (HRS) menjelang Aksi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) yang diunggah di Facebook. Kerangka pemikiran utama dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes dengan model kajian analisis wacana. Prinsip penafsiran dilakukan secara multimetode, yaitu melalui penafsiran lokal (termasuk ruang dan waktu) dan prinsip analogi dalam menafsirkan pengertian (makna) yang terkandung di dalam wacana. Data penelitian ini berupa tuturan dalam akun Facebook HRS menjelang Aksi GNPF MUI. Hasil penelitian menunjukkan tuturan HRS lebih banyak menyerang pribadi BTP. HRS menuduh BTP menistakan agama Islam sekaligus melecehkan Pancasila. HRS mengajak umat Islam bersatu turun aksi sebagai bentuk jihad. Pemerintah termasuk aparat TNI dan Polri jangan sampai menghalangi aksi GNPF MUI. Tuturan- tuturan HRS termasuk kategori propaganda. Semua propaganda HRS disebarluaskan para pendukungnya sehingga memengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi massa jelang Aksi GNPF MUI. Kata kunci: wacana, propaganda, penistaan agama PENDAHULUAN Dalam perkembangan tahapan Pilkada DKI Jakarta 2017 muncul isu terkait penistaan agama yang dilakukan salah satu calon gubernur, Basuki Tjahja Purnama (BTP). Sejumlah pengacara yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) bersama (NNNN BBBB) NB mendatangi Kantor Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) untuk melaporkan incumbent Gubernur DKI Jakarta, BTP, dengan tuduhan melakukan penistaan agama. BTP dilaporkan terkait isi pidatonya pada saat melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Dalam kesempatan itu, BTP menyinggung QS Al-Maidah ayat 51. Gelombang tuntutan terhadap BTP semakin meluas dan memicu dilakukannya aksi massa hingga beberapa kali. Salah satu aksi yang melibatkan massa dalam jumlah yang banyak adalah aksi pada 4 November 2016 yang digawangi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). Dalam aksi tersebut terdapat unsur yang paling menonjol, yaitu Front Pembela Islam (FPI), ..................(MPJ) , dan Gubernur Muslim untuk Jakarta (GMJ) (Arifin, 2016). Aksi-aksi yang dilakukan FPI itu tidak bisa lepas dari peran sentral HRS, Imam Besar FPI sekaligus tokoh penggerak dalam aksi GNPF MUI. Salah satu media yang digunakan HRS untuk menggerakkan aksi adalah saluran media sosial Facebook. Sebagai tokoh sentral di balik GNPF MUI, HRS tentunya menjadi panutan. Berbagai unggahan HRS dalam akun Facebook menjadi motor penggerak aksi massa GNPF MUI. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah terkait ada tidaknya ciri propaganda dalam unggahan-unggahan yang dilakukan HRS. Oleh karena itu, penelitian ini berkepentingan untuk mengidentifikasi ciri-ciri propaganda dalam tuturan HRS di Facebook menjelang dilaksanakannyan Aksi GNPF MUI. Penelitian ini akan menganalisis upaya pembentukan opini publik yang dilakukan HRS menjelang dilaksanakanya Aksi GNPF MUI. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pembanding penelitian lain yang mengidentifikasi bentuk-bentuk tuturan yang dikategorikan sebagai pembentuk propaganda. Terlebih lagi tuturan itu disampaikan oleh seorang publik figur yang dapat berdampak luas bagi kehidupan di masyarakat. TEORI DAN METODE PENELITIAN Bahasa dalam dunia politik digunakan sebagai sarana penyampai pesan-pesan politik. Melalui bahasa, para politisi menyampaikan aspirasi, visi, dan misi kepada masyarakat. Wacana politik (S. Wareing & Jones, 2007: 55) dilandaskan pada prinsip bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh bahasa. Untuk dapat memengaruhi persepsi orang tersebut salah satunya melalui bahasa propaganda. Dalam KBBI (2017) propaganda dimaknai dengan penerangan (paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Propaganda (dari bahasa Latin modern: propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan) adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya (“Propaganda,” 2017). Propagandis mencoba untuk mengarahkan opini publik untuk mengubah tindakan dan harapan dari target individu. Yang membedakan propaganda dari bentuk-bentuk lain dari rekomendasi adalah kemauan dari propagandis untuk membentuk pengetahuan dari orang-orang dengan cara apapun yang pengalihan atau kebingungan. R.A. Santoso Sastropoetro menyimpulkan pengertian propaganda merupakan suatu penyebaran pesan yang telah terencana secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat, dan tingkah laku dari penerimanya/komunikan sesuai dengan pola yang ditentukan komunikator (Wasono, 2006:54). Menurut Nurudin ((Wasono, 2006:56) komponen penting yang menandai propaganda adalah (1) dalam pro-paganda ada pihak yang secara sengaja melakukan penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan perilaku sasaran propaganda; (2) propaganda dilakukan secara kontinyu; (3) dalam propaganda ada proses penyampaian, gagasan, kepercayaan, bahkan doktrin; (4) tiap propaganda mempunyai tujuan mengubah pendapat, sikap, perilaku individu atau kelompok lain; (5) propaganda dilakukan secara sadar; dan (6) dalam propaganda digunakan media (yang tepat). Cross (Wasono, 2006:64) terdapat 13 jenis teknik propaganda, yakni (1) umpatan (name-calling), (2) sebutan yang muluk-muluk (glit-tering generalities), (3) pupra-pura orang kecil (plain folks appeal), (4) pujian (argumen ad populum), (5) pengalihan pada orang lain (argumen ad hominem) (6) pinjam ketenaran (transfer atau guilt or glory association), (7) ikut-ikutan (bandwagon), (8) sebab-akibat yang keliru (faulty cause and effect), (9) analogi sesat (false dilemma), (12) penumpukan fakta yang mendukung (card stack-ing), dan (13) kesaksian (testimonial). Salah satu tujuan yang hendak dicapai politisi adalah membujuk para pendengar/warga masyarakat untuk percaya validitas dari klaim-klaim si politisi (S. Wareing & Jones, 2007:55). Para politisi menggunakan bahasa sebagai media utama untuk menyampaikan pesan propaganda kepada masyarakat luas. Tanpa adanya bahasa, pesan propaganda tidak dapat disampaikan kepada publik atau pihak yang menerima pesan. Peran besar media sosial dengan kelebihan dalam menyebarluaskan makna sosial menjadikannya memungkinkan dimanfaatkan pihak tertentu. Menurut Thornborrow (2006:82) aspek yang paling menarik dan paling penting dari potensi kekuasaan media jika dilihat dari sudut pandang linguistik adalah cara media memberitakan orang dan kejadian. Peran media sosial dalam memengaruhi sebuah peristiwa terungkap dalam penelitian (Kusno, 2017). Dalam penelitian tersebut dianalisis konflik linguistik yang bernuansa SARA banyak ditemukan dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang berpotensi menjadi pemicu konflik sosial. Selanjutnya, pengungkapan indikasi propaganda dengan semiotik Roland Barthes terarah pada wacana khusus yang disebut mitos (miyth) yakni wacana berkonotasi, wacana yang memasuki lapisan konotasi dalam proses signifikasinya (Budiman, 2002:95). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif (Moleong, 1994:6). Objek penelitian ini berupa penggunaan bahasa dalam akun Facebook HRS menjelang Aksi GNPF MUI, 4 November 2016. Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen. Sumber data dokumen yaitu akun Facebook HRS. Penelitian ini menggunakan kajian analisis wacana. Prinsip penafsiran dapat melalui penafsiran lokal (termasuk ruang dan waktu) dan prinsip analogi dalam menafsirkan penggertian (makna) yang terkandung di dalam wacana (Djajasudarma, 1993: 75). Pengkajian data dilakukan dengan menginterpretasikan tanda dan makna pesan verbal, serta unsur pembentukan opini dalam akun Facebook HRS tersebut. Hasil penelitian ini juga peneliti verivikasi melalui diskusi dengan ahli bahasa dan komunikasi, yakni Andhika Duta Bachari (UPI) dan Sitti Syahar Inayah (IAIN Samarinda). PEMBAHASAN Berikut ini analisis penggunaan bahasa dalam akun Facebook HRS beberapa hari sebelum aksi 4 November 2016. Analisis makna dikelompokkan berdasarkan kategori makna propaganda dalam akun Facebook HRS. Ahok sebagai Penista Agama Islam Makna pertama dalam tuturan HRS terdapat tuturan yang mengandung pemaknaan bahwa BTP penista agama (Islam). Dalam KBBI V (“KBBI Daring,” 2016) nista diartikan dengan hina, rendah. Penista agama berarti orang yang menghina atau merendahkan agama (Islam). HRS menuduh BTP merendahkan agama Islam. Pernyataan Polri setelah memeriksa Ahok: "Hukum Agama mungkin kena, Hukum Positif belum tentu." Ini Pernyataan Polisi Penegak Hukum atau Advokat Pembela Ahok ... ???!!! Penista Agama di Indonesia sama-sama kena Hukum Agama dan Hukum Positif ... !!! Hukum Positif yang mana yang membiarkan dan melepaskan Penista Agama ... ??? Atau mungkin maksud POLRI: "Silakan umat Islam menghukum Ahok dengan Hukum Agama saja". Kalau begitu, tentu LEBIH BAIK (25 Oktober 2016). Makna tataran pertama tuturan itu membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Selanjutnya, pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu mengandung makna yang merepresentasikan bahwa masyarakat patut mempertanyakan sikap Polri yang tidak juga menghukum BTP. HRS menyatakan bahwa tidak ada satu pun hukum positif yang membiarkan dan melepaskan penista agama (termasuk BTP). HRS berpendapat pernyataan Kapolri dapat ditafsirkan umat Islam dipersilakan menghukum BTP dengan menggunakan hukum agama. Menurut HRS justru lebih baik apabila BTP dihukum menggunakan hukum agama. Hal itu didasari pertimbangan bahwa hukum Islam lebih jelas kaidah dan aturannya bagi seorang penista agama. Pada tataran makna ketiga dapat dipahami bahwa HRS terkesan sudah menvonis bahwa BTP seorang penista agama. Penilaian HRS hanya dari sudut pandangnya tanpa mempertimbangkan konteks tuturan BTP. Selain itu, HRS merasa lebih mengetahui hukum daripada pihak kepolisian. HRS dalam pernyataan tersebut secara jelas telah memvonis BTP sebagai seorang penista agama yang harus segera diadili. Tuduhan HRS hanya dari sudut pandangnya tanpa mempertimbangkan konteks tuturan BTP. Selain itu, HRS merasa lebih mengetahui hukum daripada pihak kepolisian. Dalam teknik propaganda, tuturan HRS yang menyatakan BTP penista agama (Islam) termasuk pemberian julukan (name calling) yakni penggunaan julukan negatif untuk menjatuhkan seseorang. BTP harus Dipenjara HRS termasuk tokoh yang gencar melontarkan tuntutan agar BTP dipenjara, seperti dalam data berikut. AYO ... PENJARAKAN AHOK !!! .... SEGERA PENJARAKAN AHOK ... !!! Pada tataran pertama, semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) dengan literal: ayo penjarakan BTP! Segera penjarakan BTP! Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu mengandung beberapa makna yang merepresentasikan bahwa BTP harus segera dipenjarakan. Penggalangan dukungan dilakukan HRS (FPI) melalui media daring dengan petisi dukungan MUI untuk memenjarakan BTP. Hal itu sebagai pembentukan makna bahwa aksi yang dilakukan mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Berdasarkan tuturan itu HRS kembali menegaskan ajakan untuk mendukung aksi BTP agar segera dipenjara. Hal itu bentuk provokasi dan propaganda terhadap umat agar menekan pihak berwajib untuk segera menindak dan memenjarakan BTP. Hal itu termasuk pemberian julukan negatif terhadap BTP yang pantas untuk segera dipenjara. Hati-hati terhadap Penggembosan Aksi Sebelum Aksi GNPF MUI, ramai tersiar adanya upaya penggembosan aksi. HRS pun memberikan seruan agar umat atau peserta aksi waspada terhadap upaya penggembosan. AWAS PENGGEMBOSAN AKSI BELA ISLAM ... !!! 1.Presiden RI mengumpulkan Kapolda dan Pangdam seluruh Indonesia beserta jajaran militer dan polri lainnya di Istana untuk Pengamanan Pilkada serentak 2017, sekaligus Pengarahan "Penggembosan Aksi Bela Islam" untuk meredam Aksi Anti Ahok yang semakin meluas akibat Panistaan Agama. .... SEGERA LAKUKAN LANGKAH ANTISIPASI BERJUANG DAN BERDOALAH MOHON PERTOLONGAN ALLAH SWT (27 Oktober 2016) Pada tataran pertama, semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama seperti tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra tersebut mengandung beberapa makna yang merepresentasikan bahwa harus ada kehati-hatian terhadap upaya penggembosan aksi bela Islam. Dugaan itu didasari bahwa Presiden RI mengumpulkan Kapolda dan Pangdam seluruh Indonesia beserta jajaran militer dan polri lainnya di Istana untuk pengamanan Pilkada serentak 2017. Selain itu, sekaligus pengarahan penggembosan Aksi Bela Islam untuk meredam aksi anti BTP yang semakin meluas akibat penistaan agama. Menurut HRS perlu segera lakukan langkah antisipasi berjuang dan berdoa memohon pertolongan Allah Swt. Berdasarkan dua tahapan pemaknaan tersebut dapat dimaknai bahwa HRS mempropagandakan adanya beragam upaya penggembosan aksi yang lebih dimotori oleh pemerintah. Propaganda itu menambah nuansa dramatis berlangsungnya aksi sekaligus menarik simpati umat tentang pelaksanaan aksi. Dukungan Aksi Makin Meluas Memainkan psikologi massa sangat penting dalam menggerakkan aksi yang melibatkan massa yang besar. Upaya menggaungkan pesan bahwa aksi meluas dan didukung dan diikuti banyak masyarakat penting untuk membentuk psikologi massa bahwa aksi itu didukung banyak masyarakat. ALLAHU AKBAR !!! PETISI DUKUNG MUI PENJARAKAN AHOK HAMPIR TEMBUS 100 RIBU TANDA TANGAN, AYO TERUS SEBARKAN! Sejak Petisi DUKUNG MUI PENJARAKAN AHOK digulirkan, dukungan dari masyarakat luar biasa. Hingga hari ini, Petisinya sudah mencapai angkat 91 ribu lebih. Alhamdulillah. Kami ucapkan terima kasih kepada Anda semua yang telah membubuhkan paraf dukungannya pada Petisi ini. Kami merencana untuk mencetak Petisi ini jika tembus angka 100 ribu dukungan dan menyerahkan kepada pihak-pihak yang terkait pada saat AKSI BELA ISLAM ii Tanggal 4 November mendatang. Karena itu, kami meminta Anda untuk terus menyebar dan menggalang dukungan Petisi ini. Informasi tambahan, saat ini para pendukung Ahok juga terus menggalang dukungan dan petisi untuk PEMBUBARAN MUI. Mereka bahkan menuduh MUI sebagai penebar kebencian, serta pemicu tindakan teror. Ayo kita Lawan! Paraf Petisi DUKUNG MUI PENJARAKAN AHOK Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra tersebut mengandung makna yang merepresentasikan bahwa petisi dukung MUI penjarakan Ahok hampir mencapai seratus ribu tanda tangan. HRS meminta umat Islam untuk terus menyebarkan info dukungan MUI untuk penjarakan BTP. HRS mengajak umat untuk paraf mendukung MUI memenjarakan BTP. Selain itu, HRS juga mengajak melawan upaya pendukung BTP karena terus menggalang dukungan dan petisi untuk pembubaran MUI. Pihak-pihak itu bahkan menuduh MUI sebagai penyebar kebencian dan pemicu tindakan teror. Berdasarkan pemaknaan tataran makna pertama dan kedua dapat dimaknai (ketiga) bahwa HRS mengajak masyarakat menandatangani petisi dukung MUI penjarakan BTP dan meminta umat untuk terus menyebarkan info dukungan MUI untuk memenjarakan BTP. Paraf tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap MUI memenjarakan BTP. HRS juga mengingatkan bahwa adanya upaya menggalang dukungan dan petisi untuk pembubaran MUI. Para pendukung BTP bahkan menuduh MUI sebagai penebar kebencian dan pemicu tindakan teror. Menurut HRS hal itulah yang harus dilawan. Tuturan itu menambah nuansa dramatis berlangsungnya aksi sekaligus menarik simpati umat terhadap pelaksanaan aksi. HRS membangun ketakutan palsu tentang adanya upaya penggembosan aksi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. BTP telah Melecehkan Pancasila Jelang Aksi GNPF MUI, HRS sangat vokal dalam menyampaikan pesan dalam akun Facebook, termasuk BTP telah melecehkan Pancasila. SUKMAWATI BELA AHOK YANG INJAK-INJAK PANCASILA "Sukmawati melaporkan Habib Rizieq dengan FITNAH "hina Pancasila", karena ingin numpang tenar dengan kasus basi dua tahun lalu, hanya untuk mengalihkan isu demi membela Ahok yang telah "injak-injak Pancasila". KASIHAAAN .... !!! Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu mengandung beberapa makna yang merepresentasikan bahwa Sukmawati membela Ahok yang telah melecehkan Pancasila. Sukmawati melaporkan HRS dengan fitnah menghina Pancasila karena ingin menumpang tenar dengan kasus (HRS) tahun lalu (2015). Hal itu hanya untuk mengalihkan isu demi membela BTP yang telah melecehkan Pancasila. Menurut HRS tindakan Sukmawati sungguh patut dikasihani. Berdasarkan pemaknaan tersebut dapat dipahami (makna ketiga) bahwa pernyataan HRS ingin mempropagandakan bahwa Sukmawati membela BTP yang telah menginjak-injak Pancasila. Sukmawati melaporkan HRS dengan fitnah menghina Pancasila karena ingin menumpang tenar dengan kasus (HRS) tahun lalu. Pelaporan yang dilakukan Sukmawati hanya untuk mengalihkan isu demi membela BTP yang telah melecehkan Pancasila. Pada tataran makna ketiga dapat dimaknai bahwa HRS mengajak masyarakat menandatangani petisi dukung MUI penjarakan BTP dan meminta umat Islam untuk terus menyebarkan info dukungan MUI untuk memenjarakan BTP. HRS juga mengingatkan bahwa adanya upaya menggalang dukungan dan petisi untuk pembubaran MUI karena dituduh sebagai penebar kebencian dan pemicu tindakan teror. Tuturan HRS itu termasuk teknik propaganda plain folks yang mengesankan HRS memposisikan dirinya seolah mewakili seluruh umat Islam. Memusnahkan Selebaran Prestasi BTP Isu penistaan agama yang dilakukan oleh BTP ikut memengaruhi elektabilitas BTP dalam kancah Pilkada DKI Jakarta 2017. Prestasi atau capaian-capaian kerja BTP seolah tertutup dengan isu penistaan agama. HRS sangat vokal menyerukan pemusnahan selebaran prestasi BTP. SERUAN IMAM BESAR FPI kepada NU & MUHAMMADIYAH Sebagai Ormas Islam Pendiri NKRI : "Ayo ..., turun bersama umat Islam ikut AKSI BELA AGAMA & NEGARA pada hari Jum'at 4 November 2016. Selamatkan Kedaulatan Hukum NKRI yang ingin dikangkangi Si Penista Agama dan para Pelindungnya." Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu merepresentasikan makna bahwa seruan (ajakan) HRS kepada NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam pendiri NKRI untuk turun bersama umat Islam ikut aksi bela agama dan negara pada hari Jumat 4 November 2016. HRS menyerukan untuk menyelamatkan kedaulatan hukum NKRI yang ingin dikuasai BTP dan para pelindungnya. Berdasarkan analisis kedua data tersebut dapat dipahami bahwa sebagai bentuk serangan baik adanya GNPF MUI. Menurut HRS ada upaya untuk mengalihkan dengan adanya selebaran yang berisi prestasi-prestasi Ahok. HRS meminta selebaran tersebut untuk dilenyapkan. Selanjutnya, seruan HRS kepada NU dan muhamadiyah untuk turun bersama umat Islam ikut aksi bela agama dan negara pada hari Jum'at 4 November 2016. HRS mempropagandakan perlunya aksi tersebut sebagai bentuk menyelamatkan kedaulatan hukum NKRI yang ingin dikuasai si penista agama (BTP) dan para pelindungnya. Seruan HRS termasuk glittering generality dengan propaganda menyelamatkan kedaulatan hukum NKRI untuk mengikat emosi massa umat Islam. Ajakan Turun Bersama Aksi Ajakan untuk turun bersama dalam aksi GNPF MUI masif disebarkan kepada masyarakat, melalui propaganda HRS berikut ini. SERUAN IMAM BESAR FPI. HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SYIHAB. KEPADA PERUSAHAAN & KANTOR & SEKOLAH. Ayo ..., liburkan segenap pegawai, pekerja dan para pelajar mau pun mahasiswa, untuk turun bersama umat Islam ikut AKSI BELA AGAMA & NEGARA pada hari Jum'at 4 November 2016. Jangan biarkan Agama dinista. Jangan biarkan Hukum dihina. Jangan biarkan Negara dijajah (31 Oktober 2016) Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu merepresentasikan bahwa seruan Imam Besar FPI HRS kepada perusahaan, kantor, dan sekolah untuk meliburkan segenap pegawai, pekerja, dan para pelajar maupun mahasiswa untuk turun bersama umat Islam ikut aksi bela agama dan negara pada hari Jumat 4 November 2016 Jangan biarkan agama dinista, hukum dihina, dan negara dijajah. Berdasarkan analisis data-data tersebut dapat dipahami adanya propaganda agar seluruh elemen masyarakat terlibat dalam aksi. Propaganda suasana sebelum aksi begitu mencekam. Menjadikan masjid dan musholla sebagai benteng perjuangan. Tuturan HRS sebagai upaya pembentukan gambaran yang berlebihan terjakait aksi. Kapolri segera menangkap BTP. Jangan sampai Kapolri takut dengan presiden dan Partai Politik besar. Rakyat mendukung untuk menegakkan hukum dan selamatkan kedaulatan hukum NKRI. Seruan HRS termasuk glittering generality dengan propaganda menyelamatkan kedaulatan hukum NKRI untuk mengikat emosi massa umat Islam. Propaganda Presiden Gagal Memahami Situasi Dalam kasus penistaan agama yang dilakukan BTP, Presiden Jokowi ikut dibawa dalam pusaran isu, seperti dalam unggahan HRS berikut ini. JOKOWI GAGAL PAHAM SITUASI. Jokowi mendatangi Pimpinan Partai Politik untuk meredam Aksi 4 November 2016, karena di kepala Jokowi ada anggapan bahwa Aksi 4 November 2016 dibiayai Partai Politik. Jokowi mengira bahwa di belakang Aksi 4 November 2016 ada Partai Politik yang mengatur dan menggerakkan. Jokowi harus paham bahwa Aksi 4 November 2016 merupakan PANGGILAN ILAHI, karena Allah SWT yang menggerakkan hati umat Islam di berbagai daerah secara masif untuk membela Kitab Suci-Nya yang dinista. Ini adalah Aksi Jihad yang tidak bisa digerakkan oleh Ormas mana pun, apalagi oleh Partai Politik (1 November 2016) Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra tersebut merepresentasikan bahwa Presiden Jokowi mendatangi pimpinan partai politik untuk meredam Aksi 4 November 2016. Kunjungan-kunjungan itu dilakukan karena di kepala Jokowi ada anggapan bahwa Aksi 4 November 2016 dibiayai partai politik. (Presiden) Jokowi mengira bahwa di belakang aksi ada partai politik yang mengatur dan menggerakkan. Jokowi harus paham bahwa aksi merupakan panggilan ilahi, karena Allah Swt yang menggerakkan hati umat Islam di berbagai daerah secara masif untuk membela kitab suci-Nya yang dinista. Ini adalah aksi jihad yang tidak bisa digerakkan oleh ormas mana pun, apalagi oleh partai politik. Berdasarkan analisis tersebut HRS mempropagandakan bahwa Presiden Jokowi gagal memahami situasi yang berkembang. Menurut HRS berbagai langkah yang dilakukan presiden Jokowi sebagai sebuah kesalahan. Tuturan HRS termasuk teknik pemberian julukan negatif (name calling) untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Propaganda Aksi Sebuah Jihad Isu jihad sering dihembuskan untuk menggalang simpatisan yang berhubungan dengan agama Islam. Opini untuk ikut aksi sebagai sebuah aksi jihad juga digunakan untuk menggalang peserta aksi. Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan HARTA dan JIWAMU di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Seruan Imam Besar FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab kepada segenap Hartawan yang Dermawan sebagai Garda Terdepan Jihad Harta Ayo ... infaqkan HARTA anda untuk membiayai transportasi dan konsumsi para peserta Aksi Bela Islam yang datang dari berbagai daerah. Jangan biarkan saudaramu yang telah siap korbankan JIWA RAGANYA terhambat ikut Aksi Bela Islam hanya karena tak memiliki Transportasi dan Konsumsi. Allaahu Akbar ... ! Allaahu Akbar ... !! Allaahu Akbar. Makna tataran pertama tuturan tersebut dapat diidentifikasi setiap penanda dalam citra ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) seperti isi tuturan tersebut. Pada tataran makna kedua (tataran konotasi), citra itu merepresentasikan bahwa seruan agar berangkat baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat. Ajakan kepada umat agar berjihad dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. HRS menyerukan kepada segenap hartawan yang dermawan sebagai garda terdepan jihad harta. HRS mengajak menginfakkan harta untuk membiayai transportasi dan konsumsi para peserta aksi yang datang dari berbagai daerah. HRS memperingatkan jangan sampai membiarkan peserta yang telah siap mengorbankan jiwa raganya terhambat ikut Aksi Bela Islam hanya karena tidak memiliki transportasi dan konsumsi. Makna propaganda merepresentasikan bahwa Aksi Bela Islam bukan aksi anti-China dan bukan aksi anti Kristen, serta bukan juga aksi SARA, melainkan semata-mata merupakan aksi antipenistaan agama. Aksi bela Islam tidak pernah mencaci atau menghina agama apa pun, dan tidak pernah juga mencaci atau menghina Tuhan mau pun Berhala yang disembah agama mana pun. Menurut HRS Aksi Bela Islam hanya mencaci dan menghina orang yang mencaci dan menghina Alquran. Aksi Bela Islam adalah Aksi mengagungkan Allah Swt dan memuliakan Rasulullah Saw. Bagi HRS aksi itu menyucikan Alquran dan menjaga kehormatan Islam beserta umatnya. Selain itu sekaligus merupakan aksi untuk merajut keharmonisan hubungan antarumat beragama. HRS mengajak tahajud pada malam Jumat. untuk menyambut aksi bela Islam Jum'at 4 November 2016 diserukan kepada segenap umat Islam agar pada malam Jumat sebelum aksi digelar agar bangun malam, salat tahajjud, membaca Alquran, membaca dzikir dan doa, membaca Hizb An-Nashr susunan Imam Asy-Syadzali dan Imam Al-Haddad, memperbanyak sholawat. Tuturan HRS termasuk glittering generality dan band wagon dengan menggunakan nada positif bahwa aksi sebagai sebuah jihad sehingga bagi yang tidak setuju akan langsung mendapat cap anti agama Islam. Kesatuan Makna Propaganda Berdasarkan keseluruhan analisis makna tersebut dapat diambil sebuah kesatuan makna adanya propaganda HRS bahwa BTP seorang penista agama Islam dilaporkan terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung QS AlMaidah ayat 51, melecehkan sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, para ulama dan para dai, serta menghina seluruh umat Islam. Masyarakat patut mempertanyakan pembiaran dan pelepasan kepolisian terhadap seorang penista agama (BTP). Seluruh umat Islam wajib menentang BTP dan menekan pihak yang berwajib untuk segera menindak dan memenjarakan BTP. Beragam upaya penggembosan aksi yang dimotori oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Dukungan aksi sudah meluas untuk itu masyarakat perlu menandatangani petisi dukung MUI memenjarakan BTP. Umat Islam perlu terus menyebarkan info dukungan MUI untuk memenjarakan BTP. Pada sisi lain, para pendukung BTP menggalang dukungan dan petisi untuk pembubaran MUI. Para pendukung BTP bahkan menuduh MUI sebagai penyebar kebencian, serta pemicu tindakan teror. Hal itulah yang harus dilawan. BTP telah melecehkan Pancasila. Sukmawati membela BTP yang telah melecehkan Pancasila. Sukmawati melaporkan HRS dengan fitnah menghina Pancasila. Pelaporan itu hanya untuk mengalihkan isu demi membela BTP. Banyaknya isu yang meliputi BTP, ada upaya pendukungnya dengan membuat selebaran-selebaran tentang prestasi-prestasi BTP. Untuk itu, umat Islam perlu segera memusnahkan selebaran prestasi BTP. Selebaran-selebaran itu merupakan serangan balik adanya GNPF MUI. NU dan Muhamadiyah perlu bersama umat Islam mengikuti aksi. Aksi itu sebagai bentuk menyelamatkan kedaulatan hukum NKRI yang ingin dikuasai penista agama (BTP) dan para pelindungnya. Seluruh elemen masyarakat terlibat dalam aksi. Menjadikan masjid dan musholla sebagai tempat perjuangan. Kapolri perlu segera menangkap BTP. Jangan sampai Kapolri takut dengan presiden dan partai politik besar. Rakyat mendukung Polri untuk menegakkan hukum. Panglima TNI jangan menembak pendemo. Presiden Jokowi dinilai gagal memahami situasi. Aksi yang dilakukan merupakan bentuk revolusi damai untuk membela agama dan negara. Aksi yang dilakukan bukan anti-China, antietnis, anti-Kristen, antikebhinekaan, bukan anti-SARA dan aksi Pilkada. Peserta aksi perlu mewaspadai penggembosan aksi dan berhati-hati terhadap provokasi. Aksi yang dilakukan tidak ada yang mendanai, hal itu merupakan campur tangan Allah. Berdasarkan keseruhan analisis terhadap unggahan HRS jelang aksi GNPF MUI 4 September 2017, menunjukkan bahwa selain secara substansi, terdapat penanda yang menguatkan sebagai propaganda. Tututran HRS termasuk propaganda karena HRS selaku pihak yang secara sengaja melakukan penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan perilaku sasaran propaganda. Unggahan HRS dilakukan secara kontinyu sampai dengan detik menjelang aksi GNPF MUI 2017. Dalam unggahan HRS terdapat proses penyampaian, gagasan, kepercayaan, bahkan doktrin. Bagi pihak yang berseberangan dengan pendapat HRS, tuturan-tuturan HRS mempunyai tujuan mengubah pendapat, sikap, perilaku individu atau kelompok lain yakni demi memenjarakan BTP. Selain itu ditegarai ada keterkaitan dengan perkembangan politik saat itu terkait Pilkada DKI Jakarta sebagai upaya menjegal pencalonan BTP sebagai Gubernur. Tututran HRS itu pun tentunya dilakukan secara sadar yang disebarkan melalui akun media sosial Facebook. Secara fungsi unggahan HRS tersebut dapat dimaknai sebagai propaganda bagi pihak-pihak yang memandang aksi-aksi yang dilakukan sarat dengan kepentingan. Sebaliknya, bagi pihak-pihak yang memandang seruan-seruan HRS sebagai sebuah kebenaran, maka unggahan HRS bukanlah sebuah propaganda melainkan sebuah penyemangat. Hal itu sama halnya dengan terbelahnya pandangan masyarakat Indonesia dalam memandang persoalan yang membelit BTP. Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ahmad Najib Burhani (Putra, 2016) mengatakan, terdapat kepentingan politik, baik untuk jangka pendek ataupun panjang dalam kasus Ahok. Dalam hal ini untuk kepentingan Pilkada ataupun Pilpres 2019 nanti. Ada sebagian pihak, yang memanfaatkan kasus Ahok , agar bisa kembali berkuasa. Kalau bicara teori politik, yang berkuasa ingin selalu berkuasa. Berkuasa itu bukan hanya dia menjabat atau tidak, tapi paling tidak, dia tidak terusik. Yang jelas beberapa orang memiliki power, ekonomi mapan, kekuasaan mapan, ingin terus bertahan. Ada beberapa kelompok, yang memprotes Ahok, terlihat memihak salah satu pasangan di Pilkada DKI 2017. Kita bisa melihat berapa orang dari elemen kegiatan kemarin, ada yang memihak. Hal ini menjadi tidak baik untuk politik Indonesia ke depannya. Sebab, lanjut dia, akan ada yang menggunakan isu agama untuk kepentingan politik. Sesuatu yang mengerucut tidak terkontrol, tidak baik secara politik. Karena akan memanfaatkan isu agama terus. PENUTUP Tuturan HRS merupakan kategori propaganda. Hal itu mengekspresikan sikap terhadap dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan BTP. HRS melemparkan beragam propaganda yang intinya agar BTP telah menistakan agama Islam terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung QS Al-Maidah ayat 51. Seluruh umat Islam harus berjihad bersatu padu menentang dan menekan pihak berwajib untuk segera memenjarakan BTP. Beragam propaganda itu disebarluaskan para pendukung HRS. Hal itu semakin menguatkan dampak propaganda yang ingin dibentuk HRS dalam unggahan-unggahan di Facebooknya. Padahal kasus penistaan agama tersebut mengandung pro dan kontra, setuju atau tidak setuju di kalangan masyarakat utamanya umat Islam. Selain itu, dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan BTP bersangkutan dengan masyarakat Indonesia, terlebih lagi menjadi isu nasional. DAFTAR PUSTAKA Arifin, S. (2016). Aktor dan Isu Aksi Massa 411. Retrieved from http://majalahsedane.org/2016/11/aktor-dan-isu-dalam-aksi-massa-411/ Budiman, K. (2002). Membaca Mitos Bersama Roland Barthes: Analisis Wacana dengan Pendekatan Semiotik. In K. Budiman (Ed.), Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi (I, pp. 83–108). Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM. Djajasudarma, T. F. (1993). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. (W. Nadeak, Ed.) (I). Bandung: PT Eresco. KBBI Daring. (2016). Retrieved February 15, 2016, from http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php Kusno, A. (2017). Analisis Wacana Percakapan Warga dalam Grub Facebook Bubuhan Samarinda: Identifikasi Potensi KOnflik Sosial. Masyarakat Dan Budaya, Volume 19 , 89–104. Retrieved from http://jmb-lipi.or.id/index.php/jmb/article/view/391 Moleng, L. J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif (25th ed.). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Propaganda. (2017). Retrieved October 1, 2017, from https://id.wikipedia.org/wiki/Propaganda Putra, P. M. S. (2016). Peneliti LIPI Sebut Ada Kepentingan Politik di Kasus Ahok. Retrieved November 13, 2017, from http://news.liputan6.com/read/2682978/peneliti-lipi-sebut-ada-kepentingan-politik-di-kasus-ahok Thornborrow, J. (2006). Bahasa dan Media. In L. T. dan S. Wareing (Ed.), Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan (p. 78). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wareing, S., & Jones, J. (2007). Bahasa dan Politik. (L. dan S. W. Thomas, Ed.) (I). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wasono, S. (2006). Sastra Propaganda (I). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. *Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Linguistik UGM 2017
0 Comments
ANALISIS WACANA PERCAKAPAN WARGA DALAM GRUP FACEBOOK BUBUHAN SAMARINDA: IDENTIFIKASI POTENSI KONFLIK SOSIAL DISCOURSE ANALYSIS OF CITIZENS CONVERSATION IN FACEBOOK GROUP CALLED ‘BUBUHAN SAMARINDA’: IDENTIFICATION OF POTENTIAL SOCIAL CONFLICT Ali Kusno Kantor Bahasa Kalimantan Timur [email protected] Abtsract Samarinda the capital city of East Kalimantan province are inhabited by various ethnic groups. Friction between residents and groups are frequent. Small conflict between residents involving different ethnic groups may widen to conflict of ethnic, religion, race, and inter group relationship called SARA. This study aims to identify potential conflicts SARA nuances in Samarinda city through conversation discourse citizens in Facebook group called ‘Bubuhan Samarinda’ (FBS). Identification of conversation was done through FBS group. The FBS discourse representative the develop issue within Samarinda citizen. On the contrary, the opinion within FBS group influences citizen life. This research use critical discourse analysis from Fairclough. The data are the form of discourse conversation among FBS group members. Technical analysis data used an interactive model. The result showed; the conversations tend to use primodial statement dominated by ethnic factor. The primodialism sound like as propaganda of one ethnic group. There are the provocations of conflict between indigenous and the migrants, that shows social jealousy. Happened the stigma of immigrants exploits the wealth of Borneo, it is also the main problem in Samarinda. The violence potential arises from the existence of ethnic organization. Keywords: Conflict SARA, Samarinda, critical discourse analysis, Bubuhan Samarinda. Abstrak Samarinda adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang dihuni oleh beragam suku. Gesekan-gesekan antarwarga dan kelompok sering terjadi. Konflik kecil antarwarga melibatkan kesukuan dapat melebar ke konflik SARA. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi konflik bernuansa SARA di Kota Samarinda melalui wacana percakapan warga dalam grup Facebook ‘Bubuhan Samarinda’ (FBS). Identifikasi percakapan warga melalui grup FBS. Wacana yang terbentuk dalam FBS merepresentasikan isu yang berkembang dalam kehidupan warga Kota Samarinda. Begitu pula sebaliknya, opini yang terbentuk dalam grup FBS mempengaruhi kehidupan warga. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Model Fairclough. Data penelitian diambil dari wacana percakapan anggota grup FBS. Teknik analisis data menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya potensi konflik bernuansa SARA yang didominasi faktor kesukuan. Hal itu didukung oleh tingginya primordialisme warga. Munculnya propaganda bahwa suku tertentu harus disegani. Adanya provokasi antara suku asli dengan pendatang yang lebih banyak dipicu kecemburuan sosial. Terbentuknya stigma bahwa pendatang menjadi biang masalah di Kota Samarinda karena hanya mengeksploitasi kekayaan Kalimantan. Potensi kekerasan menguat karena keberadaan organisasi massa yang mendasarkan pada kesukuan. Kata kunci: Konflik SARA, Samarinda, analisis wacana kritis, Bubuhan Samarinda Pendahuluan Seperti provinsi lain di pulau Kalimantan, Provinsi Kalimantan Timur memiliki wilayah yang begitu luas. Khususnya Kota Samarinda memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berdasarkan sensus penduduk tahun 2013 berpenduduk 805. 688 jiwa (BPS, 2016). Kota Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur dihuni dari beragam suku. Sebagai ibu kota provinsi sekaligus sebagai ibu kota bagi suku-suku asli masing-masing kabupaten/kota di Kalimantan Timur. Potensi sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan Timur menjadi daya tarik bagi para pendatang. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam komoditas batubara dan kelapa sawit tersebar di wilayah Kalimantan Timur. Geliat ekonomi dan pembangunan menarik banyak pendatang yang berasal dari beragam wilayah di Indonesia. Para pendatang itu bekerja di berbagai sektor usaha. Bersamaan dengan masuknya pendatang tersebut, potensi gesekan antarkelompok warga yang berbeda suku pun meningkat. Tercatat beberapa kasus pertikaian antarsuku terjadi di wilayah Kalimantan Timur. Sebagai contoh pada tanggal 12 Juli 2007, pernah terjadi konflik di Nunukan, Kalimantan Timur. Konflik pribadi yang melebar menjadi konflik antara suku Dayak dan Bugis (Eka, 2007). Konflik berbau SARA juga pernah terjadi pada tanggal 26 September 2010 di Kota Tarakan. Bentrok antarkelompok warga terjadi di Kampung Juata Permai, Tarakan, Kalimantan Timur. Konflik pribadi yang kebetulan dari suku yang berbeda melebar menjadi konflik SARA antara warga suku Tidung dengan Suku Bugis Latta (Krisdiantoro, 2010). Konflik bernuansa SARA pada November 2012, juga terjadi di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Pasar Barong Tongkok di Kabupaten Kutai Barat menjadi sasaran amuk massa, menyusul konflik antara suku Dayak dan Bugis. Pasar dibakar oleh suku tertentu yang melakukan penyisiran terhadap toko, kios, dan rumah milik suku Bugis. Konflik tersebut terjadi berawal dari masalah pribadi antara warga Dayak yang tidak dilayani ketika membeli BBM di tempat pengisian milik warga Bugis (Vivaborneo.com, 2012). Deretan konflik antarsuku di wilayah Kalimantan Timur membuktikan adanya potensi bencana sosial. Hal itu didukung hasil penelitian pada tahun 2013 oleh Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur yang berhasil melakukan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Sosial di lima kabupaten/kota Kalimantan Timur. Lima daerah tersebut yaitu Samarinda, Balikpapan, Penajam Paser Utara, Paser, dan Kutai Barat. Samarinda, sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur, menduduki peringkat pertama sebagai kota yang memiliki kecenderungan konflik sosial tertinggi. Pemetaan tersebut bekerja sama dengan tim peneliti dan akademisi yang memberikan ringkasan singkat (executive summery) dan laporan hasil kerja dengan judul Kaltim Petakan Daerah Rawan Bencana. Selain pemetaan lima daerah yang rawan konflik itu, hasil penelitian juga mengungkapkan empat potensi konflik di Kalimantan Timur. Keempat potensi konflik itu adalah masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), status kepemilikan lahan, perizinan, dan masalah sosial kemasyarakatan serta masalah pemerintahan (Timur, 2013: 124-125). Konflik-konflik kecil yang terjadi di beberapa daerah kabupaten/kota di Kalimantan Timur dapat terakumulasi sehingga mengganggu ketahanan nasional. Konflik sosial di masyarakat dapat berujung pada bencana sosial di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah identifikasi potensi konflik sosial di daerah, khususnya Kota Samarinda yang dihuni beragam suku. Menurut Koentjoroningrat dalam Narwoko (2004: 177), konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, kesadaran, dan identitas yang dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa. Gesekan-gesekan antarwarga dan kelompok warga sering terjadi di Kota Samarinda. Konflik kecil antarwarga dengan latar belakang kesukuan yang berbeda dapat melebar ke konflik SARA dalam skala besar. Isu konflik sosial dapat dalam bentuk konflik linguistik, misalnya perselisihan tentang kata siapa yang boleh digunakan, istilah-istilah apa yang digunakan kelompok satu untuk menyebut diri mereka sendiri dan menyebut lawan mereka (Thornborrow, 2006: 236). Konflik linguistik yang sering menimbulkan konflik sosial adalah penggunaan istilah-istilah untuuk menyebut lawan. Konflik liguistik ini khususnya pembentukan stereotipe berupa pelabelan negatif suku tertentu sehingga lambat laun membentuk stigma di masyarakat. Konflik linguistik yang bernuansa SARA banyak ditemukan dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Grup tersebut merupakan kumpulan para pengguna facebook di Kota Samarinda yang per tanggal 29 September 2016 grup tersebut memiliki jumlah anggota sebanyak 154.227 anggota. Anggotanya pun beragam usia, pendidikan, suku, agama, maupun sosial. Isu yang dibahas terkait beragam permasalahan di Kota Samarinda. Wacana yang terbentuk dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ merepresentasikan isu yang berkembang dalam kehidupan warga Kota Samarinda. Begitu pula sebaliknya, opini yang terbentuk dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ mempengaruhi kehidupan warga. Konflik linguistik bernuansa SARA dikhawatirkan dapat menjadi konflik sosial (nyata) di Kota Samarinda. Oleh karena itu, tindakan preventif dengan mengidentifikasi potensi konflik penting dilakukan untuk mencegah bencana sosial di Kota Samarinda. Tulisan ini meneliti wacana percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ untuk menggambarkan faktor-faktor yang saling berkonflik. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012, 2012), konflik sosial dimaknai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Dengan demikian, definisi ini menjadi patokan penulis untuk melakukan analisis identifikasi potensi konflik SARA dalam percakapan warga grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan tentang sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleng, 1994: 6). Objek penelitian ini adalah penggunaan bahasa dalam percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen percakapan warga Kota Samarinda dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang bernuansa SARA. Untuk menjaga kerahasiaan penutur dan keamanan penulis, penutur dan tuturan yang terkait SARA dalam percakapan tersebut penulis ganti dengan inisial. Sumber data dokumen percakapan dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ periode bulan Juli s.d. September 2016. Penelitian ini menggunakan analisis wacana. Menurut Djajasudarma (1993: 75) prinsip penafsiran dapat terjadi melalui penafsiran lokal (termasuk ruang dan waktu) dan prinsip analogi dalam menafsirkan pengertian (makna) yang terkandung dalam wacana. Dengan analisis wacana dapat dipahami bahwa “...discourse a word that constructs language as active: texts and talks in social practice” (Hepburn & Potter, 2007). Untuk dapat mengidentifikan potensi konflik dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ analisis wacana yang digunakan analisis wacana kritis Model Fairclough. Teks percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ merupakan sebuah wacana. Menurut Purbani (2009: 1) istilah wacana memiliki pengertian yang beragam tergantung pada konteks apa yang tengah digunakan untuk memperbincangkannya. Secara umum wacana dimengerti sebagai pernyataan-pernyataan. Dalam ranah lingusitik, wacana dipahami sebagai unit kebahasaan yang lebih besar daripada kata atau kalimat, yang dapat melibatkan satu atau lebih orang. Jadi, sebuah pidato, dialog, polemik, perdebatan, percakapan atau perbincangan dapat dikategorisasikan sebagai sebuah wacana. Crystal dan Cook dalam Nunan (Purbani, 2009: 2) mendefinisikan wacana sebagai unit bahasa lebih besar daripada kalimat, sering berupa satuan yang runtut/koheren dan memiliki tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama, argumen, lelucon atau cerita. Nunan melihat unsur-unsur keruntutan dan koherensi sebagai hal yang penting untuk menilai sebuah wacana. Lubis (Purbani, 2009: 2) mendefinisikan wacana sebagai 'kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Istilah wacana yang digunakan dalam Critical Discourse Analysis (CDA) salah satunya dikembangkan ahli linguistik sosial seperti Norman Fairclough. Analisis wacana kritis Model Fairclough menempatkan wacana atau penggunaan bahasa sebagai praktik sosial; wacana atau penggunaan bahasa dihasilkan dalam sebuah peristiwa diskursif tertentu; wacana yang dihasilkan berbentuk sebuah genre tertentu (Ahmadi F., 2014: 255). Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, analisis wacana kritis Model Fairchlough menempatkan wacana atau penggunaan bahasa dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ sebagai praktik sosial. Penafsiran wacana ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya warga Kota Samarinda. Wacana atau penggunaan bahasa grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ dihasilkan dalam sebuah peristiwa diskursif tertentu. Peristiwa diskursif itu dapat dipahami bahwa wacana yang dihasilkan merepresentasikan wacana yang berkembang dan tersebar dalam kehidupan warga Kota Samarinda. Penggunaan bahasa dalam wacana grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ juga dapat diidentifikasi genre atau jenis berdasarkan bentuknya. Oleh karena itu, analisis wacana kritis model Fairclough dikenal dengan sebutan analisis tiga dimensi. Analisis tiga dimensi ini ialah analisis tekstual (level mikro) adalah, 1) analisis deskriptif terhadap dimensi teks; 2) analisis praktik wacana (level meso) adalah analisis interpretatif terhadap pemproduksian, penyebaran, dan pengonsumsian wacana, termasuk intertekstualitas dan interdiskursivitas; 3) analisis sosiokultural (level makro) adalah analisis eksplanatif terhadap konteks sosiokultural yang melatarbelakangi kemunculan sebuah wacana (Fairclough dalam Ahmadi F., 2014: 255). Analisis dengan tiga dimensi tersebut akan dapat mengungkap pemaknaan sebuah wacana dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ dengan lebih menyeluruh dan mendalam. Teknik analisa data menggunakan model interaktif (Miles & Huberman, 1992: 19-20), yang terdiri atas tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. Hasil penelitian ini juga penulis verifikasi dengan melakukan diskusi dengan berbagai ahli terkait, yakni ahli bahasa (Kepala Kantor Bahasa Kalimantan Timur dan Ketua Forum Bahasa Media Massa Kalimantan Timur), tokoh masyarakat (Ketua Pokja 30 Kalimantan Timur), dan pemerintah daerah (Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur). Identifikasi Potensi Konflik Sosial di Kota Samarinda Dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ terdapat percakapan-percakapan yang merepresentasikan kehidupan sosial warga di Kota Samarinda. Salah satu topik percakapan yang sering diangkat terkait kebijakan dan tindakan pemerintah Kota Samarinda yang dirasa belum memuaskan, seperti persoalan banjir, parkir liar, gelandangan dan pengemis, kebersihan kota dan persoalan lainnya. Selain itu topik percakapan lain juga diangkat, misalnya seputar premanisme, kriminal, dan keamanan lingkungan. Sering terjadi selisih pendapat yang berujung perdebatan saling menjatuhkan. Banyak ditemukan tuturan anggota grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang menyinggung SARA. Berikut ini analisis wacana kritis identifikasi potensi konflik sosial dalam percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Analisis Tekstual (Analisis Mikro)
Pernyataan seperti dalam data (1) tersebut, Itu milik si SJ D....... Walikota Gila sangatlah provokatif. Oknum anggota grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ menjelek-jelekkan Walikota Samarinda dengan mengatakan ‘SJ D...... ‘ walikota gila. Tuturan tersebut telah memprovokasi warga Samarinda yang utamanya keturunan suku asli. Dalam tuturan tersebut kata ‘D....’ digunakan sebagai bentuk pelabelan negatif. Apabila bentuk pelabelan negatif terhadap suku tertentu terus dilakukan, dapat memperkuat stereotipe negatif yang telah ada. Stereotipe negatif bernuansa kesukuan juga terlihat dalam penggalan percakapan warga dalam grup facebook Bubuhan Samarinda berikut ini.
Stereotipe kesukuan yang dapat meningkatkan potensi konflik sosial juga diakui oleh penutur lain, seperti MM. Baginya pernyataan-pernyataan yang menyinggung kesukuan dapat memicu timbulnya keributan. Penutur mengingatkan bahwa apapun suku dan ras pastilah ada yang baik dan ada juga yang jahat. Penutur mengingatkan tidak perlu saling menjelekkan suku satu dengan lain. Sebaiknya sesama warga Kota Samarinda memiliki kesamaan tekad untuk membangun Kota Samarinda dengan mengesampingkan kesukuan. Konflik linguistik dalam data (1), (2), dan (3) tersebut secara keseluruhan menggambarkan potensi konflik sosial bernuansa kesukuan. Hal yang sama sering ditemukan dalam percakapan-percakapan lain dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Konflik linguistik bernuansa SARA lain, seperti faktor agama, tidak sebanyak faktor kesukuan. Stereotipe-stereotipe negatif yang dilekatkan terhadap suku-suku tertentu dapat terakumulasi dan menjadi pemicu konflik sosial. Oleh karena itu, sebagai salah satu cara untuk memperkuat solidaritas kelompok adalah penggunaan bahasa, yakni memulihkan nada positif dari istilah-istilah yang selama ini digunakan dalam artian negatif (Singh, 2006:163).
Berikut ini pernyataan-pernyataan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang mengungkapkan gambaran tingginya primordialisme warga Kota Samarinda.
Pernyataan KAPS seperti dalam data (4) tersebut mengungkapkan berbagai kasus kriminal yang terjadi di Kota Samarinda. Kasus pembunuh tidak manusiawi sepanjang Juli, Agustus, dan September 2016. Bagi penutur, hal itu disebabkan hukum adat rimba Kalimantan (hukum adat suku asli) sudah tidak berlaku sehingga jumlah pelaku kejahatan semakin signifikan. Penutur yang mengaku sebagai bagian suku asli pedalaman Kalimantan Timur turut berduka dan terluka atas kebiadaban tersebut. Menurut penutur, berbagai kasus yang ada merupakan akibat diabaikannya hukum adat suku asli yang bermukim di pedalaman Kalimantan Timur. Tuturan lain dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang juga mengungkapkan tingginya primordialisme warga Kota Samarinda adalah sebagai berikut.
Dalam data (5) tersebut, SP menyatakan bahwa keinginannya agar para pengunjung acara Erau, mengingat baik-baik jangan sampai merusak adat (salah satu suku asli). Penutur memberikan ultimatum apabila sampai membuat jengkel akan ada penyisiran yang mengharuskan orang-orang yang merusak adat untuk membayar denda. Denda adat biasanya berupa mandau (senjata tajam suku Dayak), gong, kerbau, dan piring bagi pelanggar hukum adat. Sedangkan bentuk denda seperti yang dituturkan oleh SP berupa potong kepala manusia dinamakan hukum adat Ngayau. Tradisi Ngayau telah dihentikan sejak tahun 1874 berkat berlangsungnya Musyawarah Damai Perjanjian Tumbang Anoi yang juga dihadiri oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Masyarakat adat masih menerapkan denda adat berupa mandau, gong, kerbau, dan piring bagi pelanggar Hukum Adat. Penerapan hukum adat seperti ini pernah dilakukan terkait kasus yang menimpa sosiolog Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Thamrin Amal Tomagola. Berdasarkan pemberitaan yang dimuat dalam laman Komisi Kepolisian Indonesia ((BanjarmasinPost, 2011) Thamrin Amal Tomagola didakwa menghina, menista, dan melecehkan masyarakat adat Dayak terkait pernyataan sebagai saksi dalam sidang kasus video mesum dengan terdakwa Ariel Peterpan di Pengadilan Negeri Bandung, Jabar, 2 Desember 2010. Saat itu Thamrin Amal Tomagola mengatakan, berdasar hasil penelitiannya, seks bebas bisa terjadi di kalangan masyarakat Dayak. Protes hingga aksi pun dilakukan masyarakat Dayak hingga berujung pada sidang adat. Thamrin Amal Tomagola diputus bersalah. Usai sidang, Thamrin menjalani ritual adat Dayak berupa penyerahan lima pikul garantung (alat musik) gong yang menjadi denda. Selain itu, Thamrin juga menjalani prosesi tepung tawar sebagai tanda tidak adanya lagi perseteruan antara dirinya dengan masyarakat Dayak. Setelah itu, Thamrin menyerahkan biaya pelaksanaan sidang sebesar Rp 77.777.700. Fakta itu meneguhkan bahwa hukum adat masih ada dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Kalimantan. Atas dasar itulah penutur seperti dalam data (5) mengharapkan agar para pengunjung selalu mengingat bahwa itu adalah adat dan jangan sampai adat Belimbur disalahgunakan. Belimbur adalah acara untuk menyucikan diri bukan untuk merotaki (mengotori). Penutur mengaitkan pandangannya dengan tradisi, adat-istiadat, dan kepercayaan di lingkungan adat salah satu suku asli yang harus dihormati. Perilaku primordialisme ditampakkan dengan upaya mempertahankan dan membela budaya masing-masing. Perilaku seperti itu lebih menguat apabila ada pihak yang menyinggung atau menghina adat dalam sukunya. Hal itu terlihat dalam tuturan berikut ini.
Dalam tuturan (6) dan (7) tersebut keduanya menyampaikan keberatan atas adanya unggahan yang terkesan merendahkan adat suku tertentu. AA dan RH, yang mengaku sebagai sebagai keturunan suku tersebut, meminta warga Kota Samarinda untuk tidak menghina adat mereka. Bahkan AA juga menyatakan kesiapan untuk membela suku tersebut karena dihina. Dalam data tuturan (4) s.d. (7) tersebut tampak menonjolkan pandangan etnisnya masing-masing. Dalam data (4) dan (5) merepresentasikan upaya warga menonjolkan kebanggaan terhadap suku asli. Sedangkan dalam data (6) dan (7) merepresentasikan upaya warga dalam mempertahankan adat dan tidak berkenan apabila ada pihak tertentu yang menghina sukunya. Potensi konflik mudah muncul apabila penghinaan dilakukan oleh oknum dengan latar belakang kesukuan yang berbeda.
Berikut ini beberapa percakapan dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ tentang adanya propaganda suku asli yang terkesan pantas untuk ditakuti.
Pernyataan seperti dalam data (9) tersebut, CC mengancam anggota grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ agar tidak membawa-bawa nama orangtuanya (bapak) dalam perdebatan. Yang bersangkutan memberikan ancaman bisa saja mandau terbang ke leher pean (anda). Maksud ancaman tersebut terkait dengan adat tertentu. Penggunaan adat tersebut memungkinkan seseorang diserang dengan mandau terbang. Hal itu selaras dengan Laporan Akhir Pemetaan Daerah Rawan Bencana Sosial di Kalimantan Timur, bahwa di Kota Samarinda terdapat permasalahan adanya permasalahan ancaman mematikan pedang-pedang tradisional (Timur, 2013: 125). Masyarakat terutama suku-suku asli menyimpan pedang-pedang tradisional sebagai koleksi maupun sebagai senjata untuk berjaga-jaga. Kepemilikan benda-benda tersebut bagian dari adat suku tersebut. Sayangnya, ada oknum suku tertentu yang menggunakannya sebagai sarana membuat orang lain agar segan dan mendapatkan rasa hormat. Ancaman memang menggoda seseorang untuk menggunakannya dan juga lebih efektif untuk mendatangkan kepatuhan (Pruitt & Rubin, 2011: 122). Ancaman seperti dalam data (8) dan (9) tersebut merupakan bentuk aktualisasi identitas kesukuan. Dalam pandangan linguistik, memang kelompok-kelompok minoritas memiliki kebutuhan lebih besar untuk menekankan identitas karena seringkali diperlakukan sebagai orang luar oleh norma yang berlaku di kalangan mayoritas (Singh, 2006: 163). Suku-suku asli Kalimantan Timur, di Kota Samarinda, justru menjadi kelompok minoritas di antara masyoritas suku-suku pendatang. Oleh karena itu, berbagai upaya propaganda stereotipe-stereotipe suku tertentu sebagai upaya menunjukkan eksistensi sebagai suku asli. Stereotipe-stereotipe seperti itulah yang membentuk stigma di warga untuk tidak macam-macam dengan suku tersebut apalagi bagi seorang pendatang. Meskipun orang tersebut dalam posisi benar, lebih baik mengalah saja.
Pernyataan dalam data (10) tersebut dapat dimaknai bahwa di Kalimantan benarai (benar saja) bubuhan ikam tu (para pendatang) tenyaman jua hidup (hidup nyaman), mun dikampung sorang mencari sepiring nasi aja ngalih (kalau di kampung sendiri mencari sepiring nasi saja susah). Penutur menyindir pengunggah yang menginginkan Ahok menggantikan AF. Penutur mengingatkan bahwa sebagai pendatang selayaknya bersyukur sudah mendapatkan nafkah di Kalimantan Timur dibandingkan di tanah kelahiran susah mendapatkannya. Pernyataan tersebut ditambah dengan dengan pernyataan lanjutan berikut ini.
Pernyataan seperti dalam data (11) tersebut dapat dimaknai bahwa apabila tidak suka tinggal di Kalimantan Timur khususnya di Samarinda sebaiknya pergi saja (meninggalkan Kalimantan Timur). AAN menyampaikan bahwa sebagai salah satu keturunan K..... B.... pernyataan bahwa Gubernur AF sebaiknya diganti dianggap sebagai sebuah penghinaan. Penghinaan tersebut tidak hanya dimaknai sebagai penghinaan terhadap diri Gubernur, tetapi juga penghinaan terhadap suku-suku asli Kalimantan Timur (AF keturunan suku asli). Bentuk provokasi konflik antara suku asli dan pendatang juga terdapat dalam data berikut.
Sebenarnya pokok persoalan itu disebabkan adanya kecemburuan sosial. Perdebatan yang dipicu kecemburuan sosial dapat terlihat dalam tuturan salah satu warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ berikut.
Pernyataan dalam data (14) tersebut RW mengeluhkan tentang keberuntungan juru parkir (jukir) liar yang dalam sehari berpenghasilan Rp150.000. RW berpandangan banyak pendatang dari pulau tersebut yang datang ke Samarinda untuk menjadi juru pakir. Pernyataan RW dengan menyinggung pendatang dari suatu pulau berarti juga menyinggung suku-suku yang terkait dengan pulau tersebut. Hal itu dapat membentuk stereotipe bahwa suku-suku tersebut dianggap sebagai biang permasalahan di Kota Samarinda. Sebaliknya RH seperti dalam data (15) mengingatkan agar (persoalan tersebut) jangan disangkutpautkan dengan suku tertentu.
Sebenarnya timbulnya berbagai stereotipe seperti itu lebih disebabkan adanya kecemburuan sosial antara suku asli dengan pendatang. Hal itu selaras dengan Laporan Akhir Pemetaan Daerah Rawan Bencana Sosial di Kalimantan Timur, bahwa di Kota Samarinda terdapat permasalahan ketidakadilan masyarakat lokal dan pendatang (Timur, 2013: 125). Masyarakat lokal/penduduk asli justru terpinggir secara kesejahteraan. Keterpinggiran tidak hanya dalam hal berusaha, namun juga dalam pemerintahan. Kesenjangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan kecemburuan sosial semakin menambah potensi konflik sosial di Kota Samarinda. Konflik sosial, terutama etnik, pada umumnya dapat terjadi kalau salah satu pihak merasakan sesuatu yang tidak adil baginya. Suku tetangga mungkin menduduki posisi yang dominan (unggul) terhadap suku lawannya. Hal ini dapat terjadi di bidang ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya (Soemardjan dalam (Ruslikan, 2001: 5).
Menonjolnya ormas-ormas kesukuan menambah potensi konflik sosial yang dapat terjadi di Kota Samarinda. Gesekan antarormas beberapa kali terjadi di Kota Samarinda. Terjadinya gesekan antarormas dapat merembet pada gesekan antarsuku. Berikut ini tuturan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang mengeluhkan keberadaan ormas kesukuan.
Pernyataan BCM seperti dalam data (17) tersebut menyampaikan informasi dan kesaksian bahwa ada oknum ormas tertentu yang beranggotakan peminum (pemabuk). Pada waktu tengah malam memasuki rumah dengan bersenjatakan parang badik dengan aksesoris kalung manik-manik bersongkok-songkok salah satu suku asli. Anggota ormas tersebut memasuki rumah mencari orang tanpa permisi tanpa bertanya dahulu apa yang dicari dan langsung dihajar babak belur sampai patah tangan. Menurut BCM para anggota ormas tersebut memiliki kebiasaan mabuk-mabukkan di gang. Pernyataan tersebut merupakan gambaran kecil stigma yang berkembang tentang keberadaaan ormas-ormas yang berkedok kesukuan yang menguatkan potensi kekerasan. Tindakan oknum ormas kesukuan meresahkan warga itulah yang membentuk stereotipe bahwa ormas-ormas kesukuan sebagai pembuat onar dan berbagai aksi premanisme lainnya. Persoalan akan semakin rumit apabila terjadi gesekan antarwarga yang kebetulan anggota ormas kesukuan yang berbeda. Hal itu akan mudah melebar ke persoalan isu kesukuan.
Bahasa sindiran/ironi juga digunakan sebagian anggota grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Sebagian percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ yang bernuansa SARA menggunakan sindiran/ironi. Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan kata atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau pembaca juga sadar maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya (Keraf, 2006: 143). Gaya bahasa tersebut terdapat dalam tuturan warga dalam grup facebook Bubuhan Samarinda yang bernuansa SARA berikut ini, Hebat pndatang memang hebat luar biasa. Penghasilan jukir liar sehari 150 ribu lebih..mkax bnyak org pndatang dri sulawesi jd jukir...parkir d psar pgi bwah jmbatan penyeberangan itu hbis di kuasai bubuhan sulawesi mantab..uang 2 ribu jngn parkir dsitu. Selain itu, juga terdapat tuturan warga yang menggunakan bahasa menyerang/menuduh. Isi tuturan yang menyerang atau menuduh suku yang lain terdapat dalam percakapan warga anggota grup facebok ‘Bubuhan Samarinda’. Berikut ini salah satu tuturan yang terlihat menggunakan serangan atau tuduhan. D.... kamp... mna ada d..... kota. Selanjutnya, juga terdapat tuturan warga yang mengunakan bahasa yang bernada ancaman. Salah satu tuturan yang bernada ancaman “jgn bawa2 nama bapakq.... kena bisa aja mandau terbang ke leher.... pean. Penggunaan berbagai kosakata tersebut semakin menguatkan kesan kebencian dan permusuhan antarsuku yang ada di Kota Samarinda. Dimensi Praktik Wacana (Level Meso) Analisis teks dilanjutkan pada analisis praktik wacana. Menurut Failrlough (dalam Jorgensn dan Philips (Ahmadi F., 2014: 261). Analisis praktik kewacanaan ini dipusatkan pada bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi, termasuk di dalamnya menelisik proses apakah yang dilalui suatu teks sebelum dicetak dan perubahan apa yang dialami sebelum disebarluaskan. Dimensi ini sangat bermanfaat untuk menggali latar belakang sebuah tuturan dan akibat tuturan tersebut. Teks percakapan yang bernuansa SARA diproduksi dalam percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ terkait dengan berbagai persoalan di Kota Samarinda. Selain itu, percakapan sebagai tanggapan terkait dengan unggahan warga anggota grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Sering terjadi perdebatan antarwarga dalam percakapan tersebut. Perdebatan-perdebatan dapat memunculkan berbagai tanggapan, diantaranya membawa hal-hal yang bernuansa kesukuan. Perdebatan yang membawa isu kesukuan sangat sensitif dibawa ke ranah media sosial seperti grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Percakapan tersebut menjadi konsumsi bagi masyarakat luas. Kondisi ini sangatlah rentan. Apabila konflik dalam dunia maya terjadi, bisa berdampak terjadinya konflik dalam kehidupan nyata di masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya temuan Samarinda sebagai daerah paling rawan konflik sosial di Kalimantan Timur. Contoh nyata konflik sosial bermula dari media sosial seperti dalam kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Konflik tersebut dipicu pemberitaan di media sosial yang tidak valid. Seorang oknum mengunggah foto yang bernuansa provokatif saat proses mediasi berlangsung. Ada oknum yang menyebarkan berita provokatif dan negatif hingga membuat (oknum) warga bereaksi. Hal yang sama juga berpotensi terjadi di Kota Samarinda. Memang percakapan dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ dilakukan oleh akun-akun asli ada juga akun fiktif. Penggunaan akun fiktif mengakibatkan kesulitan dalam melacak pemilik akun. Oleh karena itu, diduga terdapat akun-akun fiktif yang sengaja menyebar unggahan yang bernuansa SARA. Tujuannya tentu untuk memprovokasi antarsuku yang ada untuk saling bertikai. Tujuan akhirnya tentu menimbulkan rasa tidak aman dalam benak warga Kota Samarinda. Dimensi Praktik Sosial Budaya (Level Makro) Satu kenyataan yang harus dipahami bersama bahwa masyarakat adat (suku asli) di Kalimantan Timur memang dikenal solid. Bila ada kelompok adat tertentu disakiti, hampir pasti seluruh suku yang sama akan ikut membantu. Solidaritas tersebut tidak sebatas individu dengan individu dari suku yang sama. Solidaritas tersebut juga sesama suku yang tidak sebatas pada wilayah provinsi, namun juga antarprovinsi yang berbeda. Sebagai contoh dalam adat salah satu suku asli, apabila sudah diadakan upacara adat Mangkok Merah dapat dimaknai bahwa seluruh suku tersebut di seluruh Kalimantan akan siap membantu. Hal itu terbukti dalam konflik sosial yang pernah terjadi di Kalimantan Timur maupun provinsi lain di Pulau Kalimantan. Berdasarkan analisis wacana kritis (dimensi tekstual, dimensi praktik wacana, dan dimensi praktik sosial budaya), dalam percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’, dapat diidentifikasi potensi konflik sosial di Kota Samarinda. Potensi konflik sosial di Kota Samarinda yang didominasi faktor kesukuan didorong tingginya primordialisme warga Kota Samarinda. Selain itu, adanya upaya propaganda bahwa suku tertentu harus disegani. Suku asli tersebar di kabupaten/kota di Kalimantan Timur dan Samarinda sebagai ibukota provinsi menjadi tuan rumah bagi suku-suku tersebut. Dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ terdapat unggahan-unggahan yang mempropagandakan bahwa suku tertentu harus disegani. Hal itu bisa dipahami sebagai bagian untuk eksistensi diri sebagai suku asli di Kota Samarinda. Stigma di atas ada kaitannya dengan sejarah konflik antarsuku yang pernah terjadi di Kalimantan, seperti Sampit dan Sambas. Konflik di suatu daerah seolah menjadi model bagi daerah-daerah lain. Hal itu dapat dipahami karena konflik antarsuku yang pernah terjadi seperti mengulang kembali sejarah pertikaian antarsuku yang terjadi di beberapa daerah. Sejarah kelam seolah menjadi dendam yang tidak berkesudahan sehingga akan mudah untuk muncul lagi apabila terdapat pemantiknya (Narwoko, 2004: 181). Dalam lingkungan suku asli sendiri seolah terjadi persaingan antarsuku untuk disebut sebagai suku asli. Sebagian warga dalam tuturan grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ mengungkapkan bentuk-bentuk ancaman dengan ‘ilmu-ilmu’ kesukuan tertentu untuk menunjukkan eksistensinya. Menurut Maunati (2006: 9) citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan perburuan kepala. Para pemburu kepala dan orang-orang Dayak liar telah ditulis secara luas dan telah menjadi atraksi utama di Kalimantan Timur dan bahkan pulau Kalimantan secara keseluruhan. Miller (1946 dalam Maunati, 2006: 9) menulis dalam buku Black Borneo bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Pesan yang ingin disampaikan di balik propaganda tersebut didukung dengan adanya provokasi konflik antara suku asli dengan pendatang. Memang sulit menghilangkan stigma suku asli dan pendatang. Keberadaan suku pendatang yang seolah harus tunduk terhadap suku asli Kalimantan Timur. Resistensi konflik suku asli dan pendatang membesar dengan adanya stigma bahwa pendatang hanya mengeksploitasi kekayaan Kalimantan. Kalimantan Timur memang kaya dengan sumber daya alam. Hal itulah yang menjadi daya tarik bagi para pendatang. Maraknya pendatang ke Kota Samarinda membuat stereotipe pendatang hanya untuk mengeruk kekayaan alam di Kalimantan Timur. Fakta bahwa para pendatang lebih banyak memegang kendali perekonomian tidak dapat dinafikkan. Kecemburuan sosial pun muncul. Hal itu rupanya menjadi salah satu pemicu dalam perdebatan bernuansa SARA dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’. Kecemburuan sosial tersebut berimbas timbulnya stereotipe bahwa pendatang menjadi sumber masalah di Kota Samarinda. Berbagai persoalan yang muncul di Kota Samarinda seperti banjir, kriminal dan lainnya sering disangkutpautkan dengan banyaknya pendatang. Jadi, apabila apa yang muncul di Kota Samarinda dan ada yang mengunggah dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’, hampir selalu ada yang mengaitkannya dengan keberadan pendatang. Provokasi antara suku asli dan pendatang serta stereotipe pendatang hanya mengeruk kekayaan bumi Kalimantan Timur timbul karena adanya kecemburuan sosial-ekonomi. Kecemburuan sosial antara suku asli dan pendatang serta pendatang sebagai sumber masalah merupakan bentuk akumulasi dari kesenjangan sosial-ekonomi. Suku asli yang realita sosial-ekonomi tertinggal dibandingkan pendatang adalah suku Dayak. Tempo (1999 dalam Maunati, 2006: 4) pernah membuat laporan yang mengungkapkan bahwa banyak tokoh terkemuka dalam organisasi Dayak di Kalimantan Timur meramalkan bahwa situasi Kalimantan seperti ‘api dalam sekam’ yang bisa meledak kapan saja. Sejumlah pakar melaporkan bahwa banyak keberetan dan keluhan-keluhan ekonomi yang sama yang ikut menyumbang bagi munculnya konflik di Kalimantan Barat juga ditemukan di Kalimantan Timur. Maunati (2006: 4) berpendapat seperti di Kalimantan Barat, Dayak Kalimantan Timur juga merasa terluka dan marah karena tiadanya kekuatan politik mereka dan tampaknya secara ekonomi mereka sudah kalah total dari kelompok-kelompok migran (pendatang) yang lebih kemudian datang. Amuk massa yang terjadi karena kesenjangan sosial-ekonomi akan dapat mengendur apabila sumber-sumber produksi yang ada terbagikan secara adil (Narwoko, 2004: 181). Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang harus diperkecil untuk meminimalkan potensi konflik sosial. Berbagai potensi kekerasan yang ada diperparah keberadaan ormas kesukuan. Ormas-ormas kesukuan marak di Kalimantan Timur khususnya di Kota Samarinda. Ormas-ormas tersebut mengatasnamakan suku-suku tertentu. Dampak positif keberadaan ormas-ormas tersebut tentunya adanya forum untuk menyampaikan aspirasi kesukuan, terutama bidang politik. Hanya saja ada oknum-oknum ormas yang justru menimbulkan keresahan di masyarakat dengan melakukan aksi premanisme berkedok ormas kesukuan. Dalam kehidupan sosial di Kota Samarinda, apabila terjadi gesekan antarwarga berlatar belakang kesukuan yang berbeda terlebih lagi keduanya anggota ormas yang berbeda, peluang terjadinya konflik akan semakin besar. Sebagai buktinya konflik sosial yang terjadi di Nunukan pada tanggal 12 Juli 2007. Konflik tersebut bermula karena pribadi yang berlainan suku dan kebetulan anggota ormas yang berbeda. Konflik serupa dalam skala kecil sering terjadi di Kota Samarinda. Bentrok antarormas kesukuan yang dipicu perebutan jasa pengamanan juga beberapa kali terjadi di Kota Samarinda. Keberadaan ormas-ormas kesukuan kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai dukungan (backing), seperti dalam kasus sengketa lahan. Sengketa lahan yang awalnya kasus perseorangan dapat melebar menjadi konflik antarormas dan antarsuku. Disadari atau tidak, keberadaan ormas-ormas tersebut justru memperuncing perbedaan yang ada. Sekat antarsuku semakin jelas dan warga seperti dikotak-kotakkan. Akibatnya, ormas-ormas kesukuan di Kalimantan Timur utamanya di Kota Samarinda cenderung mendapat stereotipe negatif. Berbagai hasil identifikasi potensi konflik sosial dalam percakapan warga grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ merupakan representasi kehidupan sosial di Kota Samarinda. Dalam skala yang lebih luas kondisi sosial masyarakat di Kota Samarinda dapat menjadi gambaran umum masyarakat di Kalimantan Timur. Konflik linguistik dalam grup facebook Bubuhan Samarinda merupakan bentuk letupan-letupan tersembunyi dalam benak warga Kota Samarinda. Bahkan dapat diasumsikan konflik linguistik dalam media sosial seperti grup facebook Bubuhan Samarinda merupakan puncak gung es potensi konflik sosial di Kota Samarinda. Gejala-gejala yang tampak di Kota Samarinda berdasarkan hasil identifikasi tersebut merupakan gejala yang hampir sama yang juga terjadi di daerah-daerah konflik sebelumnya (Kalteng dan Kalbar). Begitu juga pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di Kalbar pada 1999 dan sebelumnya (Ruslikan, 2001: 6). Sebelum konflik Dayak dan Madura di Sampit dan Sambas sebelumnya juga berkembang stereotipe yang berupa label negatif tentang suku tertentu yang tidak menunjukkan ciri-ciri kemanusian. Menurut Soemardjan (Ruslikan, 2001: 4) dimana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai tetangga dekat maka karena kebudayaannya yang berbeda, selama hubungan antara mereka itu, tidak dapat dihindarkan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya. Dalam kurun waktu tertentu konflik antar-etnis (suku) belum meledak, maka itu semua hanyalah jeda sosial (konflik yang berhenti sementara) yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya (Narwoko, 2004: 182). Kesimpulan Berdasarkan analisis wacana kritis percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ dapat diidentifikasi potensi konflik sosial di Kota Samarinda. Pertama, adanya potensi konflik bernuansa SARA yang didominasi faktor kesukuan. Kedua, tingginya primordialisme warga kota Samarinda, Ketiga, adanya upaya propaganda eksistensi suku asli. Keempat, adanya provokasi konflik antara suku asli dengan pendatang. Kelima, persepsi bahwa pendatang hanya mengeksploitasi kekayaan Kalimantan. Keenam, kecemburuan sosial antara penduduk asli dengan pendatang. Kecemburuan sosial tersebut berimbas timbulnya persepsi bahwa pendatang menjadi sumber masalah di Kota Samarinda. Ketujuh, potensi kekerasan menguat karena keberadaan organisasi massa yang terorganisir berlatar kesukuan yang dimanfaatkan oknum tertentu. Konflik linguistik percakapan warga dalam grup facebook ‘Bubuhan Samarinda’ belum menjadi pemicu konflik nyata di masyarakat Kota Samarinda, seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Hanya saja konflik linguistik yang terus berkembang merupakan ‘api dalam sekam’ yang sewaktu-waktu dapat menjadi konflik sosial yang nyata. Satu hal yang perlu disadari, konflik linguistik ini merupakan representasi kondisi sosial warga Kota Samarinda. Dengan demikian perlu dipahami bahwa ada potensi konflik dalam kehidupan nyata di masyarakat Kota Samarinda yang sewaktu-waktu bisa pecah. Berbagai potensi konflik sosial tersebut sangat rentan dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tersembunyi, seperti untuk kepentingan politik. Potensi konflik tersebut akan semakin besar apabila dihubung-hubungkan dengan isu keagamaan. Oleh karena itu, sinergi berbagai pendekatan keilmuan perlu dilakukan untuk menemukan solusi yang konprehensif. Selain itu, intervensi dan tindakan nyata harus dilakukan pemerintah Kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur untuk meredam potensi konflik sosial di Kota Samarinda. Penelitian tindak lanjut dengan pendekatan linguistik untuk mempercepat asimilasi antarsuku di Kota Samarinda perlu segera dilakukan. Daftar Pustaka Ahmadi F., Y. D. 2014. "Analisis Wacana Kritis: Ideologi Hizbut Tahrir Indonesia dalam Wacana Kenaikan Harga BBM 2013 di Buletin Al-Islam yang berjudul 'Menaikkan Harga BBM: Menaikkan Kemiskinan'". Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa, 12 (2), 253–265. BanjarmasinPost. 2011. Usai Sidang, Sembelih Hewan. Diakses dari http://komisikepolisianindonesia.com/umum/read/3308/usai-sidang-sembelih-hewan.html pada 3 November 2016. BPS. 2016. Jumlah Penduduk Tahun 2013. Diakses dari https://samarindakota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/2 pada 25 September 2016. Djajasudarma, T. F. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. (W. Nadeak, Ed.) (I). Bandung: PT Eresco. Eka, W. 2007. Kalimantan Diambang Perang Etnis? Berpolitik.com. Diakses dari http://www.berpolitik.com/news.pl?nid=6399&cid=21&gid=25 pada 11 September 2016. Hepburn, A., & Potter, J. 2007. "Discourse Analytic Practice" dalam C. Seale, G. Gobo, J. F. Gubrium, & D. Silverman (Eds.), Qualitative Research Practice (II, p. 168). Great Britain: Cromwell Press Ltd. Keraf, G. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa (16th ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Krisdiantoro. 2010. Inilah Kronologi Bentrok Warga di Tarakan. Tribunnes.com. Diakses dari http://www.tribunnews.com/regional/2010/09/29/inilah-kronolgi-bentrok-warga-di-tarakan pada 11 September 2016. Maunati, Y. 2006. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. (N. Ismah, Ed.) (II). Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Miles, M. B., & Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif. (T. R. (Penerjemah) Rohidi, Ed.) (I). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Moleng, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif (25th ed.). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Narwoko, J. D. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. (J. D. Narwoko & B. Suyanto, Eds.) (I). Jakarta: Kencana. Primordialisme. 2016. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme pada 11 September 2016. Prokal.co. 2016. Gara-gara Banjir, Gubernur Minta Samarinda Tak Lagi Terima Pendatang. Diakses dari http://news.prokal.co/read/news/912-banjir-gubernur-minta-samarinda-tak-lagi-terima-pendatang pada 11 September 2016. ________. 2016. Lebih 500 Ormas Tak Terdaftar.Diakses dari http://radarkaltim.prokal.co/read/news/687-lebih-500-ormas-tak-terdaftar pada 11 September 2016. Pruitt, D. G., & Rubin, J. Z. 2011. Teori Konflik Sosial. (M. Khatamie, Ed.) (III). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purbani, W. 2009. Analisis Wacana Kritis dan Analisis Wacana Feminis. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/dr-widyastuti-purbani-ma/analisis-wacana-kritis.pdf pada 23 Februari 2016. Ruslikan. 2001. Konflik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah: Melacak Akar Masalah dan Tawaran Solusi. Journal Universitas Airlangga, XIV Nomor, 1–12. Diakses dari http://journal.unair.ac.id/konflik-dayak-madura-di-kalimantan-tengah-article-2583-media-15-category-.html pada 5 November 2016. Singh, I. 2006. Bahasa dan Etnisitas dalam L. Thomas & S. Wareing (Eds.) Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan (I, pp. 136–164). Malang: Pustaka Pelajar. Thornborrow, J. 2006. Bahasa dan Identitas dalam L. Thomas & S. Wareing (Eds.) Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan (I, pp. 223–251). Malang: Pustaka Pelajar. Timur, T. P. D. S. P. K. 2013. Laporan Akhir Pemetaan Daerah Rawan Bencana Sosial di Kalimantan Timur. Samarinda: Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial. 2012. Vivaborneo.com. 2012. Kubar Rusuh, Pasar Barong Tongkok Dibakar. Diakses dari http://www.vivaborneo.com/kubar-rusuh-pasar-barong-tongkok-dibakar.htm pada 11 September 2016. (Maaf, tata letak masih berantakan. Belum sempat menata) *Makalah telah dipresentasikan dalam ICSSH LIPI 2016 Jakarta, 18-20 OKtober 2016 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beragam makna asosisasi pornografi dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Sebagai sebuah wacana, pengungkapan makna cuitan tersebut secara lengkap harus mempertimbangkan situasi tutur, baik yang bersifat lingual maupun nonlingual. Pendekatan untuk analisis wacana tersebut dengan semiotik. Data penelitian ini berupa cuitan Ongen. Teknik analisis data menggunakan model interaktif. Hasil kajian terungkap beragam asosiasi pornografi, yakni asosiasi tentang: prostitusi; lokalisasi; alat kelamin wanita; sensualitas tubuh wanita; ekploitasi alat vital; rangsangan seksual; hubungan seks; JKW telah melakukan transaksi seks dengan NM; JKW ‘doyan’ (seks) dengan NM; JKW terangsang dan kebelet untuk berhubungan seks dengan NM; dan JKW suka alat vital wanita. Beragam asosiasi pornografi tersebut membentuk satu kesatuan makna yang menguatkan adanya unsur pornografi dalam cuitan Ongen. Kata kunci: asosiasi, pornografi, Ongen PENDAHULUAN Kasus hukum yang bermula dari media sosial makin marak di Indonesia. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik pada akhir tahun 2015 yakni kasus yang menjerat Yulianus Pangonan alias Ongen, pemilik akun Twitter @ypaonganan. Ongen dituduh menyebarkan konten pornografi dan pencemaran nama baik Presiden Jokowi. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hari Selasa (19/4/2016) menggelar sidang perdana kasus tersebut (Okezone.com: 2016). Ongen didakwa JPU, Abdul Kadir Sangadji SH, melanggar Pasal 27 terkait penghinaan di media sosial. Selain itu, Ongen juga didakwa melanggar Pasal 4 ayat 1 No. 44/2008 tentang Pornografi dengan ancaman penjara 12 tahun (Beritagar.id: 2016). Dakwaan tersebut terkait 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Banyak pihak meminta kasus tersebut dihentikan karena tuduhan terhadap Ongen dipandang tidak sesuai. Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Ongen, mengatakan dakwaan terhadap Ongen terkesan dipaksakan. Yusril keberatan jika foto Presiden Jokowi (JKW) bersama Nikita Mirzani (NM) yang disebarkan Ongen disebut sebagai pornografi. Senada dengan Yusril, Prof. Dr. H. Hanafie Sulaiman, M.A. menyebutkan bahwa kata lonte dalam hastag #PapaDoyanLonte tidak ada unsur pornografi (Sindonews.com: 2016). Pandangan itu dikuatkan Dr. Ferry Rita, pakar Semiotik dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Fery Rita berpendapat secara simbolisasi, foto NM dan JKW tidak mengandung unsur porno, baik dari sisi unsur kinesik, karena dalam foto tersebut sorotan mata biasa tidak ada lirikan mesra, gerakan tangan juga biasa, tidak ada raba-meraba, raut wajah sang artis tidak merona merah, gerakan tubuh normal tidak ada pelukan, atau rangkul-merangkul. Jadi tidak ada tanda-tanda atau fenomena yang dapat dikonotasikan bahwa keduanya seperti orang lagi kasmaran, apalagi bersetubuh tidak terjadi. Kode responsorial yang dibagikan Ongen hanyalah suatu frase respon spontanitas semata-mata. Sementara dari sisi ikonisasi maka bisa ditarik ke paha. Menurutnya, itu sebuah validitas tanda. Ikon pada paha Nikita bertato tidak representatif menimbulkan nafsu birahi. Bahkan sebaliknya, konteks kata ini memiliki nuansa pengertian semiosis yang jelas berbeda (Merdeka.com, 2016). Penulis memiliki penilaian yang berbeda terkait kasus tersebut. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengungkap muatan linguistik cuitan Ongen untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran. Perlu diketahui, timbulnya sebuah makna pornografi tidak bisa lepas dari asosiasi yang terbentuk dalam benak pembaca. Makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku di masyarakat bahasa yang berhubungan juga dengan nilai rasa bahasa (Chaer (2002). Dengan demikian, untuk memaknai cuitan Ongen, selain unsur bahasa (lingual) yang berupa kata-kata, juga harus memperhatikan hal di luar bahasa (nonlingual). Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah asosiasi pornografi apa saja yang terbentuk dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beragam asosiasi pornografi yang muncul dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Hasil penelitian bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pihak terkait dalam mengungkap pelanggaran Ongen. TEORI & METODE PENELITIAN Menurut Yuniawan (2005: 286-289) pornografi mengandung erotisme, tetapi tidak semua erotisme itu mengandung pornografi. Erotisme lebih mengarah kepada penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido atau keinginan seksual, sedangkan pornografi lebih cenderung pada penekanan tindak seksual untuk membangkitkan nafsu birahi. Pengertian pornografi dalam KBBI (Kemdikbud, 2016) adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi. Ada indikasi yang diakibatkan pornografi berupa bangkitnya nafsu berahi seseorang. Bangkitnya nafsu tersebut sebagai akibat dari melihat atau mendengar gambaran tingkah laku yang erotis melalui berbagai media baik lukisan maupun tulisan. Sedangkan, Pornografi dalam pasal 1 ayat 1, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Tiga definisi pornografi tersebut memiliki dua kesamaan. Pertama, kesamaan adanya penggambaran tindak/tingkah laku erotis yang disebarkan dalam berbagai bentuk (gambar, tulisan, dan sebagainya). Kedua, kesamaan adanya akibat berupa meningkatnya nafsu berahi (pendengar maupun pembaca). Dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008, ada tambahan pengertian pornografi berupa batasan pornografi yang didasarkan unsur pelanggaran norma kesusilaan dalam masyarakat. Hal itu membantu dalam identifikasi pornografi karena penafsiran masing-masing individu berbeda. Selain pornografi, juga ada definisi asosiasi pornografi. Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa (Chaer, 2002: 72). Lebih lanjut disampaikan Chaer (2002: 72) bahwa makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku di masyarakat bahasa yang berhubungan juga dengan nilai rasa bahasa. Dasar pertimbangannya adalah nilai kesusilaan dan pandangan hidup masyarakat yang akan memengaruhi nilai rasa sebuah bahasa. Pengertian asosiasi dalam KBBI (http://kbbi.web.id) merupakan tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra. Timbulnya asosiasi seseorang terkait dengan tautan ingatan pada orang atau barang setelah melihat atau mendengar sesuatu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asosiasi pornografi merupakan pertautan dalam diri seseorang setelah melihat atau mendengar suatu objek sehingga mengarahkan pada ingatan tentang hal-hal yang dapat membangkitkan berahi seksual seseorang dan bertentangan dengan norma kesusilaan dalam masyarakat. Cuitan Ongen termasuk sebuah wacana. Wacana menurut Kridalaksana (Wijana, 2002: 66) membawa amanat yang lengkap. Anamat wacana linguistik bergantung konteksnya yang bersifat lingual (linguistic context) maupun konteks nonlingual (nonlinguistic context). Konteks tersebut menurut Leech (1983) disebut situasi tutur. Verhaar dalam Wijana (2002: 59) mengatakan bahwa analisis wacana bersangkutan dengan penganalisisan hubungan antara kalimat-kalimat yang utuh. Analisis dilakukan untuk mengetahui amanat dengan mengaitkan situasi tutur. Untuk dapat mengetahui makna dalam analisis makna, salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah pendekatan semiotik. Roland Barthes mengungkapkan bahwa semiotik (Budiman, 2002: 95) terarah pada wacana khusus yang disebut mitos (miyth). Secara semiotis, kewacanaan yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua, a second order semiological system. Pada tataran bahasa (language), yakni sistem semiologis tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Hubungan itu dinamakan sebagai signifikasi. Tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bersemayam. Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada the second order semiological system itu, dapat disebut sebagai retorik tanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai (fragmen) ideologi (Budiman, 2002: 95). Menurut Budiman (2002: 95) apa yang disebut oleh Barthes sebagai mitos tidak lain adalah wacana berkonotasi, wacana yang memasuki lapisan konotasi dalam proses signifikasinya. Penggunaan semiotik dalam analisis wacana dapat mengungkapkan makna di balik makna yang disampaikan. Terdapat tiga penelitian tentang asosiasi pornografi yang relevan dengan penelitian ini. Pertama, Teknik Penciptaan Asosiasi Pornografi dalam Wacana Humor Indonesia (Yuniawan, 2005: 291-292). Dalam penelitian tersebut dikemukakan beberapa teknik penciptaan asosiasi pornografi dalam wacana humor Indonesia mencakup teknik ganda, teknik metafora, teknik tebakan, dan eufimisme. Kedua, Kusno (2004) dalam skripsi berjudul Asosiasi Pornografi pada Iklan di Televisi. Dalam penelitian tersebut diungkapkan kekhasan dan dampak yang ditimbulkan iklan-iklan yang berasosiasi pornografi dalam iklan di televisi. Ketiga, Kusno (2015) dalam artikel jurnal Asosiasi Pornografi pada Lirik Lagu Campur Sari, mendeskripsikan karakteristik kirik lagu campur sari yang berasosiasi pornografi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan tentang sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 1994: 6). Penelitian ini berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Penelitian ini mengunakan pendekatan semiotik. Pengumpulan data menggunakan analisis dokumen (Mulyana, 2010: 195). Dalam pengumpulan data menggunakan teknik catat transkrip cuitan Ongen. Sedangkan teknik analisa data menggunakan model interaktif, seperti yang dikemukakan Miles & Huberman (2007:19—20), terdiri atas tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verivikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. TEMUAN & PEMBAHASAN Asosiasi pornografi dapat timbul karena pertautan dalam diri pembaca setelah melihat atau membaca cuitan Ongen. Cuitan-cuitan Ongen mengarahkan ingatan pembaca tentang hal-hal yang dapat membangkitkan birahi seksual dan bertentangan dengan norma kesusilaan dalam masyarakat Indonesia. Timbulnya asosiasi pornografi cuitan Ongen, dipengaruhi penggunaan unsur lingual yang didukung unsur nonlingual. Unsur utama nonlingual timbulnya asosiasi pornografi dalam cuitan Ongen adalah foto (JKW dan NM) yang diunggah Ongen. Dalam foto tersebut NM menggunakan pakaian pendek mengekpos bagian paha. Ketika ada foto JKW bersampingan dengan artis NM, disertai beragam cuitan dengan kata ‘papa,’ secara umum pembaca berasosiasi bahwa ‘papa’ yang dimaksud dalam beragam cuitan tersebut adalah JKW. Seandainya kesimpulan berbeda tentang siapa ‘papa,’ tetap saja tidak menghilangkan dugaan makna asosiasi pornografi yang ditimbulkan. Unsur nonlingual lain berupa nilai-nilai moral dan pandangan hidup di masyarakat Indonesia menjadi pertimbangan ukuran kepatutan cuitan Ongen. Unsur nonlingual yang juga tidak bisa dipisahkan, yakni konteks saat cuitan itu muncul, yakni sedang hangat-hangatnya kasus prostitusi artis yang diduga melibatkan artis NM. Berikut ini beragam asosiasi pornografi dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Asosiasi ProstitusiKata-kata yang berasosiasi dengan prostitusi terdapat dalam cuitan Ongen . Kata-kata yang terkait dengan prostitusi tersebut terdapat dalam data berikut: (1) Hei Lonte Sosmed @PartaiSocmed kalo booking semalam brp bayarannya med..?; (2) Siapa germo si LONTE SOCMED @PartaiSocmed ini...? ada yg tahu..? (3) Lonte Sosmed lagi uring-uringan ga ada bookingan; (4) Kasihan dia lagi frustasi... aku katai lonte sosmed utk ksh makan anak bininya dari hasil ngelonte di sosmed; (5) Memed ngerasa diri jadi papa... lonte koq doyan lonte. Kata-kata terkait prostitusi dalam cuitan Ongen tersebut, yakni lonte, bookingan, germo, dan ngelonte. Seseorang setelah membaca cuitan tersebut dapat mempertautkan dalam diri yang mengarahkan pada ingatan tentang prostitusi. Asosiasi terkait prostitusi tersebut dapat membangkitkan berahi seksual sekaligus melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi Tempat Prostitusi/LokalisasiAsosiasi lokalisasi prostitusi terdapat dalam cuitan Ongen, yakni: (6) Woalah ternyata dulu #PapaDoyanLonteDolly. Dalam cuitan tersebut dapat dimaknai JKW ‘doyan’ (suka) lonte Dolly (salah satu bekas lokalisasi di Surabaya). Cuitan tersebut mengarahkan ingatan pembaca tentang tempat prostitusi di Dolly Surabaya. Cuitan tersebut juga membentuk asosiasi bahwa JKW suka dengan lonte yang ada di lokalisasi Dolly. Setelah membaca cuitan tersebut, dapat mengarahkan pada ingatan seseorang tentang Dolly sebagai tempat prostitusi dan berkunjung ke Dolly untuk bertransaksi dengan lonte. Hal itu dapat membangkitkan berahi seksual pembaca dan bertentangan dengan norma kesusilaan. Asosiasi Alat Kelamin WanitaDalam cuitan Ongen terdapat kata-kata yang berasosiasi dengan bagian alat kelamin wanita. Kata-kata tersebut seperti dalam data berikut: (7) Kalo hestek #papaDoyanitil kira2 yg merasa terhina siapa ya...? (8) Satpull pepeek kalik ah. Dalam data (7) dan (8) tersebut terdapat penggunaan kata yang merujuk pada bagian alat kelamin wanita, yakni kata itil dan pepeek. Itil dalam KBBI (Kemdikbud, 2016) diartikan klitoris sedangkan pepek dalam KBBI (Kemdikbud, 2016) diartikan sebagai kemaluan perempuan. Setelah membaca cuitan tersebut seseorang akan mempertautkan dalam diri yang mengarahkan pada ingatan tentang klitoris dan kemaluan wanita. Hal itu merupakan bentuk kecabulan atau eksploitasi seksual yang membangkitkan berahi seksual pembaca sekaligus melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi Sensualitas Tubuh WanitaAsosiasi sensualitas tubuh wanita terdapat dalam cuitan Ongen. Kata-kata dalam cuitan Ongen yang terkait dengan sensualitas tubuh wanita, yakni (9) Widih duren montong; (10) Duh paha lonte itu ada tattonya di pahanya euy...apa namanya nikita pudjiastuti...? Dalam data (9) tersebut Ongen menggunakan widih duren montong dengan gambar artis NM menggunakan pakaian ketat putih menonjolkan payudaranya (saat diperiksa kepolisian). Kombinasi tersebut membentuk asosiasi pembaca tentang payudara NM yang besar seperti durian montong (yang terkenal besar-besar). Sedangkan dalam data (10) Ongen memberikan penekanan pada Duh paha lonte itu ada tattonya di pahanya euy. Hal itu membentuk asosiasi terkait sensualitas tubuh NM pada bagian paha. Kedua cuitan tersebut sama-sama memuat asosiasi sensualitas tubuh NM yang dapat membangkitkan berahi seksual pembaca. Asosiasi Ekploitasi Alat Vital Asosiasi eksploitasi alat vital terdapat dalam cuitan Ongen. Asosiasi tersebut ada dalam data berikut ini: (11) Coba cek bijimu... msh ada gak dek; (12) sentil biji si lonte sosmed. Dalam data tersebut cuitan Ongen jelas-jelas membentuk asosiasi eksploitasi alat vital dengan, cek bijimu dan sentil biji si lonte sosmed. Biji dalam cuitan Ongen tersebut dapat diasosiasikan biji laki-laki (buah zakar) atau biji perempuan (klitoris). Setelah membaca cuitan tersebut seseorang dapat mempertautkan dalam diri yang mengarahkan pada ingatan tentang eksploitasi buah zakar maupun klitoris. Hal itu dapat membangkitkan birahi seksual sekaligus melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi Rangsangan SeksualAsosiasi rangsangan seksual terdapat dalam cuitan Ongen. Asosiasi tersebut terdapat dalam data berikut: (13) Oh nikita; (14) Oh nikita kamu centil deh; (15) Oh nikita pahamu itu loh... Dalam data (13), (14), dan (15) tersebut secara berturut-turut dengan disertai visualisasi gambar foto JKW dan NM, membentuk asosiasi bahwa JKW terangsang keberadaan NM di sampingnya. Cuitan tersebut sekaligus mengarahkan ingatan pembaca dengan rangsangan seksual yang dapat membangkitkan birahi. Cuitan tersebut juga melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi Hubungan SeksAsosiasi melakukan hubungan seksual terdapat dalam cuitan Ongen. Asosiasi tersebut terbentuk dalam cuitan: (16) papa main lonte. Dengan rujukan pada foto JKW dan NM, cuitan tersebut membentuk sebuah asosiasi bahwa JKW main (berhubungan seksual) dengan lonte (NM). Tulisan tersebut memuat kecabulan yang membangkitkan berahi seksual dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi JKW Telah Melakukan Transaksi Seks dengan NMOngen membuat cuitan yang berasosiasi bahwa JKW melakukan transaksi seks dengan NM. Asosasi tersebut terdapat dalam cuitan berikut: (17) Ketika nikita mirzani ditangkap krn transaksi sex... lalu apa dibenak kelen lihat foto ini...? Ongen dalam cuitan tersebut terkesan mengajak pembaca berasosiasi bahwa JKW telah melakukan transaksi seks dengan NM. Setelah membaca cuitan tersebut seseorang dapat mempertautkan dalam diri yang mengarahkan pada ingatan tentang sebuah transaksi seks. Cuitan tersebut membangkitkan birahi seksual pembaca dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi JKW ‘Doyan’ (Seks) dengan NMAsosiasi JKW ‘doyan’ (seks) dengan NM terdapat dalam cuitan Ongen, yakni: (18) Kamu anak papa ya... si papa yg doyan lonte itu...? Cuitan tersebut menimbulkan asosiasi bahwa JKW (papa) ‘doyan’ terkait dengan seks bersama lonte (NM). Setalah membaca cuitan itu seseorang dapat mempertautkan dalam diri yang mengarahkan diri tentang asosiasi JKW ‘doyan’ (seks) dengan NM. Cuitan tersebut memuat kecabulan yang membangkitkan birahi seksual sekaligus melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Asosiasi JKW Terangsang dan Kebelet untuk Berhubungan Seks dengan NMDalam cuitan Ongen terdapat kata-kata yang berasosiasi bahwa JKW terangsang dan kebelet untuk berhubungan dengan NM. Asosiasi itu muncul dalam hastag berikut: (19) #PapaKebeletLonte#PapaKebeletLonte. Cuitan tersebut menimbulkan makna bahwa JKW terangsang dan kebelet berhubungan seks dengan NM. Cuitan tersebut jelas-jelas memuat kecabulan yang membangkitkan berahi seksual dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Selain itu juga membentuk kesatuan makna bahwa JKW sudah lama saling mengenal dengan NM. Hubungan keduanya termasuk hubungan khusus yang tidak jauh-jauh dari hal-hal terkait prostitusi. Asosiasi JKW Suka Alat Vital WanitaDalam cuitan Ongen terdapat hastag yang berasosiasi bahwa JKW suka alat vital wanita. Asosiasi tersebut muncul dalam hastag (20) #Papa doyan itil. Hastag tersebut membentuk asosiasi bahwa JKW (Papa) doyan (suka) dengan itil (klitoris). Cuitan tersebut memuat kecabulan yang membangkitkan birahi seksual sekaligus melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. SIMPULAN & SARAN
Berdasarkan hasil kajian terungkap beragam makna asosiasi pornografi, yakni asosiasi prostitusi; asosiasi tempat prostitusi/lokalisasi; asosiasi alat kelamin wanita; asosiasi sensualitas tubuh wanita; asosiasi ekploitasi alat vital; asosiasi rangsangan seksual; asosiasi hubungan seks; asosiasi JKW telah melakukan transaksi seks dengan NM; asosiasi JKW ‘doyan’ (seks) dengan NM; asosiasi JKW terangsang dan kebelet untuk berhubungan seks dengan NM; dan asosiasi JKW suka alat vital wanita. Beragam asosiasi pornografi tersebut dapat membentuk satu kesatuan makna yang menguatkan adanya unsur pornografi dalam dalam 200 cuitan Ongen antara tanggal 12—14 Desember 2015. Beragam asosiasi tersebut timbul dalam diri seseorang setelah membaca unsur lingual dengan dikaitkan dengan unsur nonlingual. Hal itu mengarahkan pembaca pada ingatan tentang hal-hal yang dapat membangkitkan berahi seksual. Selain itu tentunya asosiasi pornografi tersebut bertentangan dengan norma kesusilaan dalam masyarakat. Beragam asosiasi tersebut ada beberapa yang terkait langsung dengan Presiden Jokowi. Pembentukan asosiasi pornografi yang terkait dengan Presiden Jokowi tentunya dapat pula masuk kategori penghinaan dan pencemaran nama baik. Apakah dugaan makna-makna asosiasi pornografi tersebut termasuk pelangaran, pornografi dan pencemaran nama baik, atau tidak? Proses pengadilan akan membuktikan. Niat Ongen sebenarnya baik. Mengkritisi kebijakan pemerintah yang menurutnya kurang pas. Hanya saja, ada satu hal yang harus diingat Ongen. Sebagai orang yang berpendidikan, tentu sudah mengetahui bahasa yang pas dan pantas dalam mengkritik. Memang, rasa benci kadang menumpulkan nilai rasa bahasa ketika mengkritik. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran bersama. Mari memberikan kritikan yang membangun. Bukan kritikan kebablasan yang cenderung menghina dan melecehkan, terlebih kepada kepala negara. DAFTAR PUSTAKABudiman, Kris. 2002. “Membaca Mitos Bersama Roland Barthes: Analisis Wacana dengan Pendekatan Semiotik”. Kris Budiman (penyunting). Analisis Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Pusat Studi Kebudayaan UGM. Yogyakarta. Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Kemdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id. diakses pada tanggal 3 Mei 2016. Kusno, Ali. 2004. “Asosiasi Pornografi pada Iklan di Televisi”. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Kusno, Ali. 2015. Asosiasi Pornografis pada Lirik Lagu Campur Sari.” Dalam Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa. Volume (13). hlm.: 1—12. Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. (terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press. Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wijana. 2002. “Wacana dan Pragmatik”. Kris Budiman (penyunting). Analisis Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Pusat Studi Kebudayaan UGM. Yogyakarta. Yuniawan, Tommi. “Teknik Penciptaan Asosiasi Pornografi dalam Wacana Humor Bahasa Indonesia”. Dalam Humaniora. Volume (17). hlm.: 295-292. Penulis Ali Kusno Makalah telah dipresentasikan dalam Seminar SETALI UPI 2016 Makalah: Pelanggaran Prinsip Kesopanan pada Kasus Delik Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik6/20/2016 Abstrak Pragmatik telah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang hukum, untuk menganalisis bukti terkait analisis linguistik forensik, salah satunya menggunakan pendekatan pragmatik. Penggunaan tuturan pada kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik terbukti melanggar prinsip-prinsip kesopanan. Bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kesopanan tersebut berupa: pelanggaran maksim pujian (approbation maxim) dan maksim kesepakatan (aggrement maxim). Masyarakat hendaknya menghindari bentuk-bentuk pelanggaran tersebut agar tidak terjerat hukum. Kata Kunci: penghinaan, pencemaran, pragmatik I. Pendahuluan Kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di Indonesia makin marak terjadi. Kasus-kasus tersebut bermula dari media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, BBM dan lainnya. Sepanjang tahun 2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI mencatat ada 791 kasus penmemaran nama baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan di berbagai tingkat pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (Zifana, 2015). Kemudahaan dan kebebasan orang dalam menggunakan media sosial menjadi pemicu banyaknya kasus penghinaan dan pencemaran nama baik. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa yang sopan di media sosial menjadi faktor pendorong. Menurut Hariandi Law Office (2015) setidaknya ada tiga unsur yang harus dicermati dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, yakni 1) unsur kesengajaan dan tanpa hak, 2) unsur mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik; dan 3) unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Muatan linguistik dalam kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik sangat menarik untuk dikaji. Kajian persoalan hukum yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik harus dianalisis dengan mempertimbangkan konteks (Rismayanti, 2014). Pragmatik telah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia hukum untuk menganalisis bukti terkait analisis linguistik forensik salah satunya menggunakan pendekatan pragmatik. Munculnya tuntutan hukum penghinaan dan pencemaran nama baik karena tuturan yang melanggar prinsip kesopanan. Dalam makalah ini dianalisis pelanggaran prinsip kesopanan pada kasus-kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang berdampak hukum. Hasil penelitian ini untuk dapat mengungkapkan berbagai pelanggaran prinsip kesopanan yang menyebabkan seorang penutur terjerat hukum. II. Landasan Teori dan Metode Penelitian Kesopanan dalam KBBI dimaknai dengan 1) adat sopan santun; tingkah laku (tutur kata) yang baik; tata krama; 2) keadaban; peradaban; 3) kesusilaan (badanbahasa.kemdikbud.go.id). Kesopanan berdasarkan definisi tersebut merupakan bentuk adat sopan santun dalam bertingkah laku (tutur kata) yang baik. Menurut Leech (1993: 161) sopan santun sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar beradab’ saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah sopan santun merupakan mata rantai yang hilang antara prinsip kerja sama dengan masalah bagaimana mengaitkan daya dengan makna. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pengertian kesopanan berbahasa adalah adat sopan santun tutur kata yang baik yang mengaitkan daya dan makna. Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesopanan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji dalam penelitian kesopanan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan tersebut berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other) (Wijana, 2009: 51). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Selain memperhatikan pihak-pihak terkait, menurut Chaer (Masfufah, 2013: 103) ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam memberikan tuturan, yaitu (1) identitas sosial budaya para partisan (penutur dan lawan tutur), (2) topik tuturan, (3) konteks waktu, situasi, dan tempat penuturan berlangsung. Selain itu, dalam tuturan juga dipengaruhi oleh tujuan tuturan. Prinsip kesopanan berbahasa seperti dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207) yakni maksim kearifan (tact maxim); maksim kedermawanan (generosity maxim); maksim pujian (approbation maxim); maksim kerendahan hati (modesty maxim); maksim kesepakatan (agreement maxim); maksim simpati (sympathy maxim). Terjadinya kasus penghinaan dan pencemaran nama baik karena penutur mengabaikan prinsip kesopanan. Pranowo mengungkapkan (2009: 68-73) beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran prinsip kesopanan antara lain: Penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase yang kasar; Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur; Penutur protektif terhadap pendapatnya; Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur; dan Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Untuk menganalisis bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam kasus penghinaan dan pencemaraan nama baik, metode yang penelitian ini dengan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan tentang sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 1994: 6). Objek penelitian ini adalah pelanggaran prinsip kesopanan dalam kasus delik penghinaan dan pencemaraan nama baik pada rentang waktu 2010-2015. Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen. Sumber data dokumen yaitu teks-teks postingan di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, dan BBM. Sedangkan teknik analisa data menggunakan analisis wacana pragmatik. Interpretasi data dan simpulan akhir penelitian ini mengungkapkan berbagai pelanggaran prinsip kesopanan pada kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik. III. Pembahasan Berikut ini bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam kasus-kasus delik penghinaan dan pencemaraan nama baik yang berdampak hukum. 3.1. Pelanggaran Maksim Pujian (Approbation Maxim) Pelanggaran maksim pujian dilakukan dengan memberikan kecaman keras sehingga cenderung merendahkan dan menjelek-jelekkan pihak lain. Kecaman keras tersebut diungkapkan dengan berbagai cara. 3.1.1 Penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa yang kasar. Kritikan secara langsung (menohok) dengan kata atau frasa yang kasar mengakibatkan ketidaksopanan, terlebih di media sosial dapat menghina dan mencemarkan nama baik seseorang, seperti pada beberapa kasus berikut ini. ( 1)“Lonte tua yang tak laku, bajingan, si jilbab.” (Kasus Saut Situmorang. Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Saut Situmorang terhadap Fatin H., editor buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia). ( 2)“Nyepi sepi sehari kaya tai.” (Kasus Penghinaan Umat Hindu Bali. Kasus bermula dari status Facebook Ibnu Rachal Farhansyah memicu kemarahan masyarakat Bali saat mayoritas masyarakat Bali menggelar ritual Nyepi). Saut Sitomurang, pada data (1), mengkritik Fatin, terkait dengan terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia, dengan kata-kata kasar, seperti lonte (pelacur) yang tidak laku, umpatan bajingan, dan merendahkan si Jilbab (cenderung makna negatif). Sedangkan Farhansyah, pada data (2), menohok umat Hindu Bali dengan menyamakan suasana hari raya Nyepi dengan tai. Kedua kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran maksim pujian karena menyampaikan kritik dengan kata kasar cenderung merendahkan lawan tutur. 3.1.2 Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur Rasa emosi ketika bertutur terlebih di media sosial sangat rentan menimbulkan kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik. Luapan emosi berlebihan dan cenderung tidak terkontrol hampir mewarnai seluruh kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, seperti berikut ini: ( 3)“Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berbudaya. Teman-teman Jakarta dan Bandung jangan mau tinggal di Jogja. Orang Jogja Bangsat, diskriminasi, emangnya aku gak bisa bayar apa, aku kesel' (Kasus Penghinaan Yogyakarta: Pernyataan Florence Sihombing, mahasiswi pascasarjana UGM, menghina warga Yogyakarta di media sosial Path). ( 4) "Hai...Lu ngga usah ikut campur. Gendut, kaye tante2, ngga bs gaya. Emang lu siapa. Urus aja diri lu kaya... So cantik, ga bs gaya. Belagu. Nyokap lu ngga sanggup beliin baju buat gaya ya, makanya lu punya gaya gendut, besar lu, kaya lu yg bagus aja. Emang lu siapanya UJ. Hai gendut." (Kasus Facebook Ujang Romansyah: Kasus Ujang Romansyah dilaporkan temannya, Fely, karena telah mencemarkan nama baik melalui Facebook). Florence, pada data (3), mengungkapkan emosinya dengan menyampaikan tuturan Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya, orang Jogja bangsat, diskriminasi. Sedangkan tuturan Ujang, pada data (4), secara keseluruhan, merupakan bentuk luapan emosi. Luapan emosional tersebut cenderung menghina dan mencemarkan nama baik Fely dengan tuturan gendut, kaya tante2, so cantik, ga bs gaya, dan belagu. Tuturan dalam kedua kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran maksim pujian karena penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. 3.1.3 Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur Tuturan yang memojokkan mitra tutur, secara sengaja, menjadikan tuturan tidak sopan. Ketidaksopanan terlihat melalui penggunaan kata yang memojokkan mitra tutur. Padahal tuduhan yang disampaikan tidak berdasar dan cenderung menghina dan mencemarkan nama naik, seperti kasus-kasus berikut: ( 5)"Sbg bupati yg selalu di kenang (Syafruddin Nur),tdk seperti bupati sekarang (Syamsuddin A Hamid) bupati terbodoh di indonesia," (Kasus Penghinaan Bupati Terbodoh di Indonesia: Kasus penghinaan Bupati Pangkep, Syamsuddin Hamid Batara oleh Budiman, guru SMP N Ma'rang, Sulsel). ( 6)'Advokat koruptor adalah koruptor.' (Kasus Penghinaan Advokat: kicauan Denny Indrayana di Twitter. OC Kaligis melaporkan Denny karena telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan). Budiman, pada data (5), memojokkan Bupati Pangkep sebagai bupati terbodoh di Indonesia. Sedangkan Denny Indrayana, pada data (6), memojokkan pengacara yang membela terdakwa korupsi, salah satunya OC Kaligis, dengan tuturan advokat koruptor adalah koruptor. Sindiran Denny Indrayana tersebut telah menghina dan mencemarkan nama baik OC Kaligis sebagai salah satu pengacara kasus korupsi. Tuturan pada kedua kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran maksim pujian. Penutur secara sengaja mengecam keras mitra tutur. Mitra tutur terpojok sekaligus merasa direndahkan dan dijelek-jelekkan. 3.1.4 Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur Kecurigaan kepada mitra tutur dan pihak lain dengan melontarkan beragam tuduhan tidak berdasar menjadikan tuturan tidak sopan. Tuduhan penutur menimbulkan beragam kecurigaan di kalangan masyarakat, seperti pada kasus-kasus berikut ini. ( 7)”Misbakhun: perampok bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai Pajak di era paling korup. Kok bikin lawakan ga bisa lebih lucu lagi... Misbakhun kan termasuk yang ikut ‘ngerampok’ Bank Century... Aya-aya wae... (Kasus Penghinaan Misbakhun: Kicauan Benny Handoko mencemarkan nama Misbakhun). Benny Handoko, pada data (7), mencurigai Misbakhun dengan berbagai tuduhan perampok bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, dan penyokong PKS. Tuduhan yang disampaikan Benny Handoko tersebut melanggar maksim pujian karena menyampaikan tuduhan hanya atas dasar kecurigaan tanpa bukti pendukung. Hal itu dapat menghina dan mencemarkan nama baik Misbakhun. 3.2 Pelanggaran Maksim Kesepakatan (Aggrement Maxim) Pelanggaran prinsip kesopanan terjadi karena pertentangan pemahaman atau pendapat antarpeserta tuturan yang disampaikan dengan nada penghinaan.( 8)"Ironis bener Musholla dibuat diskotik, subhanallah mereka orang2 kafir yang gak tau agama, mana penjaganya anjing. Ya Rob pada gila semua. Lha wong RT sama warga sini mendukung. Kalau aku lapor aku yang didemo sama warga. Pokoke semuanya gila yang gak bener malah didukung.” (Kasus Penghinaan Warga Tegalrejo, Jember: Pernyataan dalam status Facebook FK dituduh menghina warga Tegalrejo, Jember, Jawa Timur). Tersangka FK, pada data (8), melanggar maksim kesepakatan dengan menentang kegiatan warga yang sedang gotong royong membangun mushola, namun sambil memutar musik. Ketidaksepakatan FK menjadi masalah karena disampaikan dengan nada penghinaan, seperti tuturan ironis bener musholla dibuat diskotik, mereka orang2 kafir yang gak tau agama, mana penjaganya anjing, gila semua, dan pokoke semuanya gila. Pelanggaran maksim kesepakatan tersebut menjadi kasus hukum karena menggunakan tuturan yang justru menghina dan mencemarkan nama baik warga Tegalrejo sebagai mitra tutur. IV. Simpulan dan Saran Berdasarkan paparan dan analisis menunjukkan bahwa kasus-kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik terbukti melanggar prinsip-prinsip kesopanan. Bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kesopanan tersebut berupa: Pertama, pelanggaran maksim pujian (approbation maxim) (penutur menyampaikan kritik secara langsung dengan kata atau frasa yang kasar, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, dan penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur tanpa fakta pendukung); Kedua, pelanggaran maksim kesepakatan (aggrement maxim), yakni pertentangan pemahaman atau pendapat antarpeserta tuturan yang disampaikan dengan nada penghinaan. Banyaknya kasus delik penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, hendaknya membuat masyarakat berpikir sebelum mengunggah sesuatu di media sosial. Niat baik dengan mengkritik pihak lain dapat menjadi bumerang apabila menggunakan tuturan yang mengabaikan prinsip kesopanan. Daftar Pustaka Hariandi Law Office. 2015. Aturan Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial. www.gresnews.com. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2015. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit UI. Maemunah, Emma. 2014. Mengenal Linguistik Forensik. www.balaibahasajateng.web.id. Diakses pada tanggal 6 Oktober 2015. Masfufah, Nurul. 2013. ‘Ketidaksantunan Berbahasa di SMA N 1 Surakarta’. Yudianti Herawati (Ed). Benua Etam: Bunga Rampai Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan. 99-122. Yogyakarta: Azzagrafika. Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja R. Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Pusat Bahasa. KBBI Daring. Departemen Pendidikan Nasional. badanbahasa.kemdikbud.go.id. Diakses 27 Juni 2015 Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Rismayanti. 2014. Analisis pragmatik atas laporan Pencemaran nama baik (telaah linguistik forensik laporan polisi ahmad dhani terhadap farhat abbas). Universitas Pendidikan Indonesia. repository.upi.edu. Diakses 5 Oktober 2015. Wijana, I Dewa Putu dan Mohammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Zifana, Mahardika. 2015. Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Hakim: Analisis Linguistik Forensik terhadap Pemahaman Wacana Hakim dalam Memutus Perkara Pencemaran Nama Baik. Kolita 13: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketiga Belas: Tingkat Internasional. Jakarta, 8-9 April 2015. Halaman 555-559. * Penulis Ali Kusno Makalah telah dipresentasikan dalam Seminar Prasasti, 13--14 November 2015 di Universitas Sebelas Maret Surakarta. |
ARSIP MAKALAH
November 2018
KATEGORI
All
|