Milea, kamu cantik Tapi aku belum mencintaimu Gak tahu kalau sore. Tunggu aja Itu rayuan? Iya. Salah satu rayuan Dilan kepada Milea dalam film yang sedang naik daun, Dilan 1990. Film itu diadaptasi dari novel berjudul sama karya Pidi Baiq. Sebagian besar pembaca Tribun Kaltim pasti tahu. Rasanya menarik membicarakan Pilkada Kaltim 2018 disandingkan dengan film Dilan 1990. Keduanya mengisahkan tentang perjuangan meraih cinta. Kalau dalam film Dilan 1990 mengisahkan perjuangan Dilan merebut hati Milea. Sedangkan dalam Pilkada Kalimantan Timur 2018 mengisahkan pertarungan para bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur merebut hati masyarakat Kaltim. Semoga anda tertarik untuk terus membaca (tulisan ini). Genderang tahapan Pilkada Kaltim sudah ditabuh. Gemuruh dan hangatnya sudah mulai terasa. Masyarakat pun menerka penerus estafet kepemimpinan Bumi Etam. Sejak akhir tahun 2017 sudah banyak wajah yang mencoba memperkenalkan diri. Dari sekian banyak wajah itu kini menyusut. Menyisakan empat bakal pasangan cagub cawagub yang telah resmi mendaftar ke KPU Kaltim untuk mengikuti Pilkada 2018. Selebihnya harus gigit jari karena tidak mendapat kendaraan politik. Jangan bersedih. Anda belum beruntung. Silakan coba lima tahun lagi. Ada Syaharie Jaang-Awang Ferdian. Pasangan yang diusung Demokrat, PPP, dan PKB. Ada Rusmadi Wongso dan Irjen Safaruddin. Pasangan yang diusung PDIP dan Hanura. Ada pasangan Andi Sofyan Hasdam dan Nusyirwan Ismail. Pasangan yang diusung Partai Golkar berkoalisi dengan Nasdem. Terakhir, ada pasangan Isran Noor-Hadi Mulyadi yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN. Kini, keempat pasangan bakal cagub cawagub itu mulai tebar pesona. Layaknya Dilan melancarkan pendekatan untuk merebut hati Milea. Baliho-baliho dengan aneka ukuran dan rupa mulai menghias kanan kiri jalan, baik di perkotaan maupun di pelosok desa. Senyuman para bakal cagub cawagub merekah dengan slogan nan memikat. Namun, ada juga slogan yang abstrak. Entah apa maksudnya. Apabila para bakal calon ingin memetik hati pemilih, sebenarnya sederhana. Belajarlah dari kisah cinta Dilan. Mau tahu? Caranya tidak lain dengan membuat masyarakat merasa nyaman dan jatuh cinta. Iya, seperti yang dilakukan Dilan pada Milea. Dapatkanlah hati masyarakat dengan bahasa cinta. Ada beragam karakter pemilih yang patut menjadi bahan pertimbangan pendekatan. Setidaknya ada lima bahasa cinta, seperti yang disampaikan mitovator cinta, Ronald Frank. Pertama, bahasa cinta dengan materi. Ada sebagian besar kelompok masyarakat yang mudah terpikat untuk memilih apabila mendapatkan bantuan. Mereka dengan mudah memutuskan bahwa calon yang memberi pantas untuk dicintai. Seperti kado nan unik Dilan pada ulang tahun Milea berupa teka teki silang yang sudah diisi. Selamat ulang tahun Milea. Ini hadiah untukmu Cuma TTS. Tapi sudah kuisi semua. Aku sayang kamu. Aku tidak mau kamu pusing karena harus mengisinya. Bahasa cinta mereka adalah materi. Beruntung bagi calon yang saat ini masih menjabat. Sampaikan bahasa cinta itu dalam bentuk pembangunan. Biar masyarakat bisa terpana dan jatuh cinta. Kedua, bahasa cinta dengan sentuhan. Ada masyarakat yang tidak mempan dengan bahasa cinta materi. Biarpun gang depan rumahnya dibangun mulus semulus pipi Milea. Tetap saja hatinya tidak mau terbuka. Bisa jadi bahasa cinta mereka berupa sentuhan. Sama seperti bahasa cinta Milea ke Dilan setelah berkelahi dengan Anhar. Milea menyeka luka di pipi Dilan. Begitu pula saat Dilan memegang tangan Milea yang membuat hati Milea berdebar. Hem. Rajin-rajinlah turun ke masyarakat. Jabat tangan mereka. Tepuk pundak mereka. Salaman dan tepukan itulah yang menguatkan mereka bahwa anda memang pemimpin yang layak dicinta. Ketiga, bahasa cinta dengan layanan. Bila bahasa cinta berupa materi dan sentuhan tidak mempan, para bakal cagub cawagub bisa menggunakan bahasa layanan. Seperti bahasa layanan kala Milea sakit, Dilan malah mengirim tukang pijat alih-alih langsung datang menjenguknya. Itu sangat mengena. Ada masyarakat yang akan tersentuh apabila mendapatkan pelayanan. Lagi-lagi yang diuntungkan yang sedang menjabat. Silakan berikan layanan yang optimal. Bagi yang tidak menjabat, minimal jual janji akan meningkatkan layanan kepada masyarakat. Bila layanan ataupun janji akan layanan dapat dipercaya, masyarakat pun akan jatuh cinta. Keempat, bila bahasa cinta materi, sentuhan, dan layanan belum juga mempan bagi sebagian masyarakat, bisa jadi bahasa cinta mereka adalah kata-kata. Berikan kata-kata yang memikat. Seperti begitu banyak kata-kata memikat Dilan sepanjang film yang membuat para cewek klepek-klepek. Jangan hanya menebar slogan-slogan abstrak nan monoton. Bisa jadi para bakal cagub cawagub terinspirasi Dilan, Jadi pemimpin Kaltim itu berat. Kalian tidak akan kuat. Biar kami saja. Selain melalui pesan baliho, lebih baik datangi masyarakat. Berbicaralah langsung dengan mereka. Ketahuilah apa yang dimau. Selain itu, jadilah pendengar yang baik. Selama ini penyakit kita sulit menjadi pendengar yang baik. Jangan lupa, santun. Sebagian masyarakat akan terpikat dengan sosok pemimpin yang santun. Kelima, bila sudah diberi materi, sudah diberi layanan, kata-kata, dan sentuhan masih ada yang belum mempan, mungkin bahasa cintanya adalah waktu yang berkualitas (quality time). Tunjukkan bahwa anda selalu ada untuk masyarakat, saat ada warga hajatan atau saat warga sedang ditimpa musibah. Hadirlah selalu di tengah-tengah mereka. Sama seperti Dilan yang memenuhi permintaan Milea jalan-jalan dengan motornya. Bila bahasa cinta masyarakat adalah waktu yang berkualitas, mereka pasti jatuh cinta. Itulah lima bahasa cinta yang juga digunakan Dilan menjerat hati Milea. Para bakal cagub cawagub layak mempelajari dan menerapkannya. Masyarakat pasti baper, klepek-klepek, juga terpesona. Akhirnya menitip cinta kepada anda. Masyarakat Lama Merindu Selama ini masyarakat Kaltim sudah lelah merindu. Seperti kata Dilan, rindu itu berat. Anda tidak akan kuat. Biar masyarakat saja yang merasakan. Sekarang waktunya bakal cagub cawagub meyakinkan masyarakat bahwa merekalah pasangan yang pantas dicinta. Silakan saling berlomba memikat hati masyarakat. Setelah para cagub cawagub sepenuh hati menunjukkan rasa cinta, masyarakat Kaltimlah yang menentukan. Pada saat Pilkada akan terjawab pasangan yang pantas dicinta. Anda berdoa saja. Jika nanti salah satu pasangan sudah terpilih, jangan bilang kalau anda menyakiti hati masyarakat Kaltim saat menjabat. Cinta adalah kepercayaan. Bila anda khianati, anda bukan pecinta, melainkan pendusta. Nanti, besoknya, anda akan menyesal. Para bakal cagub cawagub, anda memang memikat. Tapi, sebagian kami belum jatuh cinta. Tidak tahu kalau saat detik Pilkada nanti. Tunggu saja. *Artikel dimuat di koran Tribunkaltim Ada yang berbeda dengan jalan-jalan di Bumi Etam. Utamanya jalan-jalan di ibu kota kabupaten/kota, seperti Samarinda dan Balikpapan. Biasanya pengguna jalan disuguhi baliho dengan aneka iklan produk dan jasa. Sejak awal tahun 2017 suasana mulai berganti. Baliho-baliho besar mulai diisi iklan diri jelang Pilkada 2018. Iya, iklan diri bakal calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Timur. Wajah-wajahnya pun beraneka rupa. Wajah bupati dan walikota yang masih aktif menjabat dan mencoba peruntungan untuk naik kasta. Wajah yang hanya kita kenal fotonya, tetapi belum tahu karyanya. Wajah yang dulu pernah berkarya, pensiun, dan mencoba berkarya lagi. Ada pula wajah baru yang memperkenalkan diri dengan tampak malu-malu. Mereka memiliki gayanya masing-masing. Mulai dari pose foto, pilihan baju, dan juga gaya bahasa nan memesona. Seolah tidak ingin kalah dengan iklan ponsel dan sabun. Mereka pun menggunakan pendekatan beraneka rupa. Selain metode konvensional menebar baliho di jalan-jalan, para calon gubernur juga mulai menjaring simpati melalui media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Para bakal calon gubernur dan wakil gubernur menyadari saat ini media sosial memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat. Informasi akan lebih cepat tersampaikan tanpa sekat dengan masyarakat. Sayang, informasi yang disampaikan masih sebatas ‘bedak dan lipstik’. Wajah-wajah lama masih bicara yang itu-itu saja. Mereka belum menyampaikan prestasi dan bukti nyata atas kepemimpinannya. Atau bingung apa yang dapat dibanggakan? Wajah-wajah baru seolah sebatas menjual slogan sambil memikirkan apa yang hendak ditawarkan. Para bakal calon masih sibuk dengan kemasan pencitraan diri belum kualitas diri. Semua menawarkan janji bin mimpi. Yah lupa, mereka kan politisi. Ada sebuah lelucon lama yang unik nan menggelitik. Jason Jones dan Shan Wareing menyampaikan, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?” Jawab, “Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.” Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan akan selalu berbohong. Maaf, itu bukan pendapat saya. Saya hanya mengutip saja. Politisi memang lihai dalam bergaya bahasa, utamanya eufimisme. Bahasa eufimisme berperan membungkus sampah dapat terlihat mewah. Meminjam kepentingan rakyat padahal untuk kepentingan pribadi dan konglomerat. Bahasa calon gubernur dan wakil gubernur masih banyak yang abstrak. Lukisan kali ye? Memang, bahasa politik lebih banyak berisi pendapat dan ungkapan tidak jelas bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Bahasa politik dirancang untuk membuat dusta terdengar nyata dan benar adanya. Membuat omong kosong terdengar meyakinkan. Terlebih jelang Pilkada, para bakal calon mulai memainkan drama. Memajang visi misi dengan rapi. Melambai tangan agar masyarakat mendekat. Bujuk rayu pun dilancarkan. Bagi yang tidak bisa ‘membaca’, yang dikatakan benar atau sebatas tipu muslihat, pasti terperdaya. Perlu wawasan agar dapat membedakan. Para bakal calon gubernur dan wakil gubernur sebaiknya berbenah diri dalam memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Utamanya berbenah dalam penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Orwell mengajukan beberapa aturan penggunaan bahasa yang harus diterapkan para politisi. Aturan itu bertujuan mewujudkan komunikasi yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Pertama, janganlah menggunakan metafor atau perumpamaan. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas membuat pendengar kesulitan memahami konsep yang diajukan. Masyarakat sudah terbiasa hidup sederhana. Masyarakat memerlukan kesederhanaan pula dalam konsep bahasa politisi agar mudah mencernanya. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek mampu mengemukakan maksud yang sama. Kata yang panjang memang kedengarannya lebih formal dan serius daripada kata-kata pendek. Acap kali politisi menggunakan kalimat panjang untuk membuat orang terkesan, orang segan, atau malah agar orang kebingungan. Gagasan berbobot tidak akan hilang taji dengan pernyataan yang sederhana. Ketiga, kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang saja. Menambah kata-kata yang tidak perlu merupakan teknik membuat pernyataan lebih mengesankan dari sebenarnya. Efeknya pernyataan jadi sulit dimengerti. Kalau politisi berharap agar rakyat benar-benar memahami yang dikatakan, buanglah kata-kata yang tidak diperlukan. Keempat, jangan menggunakan kata pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif. Ini terkait dengan masalah tata bahasa. Kalimat aktif mampu memberikan informasi lebih jelas dan langsung. Sedangkan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, rumit, informasinya pun lebih sedikit. Kelima, jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah, atau jargon apabila ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama. Istilah yang terkesan hebat sebatas berfungsi afektif, bukan informatif. Pendengar sebatas terkesan dengan betapa hebatnya si pembicara. Saat ditanya apa isi yang didengarkan, hanya geleng-geleng kepala alias tidak tahu maksudnya. Keenam, semua aturan tersebut lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang tidak benar. Maksudnya, yang penting katakan yang sebenarnya. Dalam hal ini, isi lebih utama daripada mewahnya kemasan. Memang yang penting dari sebuah bahasa politik adalah isi yang disampaikan. Percuma mematuhi aturan satu sampai lima apabila mengabaikan aturan keenam. Percuma menebar janji, beretorika dengan gaya bahasa nan meyakinkan apabila tidak pernah mau dan mampu merealisasikan. Selain keenam aturan tersebut, aturan lain yang perlu diperhatikan para bakal calon gubernur dan wakil gubernur, yakni janganlah sekali-kali menggoreng isu SARA. Pilkada Kalimantan Timur dapat belajar dari panasnya Pilkada-Pilkada sebelumnya yang disebabkan gorengan isu SARA. Masyarakat Kalimantan Timur sangatlah heterogen. Jangan ada yang coba-coba menyentil dengan sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan, dan golongan. Terlalu sayang mempertaruhkan persatuan hanya untuk kepentingan kekuasaan (sesaat). Pilkada 2018 menjadi pesta demokasi masyarakat Kalimantan Timur. Saatnya masyarakat mencermati bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang ada sedari sekarang. Silakan bakal calon gubernur maupun wakil gubernur saling berlomba. Silakan memilah dan memilih bahasa yang tepat agar masyarakat terpikat. Silakan menunjukkan kualitas diri bukan sekadar obral janji. Sekian. “Tidak ada seorang pun di rumah ini yang mempedulikanku. Dulu ketika aku masih bekerja semua mendekat. Sekarang setelah aku tidak punya apa-apa, tidak seorang pun merasa kenal denganku!” teriak seseorang dari sebuah kamar. Coba baca tuturan itu berkali-kali. Ehm, lima puluh kali lah. he. he. Jangan. Terlalu banyak. Tiga kali cukup. Menurut kalian, kira-kira berapa usia si penutur? Tepat sekali! Di atas enam puluh lima tahun. Sudah kategori manula. Nah, sekarang, kalian identifikasi orang-orang di sekeliling rumah, sekecamatan, sekabupaten, seprovinsi, dan tokoh-tokoh di negeri ini. Adakah yang setipe dengan penutur dalam contoh tersebut. Kalau sudah teridentifikasi orang-orangnya, sekarang mari kita kaji secara ilmiah. Berdasarkan tinjauan kebahasaan. Baiklah kita mulai. Ada teman yang curhat. Perihal perubahan kelakukan kakeknya. Sebut saja namanya Kaik (Bahasa Banjar Kalimantan Selatan: Kakek). Kini Si Kaik kelakukannya berubah. Seperti anak kecil. Inginnya dimanja. Inginnya diperhatikan. Suka curhat. Kalau tidak diperhatikan, ngambek. Pernah Kaik ngambek tidak mau makan beberapa hari. Akibatnya dehidrahi dan kurang gizi. Efeknya bisa ditebak. Badan lemas. Si Kaik pun harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah diperiksa dokter, tidak ada sakit apa-apa. Keluarga pun heran. Kenapa gerangan? Kok bisa begitu? Menurut penjelasan dokter, “Kaik itu cuma ingin diperhatikan. Ndak mau dicuekin.” O... Begitu. Cerita seperti itu tidak hanya dari satu dua teman. Perihal sindrom manula, ada yang mengistilahkan generasi‘baby boomer’. Rata-rata pertanda tentang kaum manula memiliki pola yang sama. Tidak hanya kesamaan dalam tingkah laku, tetapi juga dalam penggunaan bahasa. Ini sangat menarik. Fakta yang tidak terbantahkan adalah adanya hubungan kompleks antara fisik, mental, dan sosial dalam cara orang menggunakan bahasa dan cara orang lain memandang dan mereaksi bahasa itu. Kondisi fisik dan mental seseorang ikut memengaruhi perbedaan penggunaan bahasanya. Penggunaan bahasa kaum manula memiliki kesamaan pola. Dalam artikel Bahasa dan Usia yang ditulis Jean Stilwell Peccei (2007), diungkapkan bahwa salah satu faktor yang berperan penting terhadap cara berbicara dalam situasi tertentu adalah usia dari lawan bicara. Usia penutur sangat memengaruhi gaya bicara atau tuturan. Apakah usia kanak-kakak, remaja, dewasa, ataukah manula gaya bicara atau tuturannya pun dapat terlihat perbedaannya. Khususnya masa manula, ada istilah second childhood. Masa kanak-kanak kedua dan kembali seperti anak kecil lagi. Hal itu menunjukkan ada penyamaan secara eksplisit dalam budaya antara kelompok balita dengan manula. Balita dan manula sering dipandang sebagai orang yang sedang dalam tahap kehidupan yang problematis dan tidak berdaya. Apabila dicermati dari penggunaan bahasa, ada kemiripan bahasa anak-anak dan manula. Kemiripan jelas terlihat dalam gaya bicara. Penggunaan kalimat yang lebih sederhana, sering mengajukan pertanyaan, sering mengulang-ulang kalimat, panggilan sayang, dan sebagainya. Ada ungkapan panggilan sayang yang digunakan untuk anak kecil juga digunakan untuk manula, misalnya little (kecil), dear (sayang), sweet (sayang), fussy (cerewet), stubborn (keras kepala), atau folish (lugu/bodoh/menggelikan). Selain gaya bicara, ada kemiripan lain dalam praktik interaksi berbahasa. Kemiripan itu tampak dari seringnya anak-anak dan manula menginterupsi dalam sebuah interaksi (percakapan). Hanya saja, kontribusi dari anak dan manula itu acapkali dianggap tidak relevan dengan percakapan bin tidak nyambung. Hal itu pun mengundang respon penutur lain, “ha? iyelah...” sebagai bentuk pemakluman. Apakah semua manula tipikalnya sama? Tentu tidak. Ada beberapa kategori kata untuk menyebut orang yang sudah tua, yakni wise (bijak), dignified (berwibawa), cantankerous (bawel), frail (rapuh). Sama halnya kekhasan untuk anak kecil, seperti bouncing (suka melompat-lompat), cute (lucu), dan bratty (nakal). Dengan demikian, kita pun bisa mengidentifikasi kaum manula di sekitar rumah, di kecamatan, di kabupaten, di provinsi, dan di negeri ini. Termasuk kategori yang manakah mereka? Bijak, berwibawa, bawel, rapuh, ataukah yang lebai? Memang fase kehidupan manula orang-orang di sekitar kita harus disikapi dengan bijak dan penuh pengertian. Tentu kita akan senang apabila menemukan para manula yang bijak dan berwibawa. Mampu ngemong yang muda berbekal kenyang makan asam garam. Mampu memberikan petuah-petuah bijak. Mampu menghadirkan kedamaian dan kesejukan bagi yang bertikai. Mengayomi semua ‘anak cucu’. Nah, yang ngegemesin wal njengkelin kalau menemukan manula yang bertingkah bawel, rapuh, atau yang lebai. Sedikit-sedikit mengeluh. Sedikit-sedikit membuat gaduh. Terlebih lagi manula yang juga tokoh nasional. Aduh.... Repotnya tidak bisa dibayangkan. Tidak hanya merepotkan sekeluarga atau sekelurahan, tetapi se-Indonesia raya. Ngeselin kan? Kalau ada manula apalagi tokoh nasional setipe itu tadi, ada baiknya dibacakan pesan Margaret Gullette dalam bukunya Declining to Decline” Cultural Comb and the Politics of Midlife (1977). Margaret mengimbau agar “kita yang sudah berusia empat puluh atau lebih, yang sudah tua dan lebih bijak daripada waktu masih muda, harus menulis otobiografi-otobiografi yang bernada positif bagi kalangan usia kita sendiri.” Dengan kata lain, bagilah pengalaman-pengalamanmu, bukan keluh kesahmu. Kau akan lebih bermanfaat pada fase manulamu. Jika mampu berlaku demikian, kelak ‘anak cucu’ akan lebih menyayangi dan menjagamu. Bukan begitu, Kaik? “Kita? Kamu saja kali. Lah, saya sih, enggak.” Begitulah selorohan seseorang saat menampik lawan bicara yang mengatasnamakan ‘kita’ sedangkan dirinya tidak merasa atau tidak mau dilibatkan. Kata ‘kita’ dan ‘kami’ sebagai bentuk kata ganti sering hadir dalam komunikasi sehari-hari. Kedua kata itu sederhana, namun ada saja yang salah dalam menggunakan. Lebih sering tertukar penggunaannya. atau bisa jadi sengaja dipertukarkan. Kesalahan terjadi karena tidak paham. Bisa juga kesalahan terjadi karena kesengajaan alias penyimpangan. Kesalahan itu tentu menimbulkan perbedaan penafsiran. Anda sering menonton acara televisi? Pasti. Ada persoalan penggunaan ‘kita’ yang menggelitik dalam salah satu iklan produk kosmetik. Dalam iklan itu terdapat dialog antara anak gadis, sebut saja Si Cantik, dengan kedua orangtuanya. Si Cantik hendak dijodohkan. Pada bagian akhir iklan, Si Cantik berkata kepada kedua orangtuanya, “Oke Aku akan menikah, tapi setelah aku lulus S2. Seperti dia, aku juga harus terpelajar. Punya karier bagus. (Sambil melihat Ayahnya) Baru..., kita berdua akan menjadi jodoh yang pas. Jadi sama, kan?” Kata ‘kita,’ yang diucapkan Si Cantik, maksud sebenarnya merujuk pada ‘dia dan calon suaminya.’ Apabila melihat konteks iklan tersebut, dapat dimaknai yang akan menikah justru Si Cantik dan Ayahnya. Pemirsa pun gagal paham. Seharusnya kata yang digunakan ‘kami’. Jadi kalimatnya menjadi, “Baru..., kami berdua akan menjadi jodoh yang pas. Jadi sama, kan?” Kesalahan penggunaan kata ‘kita’ banyak kita temukan dalam penggunaan bahasa para politisi. Seperti komentar ketua tim sukses salah satu kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Dia menyampaikan ke media,"Apa yang terjadi dalam situasi politik hari ini, ya kita tetap dukung. Kita bukan barisan di dalam parpol, tapi kita relawannya.” Penggunaan kata ‘kita’ dalam pernyataan tersebut dapat ditafsirkan beragam oleh pemirsa maupun pembaca. Penggunaan kata ‘kita’ tersebut dapat diartikan bahwa wartawan, pemirsa, pembaca ikut dilibatkan. Semua dipersepsikan mendukung calon tersebut. Kenyataannya kan tidak. Atau justru hanya sebagian kecil yang mendukung. Bagi pendukung calon tersebut pernyataan itu tentu tidak menjadi masalah. Sedangkan bagi yang tidak mendukung, mungkin akan berkata, “Kita? Kalian saja kali?” Oleh karena itu, kata yang digunakan seharusnya kata ‘kami.’ Artis-artis dalam berbagai acara televisi juga sering salah menempatkan penggunaan ‘kita’ dan ‘kami.’ Kesalahan serupa pun pernah kita lakukan dalam komunikasi sehari-hari. Perbedaan penggunaan kata ‘kita’ dan ‘kami’ perlu diluruskan. Berdasarkan KBBI Daring, kata ‘kami’ diartikan sebagai (kata benda) yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca. Dengan digunakannya kata ‘kami,’ lawan bicara ataupun pembaca, tidak termasuk atau tidak dilibatkan. Kata ‘kita’ memiliki makna sebaliknya. Berdasarkan KBBI Daring, kata ‘kita’ diartikan sebagai persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara. Dengan digunakannya kata ‘kita’, lawan bicara ataupun pembaca termasuk atau dilibatkan. Dengan demikian, kata ‘kita’ dan ‘kami’ sama-sama pronomina persona pertama jamak. Keduanya bentuk jamak dari kata saya, aku dan sejenisnya. Perbedaannya, apabila ‘saya’ melibatkan pendengar maupun pembaca, dapat menggunakan ‘kita,’ sedangkan kata ‘saya’ tidak melibatkan lawan bicara maupun pembaca, dapat menggunakan ‘kami.’ Penggunaan Pronomina Secara Retoris Perihal penggunaan pronomina disinggung Jason Jones dan Shan Wareing, dalam artikelnya Bahasa dan Politik. Menurut mereka, cara seorang pembicara politik menyebut diri sendiri bisa digunakan untuk mengedepankan atau menyembunyikan agen dan pertanggungjawaban atas tindakan tertentu. Politisi memiliki kecenderungan akan lantang menggunakan ‘saya’ untuk menyebut capaian yang positif. Sedangkan untuk masalah yang kontroversial, dia akan menggunakan ‘kami’ untuk membiaskan pelaku. Sepertinya, pendapat tersebut memang benar adanya. Sepakat? Kata ‘kita’ bukan sembarangan kata. Kata ‘kita’ bisa menjadi bahasa solidaritas, bahasa kebersamaan. Seperti dalam penggalan pidato Presiden Soekarno pengantar sebelum membaca naskah Proklamasi. ... Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.... Contoh lain, masih ingat jargon politik dalam Pilpres 2014? Tidak perlu disebutkan anda sudah tahu. Kata ‘kita’ menjadi jargon pendukung, relawan, dan juru kampanye salah satu capres. Pilihan kata ‘kita’ menggugah empati publik. Publik turut merasa memiliki, turut menjadi bagian diri capres, dan turut terwakili. Kata ‘kita’ itu merepresentasikan wajah rakyat Indonesia. Begitulah kira-kira pesan di balik penggunaan jargon politik itu. Yah, begitulah. Bahasa mempunyai daya. Bahasa juga bisa memperdaya. Kita harus cerdas mencernanya. Jangan terperdaya pejabat maupun politisi yang ringan mengatasnamakan kepentingan kita (rakyat). Padahal kenyataannya setelah menduduki jabatan, mereka mulai melupakan ‘kita’. Mereka hanya mengingat ‘saya’ atau ‘kami.’ Jadi ingat pesan dalam lagu Broery Marantika dan Dewi Yull, jangan (lagi) ada dusta di antara kita. Hari ini, Selasa, 13 Desember 2016, akan digelar sidang perdana sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bagi saya, mengikuti dan mencermati kasus ini tidaklah menarik. Tapi suangat menarik. Jauh lebih menarik dari ‘sinetron’ Kopi Sianida. Yang entah berapa episode itu dan sepertinya masih akan ditambah jam tayangnya. Kali ini publik akan disuguhkan judul ‘sinetron’ baru. Sebelumnya, saya minta maaf menggunakan pilihan kata ‘sinetron’ ini. Bukan menganggap ini hanya sandiwara. Ini hanya gaya bahasa kawan, biar menarik. Itu saja. Tanpa ada niat apa-apa. Sumpah. Begitu sensitifnya ‘sinetron’ ini, sampai saya tidak berani memberi judul. Masing-masing berhak memberi judul. Sesuai bekal ilmunya. Sesuai pandangan politiknya. Sesuai ketajaman lensanya. Sesuai kejernihan pikirannya. Sesuai temperatur hatinya. Apa yang menjadikan ratingnya akan melejit? Selain isu yang begitu panas, juga akan ada ‘artis-artis’ baru yang luar biasa. Kalau dalam ‘sinetron’ Kopi Sianida, berderet ahli forensik yang dihadirkan. Ada ahli digital forensik, ada ahli kedokteran forensik, ada ahli patologi forensik, ada ahli toksikologi forensik, ada psikologi forensik, dan ntah ahli apalagi. Dalam sidang Ahok ini, kemungkinan juga akan dihadirkan deretan ahli forensik. Bisa ahli digital forensik, bisa psikologi forensik. Namun, yang pasti hadir adalah ahli-ahli linguistik forensik. Siapa pun linguis-linguis yang dihadirkan, pastilah orang-orang yang sudah terpilih. Semoga dalam bekal ilmunya. Semoga netral pandangan politiknya. Semoga terjamin resolusi ketajaman lensanya. Semoga terjaga kejernihan pikirannya. Semoga temperatur hatinya sesejuk puncak Gunung Tangkuban Perahu. Nyesss. Ah.... Kehadiran linguis-linguis dalam persidangan itu, menjadi berkah bagi pelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Selama ini pelajaran bahasa Indonesia dianggap sebelah mata oleh siswa. Cenderung diabaikan. Termasuk saya, dulu. Sebagian kita menganggap apalah belajar bahasa Indonesia, toh tanpa belajar kita bisa. Tanpa belajar kita dapat bertutur kata. Tanpa belajar kita dapat menangkap makna. Kini, kita dibukakan mata. Bahasa Indonesia itu sangatlah berguna. Masalah yang menyita energi bangsa hari ini, tidak lain persoalan bahasa Indonesia. Persoalan berkata dan menangkap makna. Ujung dari persidangan ini nantinya sangat dipengaruhi adu ketajaman analisis masing-masing linguis. Namun, buka persoalan siapa yang menang, siapa yang kalah. Kebenaran yang harus diterima semua pihak, itulah yang utama. Mari mengambil berkah dari kasus ini. Nonton bareng rekaman sidang ini ketika pelajaran bahasa Indonesia tentu dapat menjadi metode pembelajaran yang mendidik dan menarik. Semoga kita dapat mencetak generasi-generasi yang dapat bertutur apa adanya tanpa ada yang tersinggung apalagi tersakiti. Semoga kita dapat mencetak generasi-generasi yang dapat mencerna dan memahami tuturan orang lain dengan kejernihan berpikir, bukan memaknai yang dikotori rasa benci. Berbanggalah jadi guru bahasa Indonesia. Cintai bahasa Indonesia. Jayalah linguistik forensik. Sesempurna-sempurnanya gading pasti ada retaknya. Demikian juga cintamu. Bersabarlah. Anda pasti sudah bisa menebak siapa perangkai kata-kata mutiara tersebut. Tepat. Mario Teguh. Hari-hari ini publik dibuat kaget dengan masalah yang membelit Sang Motivator. Mario Teguh tengah mendapat tekanan besar perihal kehidupan pada masa lalunya. Seperti banyak diberitakan, Pak Mario tidak mau mengakui kalau Kiswinar adalah putranya. Bersama dengan itu pula bermunculan cerita miring masa lalu Mario Teguh. Mau tidak mau hal itu menjadi konsumsi publik. Beragam hujatan pun datang. Hal itu memunculkan aneka persepsi negatif tentang Mario Teguh. Tentunya itu bertentangan dengan citra diri Mario Teguh selama ini. Sosok sempurna. Kata-katanya inspiratif. Penuh motivasi. Yang gundah bin galau bisa kembali sumringah. Yang baru putus cinta bisa segera move on. Ekspektasi masyarakat terhadap Mario Teguh memang begitu tinggi. Bahwa kehidupan Mario Teguh sesempurna untaian kata yang disampaikan. Seolah ada kewajiban bagi Sang Motivator, segala tindakannya harus seindah kata-kata yang disampaikan. Ada yang menarik dalam tulisan kolom salah satu redaktur Kompas, Bambang Priyo Jatmiko. Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban (14/9). Bambang menganggap pandangan masyarakat yang seperti itu salah kaprah. Bambang menganalogikan dengan seorang penjual kopi enak yang didatangi ratusan pelanggan tiap hari. Belum tentu si pedagang kopi suka minuman tersebut. Bisa saja asam lambung si pedagang akan kumat ketika dia menyeruput kopi. Di sinilah posisi konsumen. Dia berhak mendapatkan sesuatu dari produsen untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumen berhak puas. Namun demikian, konsumen tak berhak untuk memaksa si penjual menyenangi barang-barang yang dijualnya. Bagi Bambang, masyarakat tidak berhak menuntut para motivator berperilaku seperti apa yang disampaikannya dalam ceramah, talkshow, serta yang ditulis dalam buku. Semua yang disampaikan para motivator pada dasarnya adalah komoditas yang diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar. Bukan Komoditas Analogi penjual kopi yang disampaikan tersebut rasanya kurang pas. Motivator dan materi yang disampaikan bukanlah komoditas. Motivator layaknya seorang pendakwah lintas agama. Pesan yang disampaikan pada dasarnya penuh nilai-nilai kebaikan. Penunjuk arah bagi seseorang dalam menghadapi permasalahan. Kekuatan bahasa seorang motivator tidak sebatas pada tuturan yang disampaikan. Kekuatan bahasa tutur dan tulis tersebut dipengaruhi pula diri motivator. Bahasa merupakan identitas seseorang. Bahasa motivasi yang disampaikan secara otomatis melekat pada diri. Ketika seseorang menyampaikan pesan-pesan kebaikan, kebaikan itu juga dipersepsikan melekat pada diri orang tersebut. Kekuatan pesan motivasi terkait dengan kepercayaan. Kepercayaan bahwa sang motivator juga sesempurna tuturannya. Joanna Thornborrow (2006) dalam tulisannya Bahasa dan Identitas mengungkapkan bahwa lewat cara kita menggunakan bahasa merupakan salah satu cara paling dasar untuk memengaruhi cara orang lain memandang diri kita. Dalam pepatah Jawa ajining diri gumantung ing lathi. Bahasa sangat penting bagi pembentukan identitas personal. Melalui bahasa yang dituturkan, dapat menimbulkan beragam persepsi diri. Persepsi diri yang penyabar, penyayang, ataupun pemarah dapat diterjemahkan dari bahasa kita. Begitu pula persepsi masyarakat yang melekat pada diri seorang motivator. Kata-kata mutiara dan penuh motivasi yang disampaikan membentuk citra diri. Masyarakat mempersepsikan diri motivator seperti kata-kata yang disampaikan. Jadi, tidak salah kaprah apabila masyarakat mempersepsikan seorang Mario Teguh sebagai penyayang keluarga, penyabar, dan label-label baik lainnya. Kodrat bahwa tidak ada manusia yang sempurna, itu baru benar. Kita perlu menyadari Mario Teguh dan motivator lainnya juga manusia. Motivator bukan sosok sempurna tanpa cela. Mereka juga memiliki masa lalu. Mereka juga mempunyai masalah. Mereka juga memiliki keterbatasan. Bukankah dengan banyaknya masalah yang pernah dihadapi menjadi kamus bagi motivator memberikan pencerahan. Kalaupun beragam cerita miring yang menimpa Mario Teguh benar adanya, memang butuh waktu bagi masyarakat untuk menerima. Berkurangnya kepercayaan masyarakat menjadi kosekuensi logis. Bisa saja akan ada yang bilang, “Lah, dia sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya, ngapain menasehati orang lain.” Begitulah kira-kira. Deretan nama tokoh runtuh citra dirinya karena dianggap cela oleh masyarakat. Begitulah citra diri. Citra diri dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan sosial. Dibangun tidak dalam hitungan hari. Butuh waktu dan perjuangan untuk menitinya. Sayang, citra bisa runtuh dalam hitungan detik. Peribahasa yang pas, nila setitik rusak susu sebelanga. Masalah yang membelit Mario Teguh semacam pembuktian diri. Momentum ini justru tepat untuk mengangkat citranya lebih tinggi lagi. Bahwa pencerahan Mario Teguh bukan perkataan belaka. Bahwa pesan motivasinya memang berisi. Bahwa indah mutiara tidak sebatas dalam kata-katanya, namun juga ada dalam diri. Sahabat-sahabatku yang super. Jangan pernah takut dengan masa lalu. Jadikan mereka ajang pendewasaan diri. Kian banyak masalah yang dihadapi maka diri kian matang. Hadapilah dengan senyuman. Berikan salam kepada mereka, “Selamat datang masalah.” Urai mereka satu persatu dengan kesabaran. Kelak mereka kan dapat kita selesaikan. Andai kalian menemui kebuntuan, ada Tuhan yang senantiasa mengulurkan bantuan. Itu! Maaf, itu bukan kata-kata Mario Teguh. Itu kata-kata saya. Salam lemper. Media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path dan lain-lain, makin naik daun. Hampir semua peselancar dunia maya memiliki akun media sosial. Jasa media sosial sangat besar. Kemenangan Obama dan Jokowi sebagai presiden tidak lepas dari kiprah media sosial. Masyarakat umum pun merasakan kelebihan media sosial. Bahkan ngegosip pun tidak lagi di kantin atau parkiran, cukup di media sosial. Betul ibu-ibu? Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, media sosial dapat berperan sebagai wadah kritik sosial. Media sosial hadir sebagai solusi sumbatan aspirasi. Berbagai ketidakberesan di masyarakat menjadi bahan kritikan. Kritikan di media sosial kian berisik, tajam, dan pedas. Masih hangat dalam ingatan, awal Februari lalu riuh cuitan “Cirebon Kota Tilang”. Para pengguna media sosial menggunjingkan kepolisian Cirebon. Mereka mengeluhkan banyaknya aksi tilang saat melintas di wilayah Cirebon. Alasan penangkapan pun terkesan mengada-ada. Beragam meme ‘Cirebon Kota Tilang’ bertebaran di media sosial. Rata-rata menggunakan bahasa humor, unik, dan menyentil. Hal itu tentu mencoreng nama baik Cirebon. Selain sebagai Kota Udang, Cirebon juga dikenal sebagai kota tilang. Polda Jawa Barat tidak tinggal diam. Dirlantas Polda Jawa Barat, Kombes Sugiharto, menerima kritikkan dengan lapang dada dan menganggap sebagai masukan dari masyarakat (Okezone.com, 22/2/2016). Oknum polisi yang terlibat pun langsung ditindak. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pembenahan kepolisian di Cirebon. Pengguna media sosial di Samarinda tidak mau ketinggalan. Belajar dari keberhasilan ‘Cirebon Kota Tilang’, pengguna media sosial di Samarinda kompak menyuarakan ‘Samarinda Kota Juru Parkir”. Keberadaan juru parkir liar di Samarinda dinilai sudah meresahkan. Lantaran mereka mengenakan tarif parkir seenaknya, bahkan mengarah pemerasan dan kekerasan. Pengguna media sosial meluapkan kekesalan dengan membuat beragam meme sindiran. Salah satunya, meme yang bertuliskan 'Selamat Datang di Samarinda Kota Jukir'. Gayung bersambut. Rupanya kritikan pengguna media sosial membuat Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang panas telinga. Jaang tidak terima dengan julukan baru kota yang dipimpinnya. Tindakan tegas pun diambil. Juru parkir liar ditertibkan. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pemerintah Kota Samarinda mengatasi juru parkir liar. Dua kasus tersebut membuktikan bahwa media sosial efektif menjadi sarana perubahan. Para pemangku kebijakan tidak perlu alergi. Sudah bukan zamannya lagi antikritik. Hal itulah yang diajarkan presiden kita, Bapak Jokowi. Masyarakat kita semakin cerdas dalam melihat ketidakberesan pemerintahan. Suara mereka dapat bergulir cepat di media sosial. Positifnya tentu masyarakat lebih berani bersuara. Keluhan masyarakat pun lebih didengar. Meskipun demikian, tentu kritik yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan. Para pengguna media sosial harus dapat bertanggung jawab secara substansi maupun kemasan bahasanya. Jangan sampai kritik yang disampaikan melanggar kesopanan dan mencemarkan nama baik seseorang. Terlebih lagi menabrak aturan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian. Sayangnya sebagian besar pengguna media sosial belum memahami hal itu. Kasus penghinaan dan pencemaran nama baik justru semakin marak. Sepanjang tahun 2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI mencatat ada 791 kasus pencemaran nama baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan (Zifana, 2015). Kasus yang masih hangat terjadi di Ponorogo bulan November 2015 lalu. Gara-gara membuat meme yang dinilai menghina polisi, seorang pengguna media sosial harus berurusan dengan hukum. Seorang anggota Polantas keberatan dengan meme tentang dirinya yang cenderung melecehkan. Meme tersebut menggambarkan polisi tersebut tengah memegang radio seluler (handie talkie). Permasalahannya adalah penggambaran percakapan antara sang polisi dengan istrinya seputar ‘uang hasil tilang’. Kasus serupa banyak terjadi di daerah-daerah. Kemudahaan dan kebebasan pengguna media sosial menjadi pemicunya. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa yang santun menjadi faktor pendorong. Banyak pengguna media sosial yang mencuitkan kata-kata kasar, tuduhan tidak berdasar, dan membunuh karakter seseorang. Pengguna media sosial sebaiknya menyadari etika dan norma dalam bermedia sosial. Kritikan yang disampaikan harus atas dasar rasa peduli bukan membenci. Kebencian yang diwujudkan dalam kritikkan hanya akan merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Oleh karena itu, tutur bahasa yang santun di media sosial harus dijaga. Kita harus membuktikan bahwa Indonesia pantas dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh adat ketimuran. Boleh kita mengkritik, tetapi janganlah menghina. Keberagaman kritik di media sosial merupakan perwujudan dari kontrol sosial. Tingginya akses masyarakat di media sosial berpotensi membentuk ruang demokrasi baru. Media sosial menyediakan ruang rembuk dan perdebatan. Berjalannya waktu, masyarakat akan semakin dewasa dalam menyampaikan kritikan di media sosial. Begitu pula, setiap para pemangku kebijakan. Mereka harus semakin terbuka terhadap kritikan yang datang. Semoga. Sore tadi sambil leha leha setelah selesai kegiatan kantor, membaca media sosial sambil lalu menonton berita di televisi. Saat jeda iklan, mata yang biasanya tidak peduli iklan, terpana melihat salah satu iklan produk mihun. Karena penasaran, cari-cari di Youtube. Dapat. Selain gambarnya menarik, kalimat yang dituturkan pengisi suara cukup unik menggelitik. Cewek : Hem... aromanya, senik...mat itu. Cowok : Senikmat itu? (lihat tatapan matanya ke mana saat mengatakan ‘itu’?) Cewek : Mihunku, kaya... rasa. Lembut.... ehm... senimat itu. Buruan cobain..., Bihunku, senimat itu. Iklan itu, jujur mengingatkan kenangan lama skripsi saya. Asosiasi Pornografi pada Iklan di Televisi, tahun 2004 lalu. Tidak bermaksud untuk menghakimi iklan itu berasosiasi pornografi atau tidak. Cuma ingin membuka ruang diskusi di benak pembaca tulisan ini. Kalau boleh, sedikit berteori. Ada istilah pornografi, ada istilah asosiasi pornografi. Definisi pornografi dalam KBBI adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi. Ada indikasi yang diakibatkan pornografi berupa bangkitnya nafsu berahi seseorang. Bangkitnya nafsu tersebut sebagai akibat dari melihat atau mendengar gambaran tingkah laku yang erotis melalui berbagai media baik lukisan maupun tulisan. Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008, dijelaskan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pengertian pornografi itu ditekankan pada berbagai bentuk tampilan pada media komunikasi dan pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual. Penggambaran tersebut melanggar ketika tampil di muka umum dan bertentangan dengan norma kesusilaan yang belaku di masyarakat. Beda pornografi beda pula asosiasi pornografi. Pengertian asosiasi menurut KBBI merupakan tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra. Timbulnya asosiasi seseorang terkait dengan tautan ingatan pada orang atau barang setelah melihat atau mendengar sesuatu. Seseorang yang dapat berasosiasi terhadap sesuatu berarti telah memiliki pengalaman atau mengetahui tentang orang atau barang tersebut, misalnya saja orang dapat mengasosiasikan pisang sebagai alat kelamin laki-laki karena sudah mengetahui tentang objek tersebut. Dalam kajian lingustik, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa, misalnya kata melati berasosiasi dengan kata suci, atau kesucian (Chaer, 2002). Dalam hal ini untuk mengetahui makna kata yang berasosiasi harus mengaitkannya dengan hal di luar bahasa. Menurut Chaer (2002) makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku di masyarakat bahasa yang berhubungan juga dengan nilai rasa bahasa. Khusus tentang timbulnya makna asosiasi pornografi tentunya dikaitkan dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah nilai kesusilaan dan pandangan hidup masyarakat yang akan mempengaruhi nilai rasa sebuah bahasa. Dengan demikian, dapat ditarik benang hitam (biar tidak selalu merah) bahwa asosiasi pornografi merupakan pertautan dalam diri seseorang setelah melihat atau mendengar suatu objek sehingga mengarahkan pada ingatan tentang hal-hal yang dapat membangkitkan berahi seksual seseorang dan tentunya bertentangan dengan norma kesusilaan dalam masyarakat. Kembali ke iklan tadi, penafsiran seseorang terhadap bahasa iklan tentunya berbeda-beda. Asosiasi yang dibentuk pun berbeda. Kalau melihat iklan mihun itu pun, asosiasi yang dibentuk berbeda-beda. Perbedaan dalam mengasosiasikan tuturan, Hem... aromanya, senik...mat itu; Senikmat itu? Mihunku, kaya... rasa. Lembut.... ehm... senikmat itu; Buruan cobain..., Bihunku, senimat itu. Beberapa pertanyaan akan muncul, ketika si cewek berkata, bihunku, mengacu bihun yang mana? Bisa merujuk pada bihun yang dipegangnya, bisa juga berasosiasi pada ‘bihun’ yang lain. Begitu pula rujukan tuturan ‘senikmat itu.’ ‘Itu’ yang mana? ‘Itu’ apa? Apabila dikaitkan konteksnya, didukung cara menuturkan (paralinguistik si cowok) dapat membangun asosiasi pornografi berupa ‘itu’nya si cewek. Yah, semoga pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak muncul dalam benak pemirsa. Memang sebagian biro iklan dan pengiklan sengaja mengunakan citraan seksual dan seksualitas. Untuk apa? Ya tentunya untuk dapat menyita perhatian pemirsa. Seksual dan seksualitas selalu menjadi objek yang menarik bagi setiap pemirsa. Pemirsa yang sudah dewasa tentunya. Harapannya, iklan dapat menarik. ‘Iya, semenarik itu.’ Ketika iklannya dapat menarik perhatian, produknya pun dapat laku keras. ‘Sekeras itu.’ Semua dikembalikan kepada pemirsa. Mau dimaknai apa iklan itu. Mau diasosiasikan apa iklan itu. Kalau memang justru sebagian besar benak pemirsa setelah menonton iklan itu tumbuh asosiasi pornografi, selayaknya LSF meninjau ulang iklan itu. Iya..., iklan itu. Sebuah pengalaman luar biasa yang saya dapatkan ketika mengikuti acara Seminar Tahunan Linguistik (SETALI) 2016. Acara yang sangat menarik yang diadakan Prodi Linguistik Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Seminar berlangsung dua hari (1—2 Juni 2016). Sebelumnya diadakan workshop 'Analisis Data Kebahasaan dengan Sudut Pandang Linguistik Forensik' pada tanggal 30—31 Mei 2016. Setelah ditunggu-tunggu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya menggelar sidang kasus yang menjerat Yulianus Pangonan alias Ongen, pemilik akun @ypaonganan. Seperti dikutip berbagai media, usai sidang, Kuasa hukum Ongen, Yusril Ihza Mahendra mengatakan dakwaan terhadap Ongen terkesan dipaksakan. Yusril keberatan jika foto Presiden bersama Nikita Mirzani yang disebarkan Ongen disebut sebagai pornografi. Yusril mempertanyakan apakah foto itu mengandung unsur porno atau tidak? Yusril pun mempertanyakan foto Jokowi dengan Nikita dan diberi hashtag oleh Ongen 'papa minta lonte' itu dianggap porno? Pernyataan sekaligus pertanyaan Yusril cukup mengusik. Tepatnya menggelitik. Yusril terkesan menilai 200 twitt Ongen antara tanggal 12--14 Desember 2015 hanya sepenggal-sepenggal. Tidak bermaksud membuka ruang ‘sidang’ baru. Tulisan ini tak ubahnya obrolan ringan sambil nyruput kopi. Ramai dikutip media pernyataan Dr. Ferry Rita yang menguatkan pandangan Yusril, bahwa tidak ada unsur pornografi dalam cuitan Ongen. Saya punya pandangan berbeda dengan pakar semiotik dari Universitas Tadulako Palu, Dr. Ferry Rita. Boleh ya, Dr. Ferry Rita? Sebelumnya, mari sama-sama menilik pengertian pornografi. Dalam pasal 1 UU Nomor 44 Tahun 2008, disebutkan pengertian pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan dalam KBBI, pornografi dimaknai dengan penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Timbulnya makna pornografi seperti dalam pengertian tersebut tidak bisa lepas dari asosiasi yang terbentuk dalam benak pembaca. Menurut Abdul Chaer (2002) dalam kajian lingustik, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku di masyarakat bahasa yang berhubungan juga dengan nilai rasa bahasa. Begitu pula dengan timbulnya makna asosiasi pornografi, tentunya juga mempertimbangkan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, untuk memaknai cuitan Ongen, selain unsur bahasa (lingual) yang berupa cuitan, juga harus memperhatikan hal di luar bahasa (nonlingual). Unsur nonlingualnya berupa foto JKW yang duduk bersampingan dengan artis NM. Dalam foto tersebut NM menggunakan pakaian pendek mengekpos bagian paha. Juga unsur nonlingual berupa nilai-nilai moral dan pandangan hidup di masyarakat Indonesia. Unsur nonlingual yang juga tidak bisa dipisahkan, yakni konteks saat cuitan itu muncul sedang hangat-hangatnya kasus prostitusi artis yang diduga melibatkan artis NM. Kehadiran semiotik memang dibutuhkan untuk membantu mengungkap makna unsur lingual dan nonlingual tersebut. Semiotik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia. Roland Barthes mengungkapkan bahwa semiotik terarah pada wacana khusus yang disebut mitos (miyth). Sedangkan mitos (Kris Budiman, 2002) tidak lain adalah wacana yang memasuki lapisan konotasi. Penggunaan semiotik dirasa mampu mengungkapkan makna di balik makna yang disampaikan dalam wacana cuitan Ongen. Pendekatan seperti itu, sudah diterapkan dalam beragam penelitian kebahasaan tentang asosiasi pornografi. Hasilnya, beberapa iklan di televisi terbukti menggunakan unsur-unsur yang berasosiasi pornografi untuk menarik perhatian pemirsa (Kusno, 2004). Lagu-lagu yang dicekal KPID Jawa Tengah terbukti lirik-liriknya mengandung unsur berasosiasi pornografi (Kusno, 2014). Judul-judul berita artis dalam media cetak juga memanfaatkan aspek-aspek kebahasaan berasosiasi pornografi (Rochmadi dan Saddhono, 2007). Pada objek-objek penelitian tersebut memang ada kesan kesengajaan dengan tujuan menarik perhatian khalayak. Lalu bagaimana dengan cuitan Ongen? Setelah saya cermati ada dugaan beragam asosiasi pornografi yang timbul. Pertama, asosiasi alat kelamin dengan adanya penggunaan kata-kata seperti biji dan it**. Kedua, terbentuknya asosiasi sensualitas tubuh wanita, seperti durian montong (payudara) dan paha. Ketiga, adanya asosiasi ekploitasi alat kelamin, seperti sentil biji si lonte. Keempat, terbentuknya asosiasi ‘papa’ terangsang (seksual), seperti oh nikita, pahamu itu loh. Kelima, adanya asosiasi ‘papa’ melakukan hubungan seks, seperti papa main lon**. Keenam, terbentuknya asosiasi ‘papa’ doyan (seks), seperti papa doyan lonte. Ketujuh, adanya asosiasi ‘papa’ suka alat vital wanita, seperti papa doyan it**. Lalu siapa yang dimaksud dengan ‘papa’? Ketika ada foto JKW bersampingan dengan artis NM, disertai beragam cuitan yang diduga berasosiasi pornografi tersebut, semua tentu berkesimpulan yang sama. Seandainya kesimpulan berbeda tentang siapa ‘papa,’ tetap saja tidak menghilangkan dugaan makna asosiasi pornografi yang ditimbulkan. Apakah dugaan makna-makna asosiasi pornografi tersebut termasuk pelangaran, pornografi dan pencemaran nama baik, atau tidak? Proses pengadilan akan membuktikan. Kita tunggu saja. Ongen (Sebenarnya) Baik Niat Ongen sebenarnya baik. Mengkritisi kebijakan pemerintah yang menurutnya kurang pas. Itu sah-sah saja. Tapi, Bang Ongen harus ingat. Sebagai orang yang berpendidikan, tentu sudah tahu bahasa yang pas dan pantas dalam mengkritik. Memang, rasa benci kadang menumpulkan nilai rasa bahasa ketika mengkritik. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran bersama. Mari memberikan kritikan yang membangun. Bukan kritikan kebablasan yang cenderung menghina dan melecehkan. Terlebih kepada kepala negara. Bukan begitu, Prof. Yusril? Mari nyruput kopi lagi. Biar mata kita terbuka. * Tulisan ini juga diunggah di Kompasiana: http://www.kompasiana.com/alihotahei/menjawab-pertanyaan-yusril-soal-ongen_572daea3cb23bd68091079aa Ini bukan cerita, tetapi fakta. Kenyataan yang terangkum dalam tiga jam perjalanan di Sebatik. Pulau Sebatik yang menjadi saksi bisu peristiwa Operasi Dwikora, ganyang Malaysia. Pada pertengahan 1965, pasukan Indonesia menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Malaysia. Pulau Sebatik, sebuah daerah yang berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Pulau ini dimiliki dua negara, Sebatik bagian utara merupakan milik Malaysia dan bagian selatan milik Indonesia. Pulau Sebatik berada di antara Nunukan sebagai ibukota Kabupaten Nunukan dan Kota Tawau di negara bagian Sabah, Malaysia Timur. Sebatik jauh berada di ujung negeri. Jauh dari hiruk pikuk politik penuh caci maki. Jauh dari denyut nadi ekonomi. Mata pencaharian penduduk banyak yang berkebun. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan penyeberangan sampai Pos Lintas Batas Aji Kuning banyak ditanami kelapa Sawit. Menurut warga, dulunya banyak tanaman kakao. Semenjak harga kakao jatuh, banyak yang beralih menanam kelapa sawit. Buah sawit dijual ke negeri tetangga Malaysia. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. Selain itu, mereka juga budidaya rumput laut. Sebagian kita mungkin menyangsikan nasionalisme mereka. Mereka lebih mengantungkan hidup dari negeri seberang. Beras, minyak, gas, dan kebutuhan pokok lainnya banyak yang dari negeri seberang. Untuk transaksi pun memakai mata uang negeri seberang. Jangan heran kalau kita berkunjung ke sana membeli barang uang kembalian dalam bentuk ringgit Malaysia. Sebatik tidak bisa hidup tanpa Tawau. Fenomena itu dapat dilihat dari aliran barang yang masuk ke Sebatik tidak pernah putus sepanjang hari. Jenis barang yang dipasok ke Sebatik itu termasuk jenis barang yang disubsidi oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia. Oleh sebab itu, warga Malaysia sering menyampaikan keberatan karena tidak jarang komoditi bersubdisi ini mengalami kelangkaan di Tawau. Sebatik, yang adem ayem. Kita banyak ribut kala ada isu pergeseran patok perbatasan. Padahal belum jelas kabar beritanya. Sebaliknya, mereka di sana tetap seperti biasa. Kala beberapa kali hubungan Indonesia dan Malaysia memanas. Mereka tetap biasa-biasa saja. Sayangnya, kita justru diam dan menutup mata dengan fakta di sana. Banyak nyawa orang yang sakit tidak tertolong. Bayi yang meninggal dalam kandungan. Mereka harus berjibaku dengan jalan yang rusak, serta harus menyeberang ke Nunukan untuk mencari fasilitas kesehatan. Bahkan banyak warga yang justru berobat ke Tawau, Malaysia. Ya, Tawau. Kota yang penuh ‘bintang-bintang’ kala malam. Sedangkan warga Sebatik hanya sanggup memandang sambil berharap kelak daerah mereka juga bisa terang. He.. mereka harus menambah ukuran kesabaran. Menjaga Perbatasan (Bahasa) Bicara perbatasan, tidak cukup dengan memperbanyak pos-pos lintas batas. Memperbanyak tentara yang dengan gagah berjaga di pos perbatasan. Rasanya tidak cukup. Selama ini kita kukuh menjaga patok berbatasan dan tidak rela sejengkal tanah pun diambil negeri jiran. Kenyataannya, kita telah lalai dengan perbatasan yang sebenarnya. Patok berbatasan dalam diri penduduk di sana sudah banyak yang tergeser. Di perut mereka patok yang bernama Indonesia telah tergeser karena sebagian besar menggantungkan pada produk Malaysia. Perbatasan dalam bentuk mata uang pun banyak tergeser karena aktivitas ekonomi banyak yang menggunakan ringgit Malaysia. Patok dalam benak mereka, bahwa hidup di Malaysia lebih enak, telah kokoh berdiri. Itulah realita. Ironi yang harus segera ditangani. Masih ada asa yang bisa ikut menjaga perbatasan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki peran yang utama dalam komunikasi masyarakat Sebatik. Untuk interaksi penduduk yang beragam suku, dengan didominasi suku Bugis, bahasa Indonesia hadir sebagai mediator. Bahasa Indonesia di sana belumlah tergeser bahasa Melayu meskipun bahasa Melayu Malaysia pelan-pelan merasuki penggunaan bahasa di sana. Penguatan bahasa Indonesia di wilayah Sebatik harus dilakukan. Jangan sampai patok yang satu ini juga ikut tergeser. Sebatik. Kita memiliki tumpah darah yang sama, namun perlakuan yang berbeda. Sebatik beranda terdepan. Sudah waktunya kita perhatikan. Sudah waktunya beranda depan dipercantik. Bila hal itu menjadi nyata, saudara-saudara kita di sana akan dengan bangga berkata, kami bangsa Indonesia. Cobalah anda berhenti dan mencermati sejenak ketika melintas di jalan-jalan utama kota. Banyak kita dijumpai produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Benar-benar membuat jalanan menjadi ‘rimbun’. Bacalah dengan saksama satu per satu. Semoga pertanyaan dalam benak kita sama. Sebenarnya kita ini sedang di mana, ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Namun, kenyataannya kita disuguhi banyaknya tulisan yang menggunakan kata dan istilah dalam bahasa Inggris. Kota yang masih permisif pada iklan rokok, seperti Samarinda, bertebaran iklan rokok dengan visualisasi menarik. Rata-rata iklan rokok tersebut menggunakan slogan dalam bahasa Inggris, seperti Never Say Maybe Be, Fine Ingredients for Fine Taste, Lets Do It, dan Talk Less Do More. Saat kita memandang baliho iklan perumahan, tertulis jelas nama perumahan, seperti X Regency, X Residences, X Village, X Town Hills, X Hill Residence, X City. Selain itu, ketika kita melintas di depan mal, berjajar spanduk bertuliskan “GREAT SALE”, BIG SALE UP TO 70%”, dan “X Department Store.” Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah kita cermati saat masuk ke tempat-tempat umum. Tamu hotel sudah dijamu dengan tulisan “IN” di pintu masuk. Tanda, dengan tulisan “Please Do not Disturb” dalam ukuran besar dan di bawahnya terdapat tulisan “Mohon Jangan Ganggu” dalam ukuran kecil, menghias beberapa pintu kamar. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata “Selamat Datang”. Suasana asing kian terasa di bandara kala membaca papan petunjuk “Departure, Check in area, Drop Zone, Mall Area, Boarding Lounge, Ticketing center, Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found” tanpa keterangan bahasa Indonesia. Seperti tidak mau ‘ketinggalan’, di depan kantor pemerintahan, meminjam istilah Syahrini, terpampang nyata tulisan seperti “Sukseskan Kaltim Green”, “Say No to Drug!”, “One Data One Map”. Terbaru, meskipun belum diresmikan, saat melintas di depan komplek Stadion Sempaja, sempatkan melirik ‘Si Hijau’. Tulisan “Convention Hall Samarinda” sudah menghias pintu masuk. Gambaran fakta-fakta penggunaan bahasa tersebut benar-benar membuat kita mengernyitkan dahi. Bukankah kita tinggal di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Bukankah segmen pembaca baliho maupun spanduk itu juga orang-orang Indonesia? Bukankah mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara orang Indonesia juga? Lalu mengapa kita lebih terkesan menyanjung bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia? Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait dengan sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Jadi, sikap bahasanya harus positif dan diikuti dengan sikap berbahasa yang tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai macam pandangan terhadap bentuk-bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa saja beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Dalam konteks Indonesia kurang lebih sama, seseorang atau institusi yang lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris lebih eksklusif. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris lebih keren. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Penghargaan Adibahasa Sebagai pancingan pemerintah daerah menertibkan penggunaan bahasa Indonesia, pemerintah pusat telah memberikan wadah penghargaan Adibahasa. Penganugerahan Adibahasa diberikan setiap lima tahun sekali. Pada 2014 lalu, Penganugerahan Adibahasa diberikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Penilaian dilakukan oleh tim dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terdiri atas surat menyurat dinas, surat edaran, kebahasaan laporan; pembuatan aturan atau peraturan daerah; dan pesan-pesan sosialisasi pembangunan pada media luar ruang. Selain itu, penilaian juga dilihat dari upaya menanamkan kembali kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Apakah Provinsi Kalimantan Timur berpeluang meraih Adibahasa pada tahun 2019? Jawabannya, sangat memungkinkan. Langkah nyata perlu segera dilakukan. Pertama, masing-masing pihak yang berkepentingan, baik dinas-dinas maupun lembaga swasta, proaktif membenahi penggunaan bahasa di bawah naungan kerja masing-masing, seperti penggunaan surat-menyurat, spanduk, baliho dan lainnya; Kedua, konsultasi penggunaan bahasa dengan ahli bahasa Indonesia perlu dilakukan. Hal itu penting karena penggunaan bahasa terikat dengan aturan/kaidah kebahasaan. Dinas atau lembaga swasta bisa saja kesulitan atau ragu terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar; Ketiga, pemerintah kabupaten/kota proaktif melakukan penertiban bahasa di wilayah masing-masing; Keempat, perlunya peraturan daerah yang mengatur penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Kita harus menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Semua pihak harus mempunyai rasa memiliki dan rasa bangga pada bahasa Indonesia. Pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia harus terus kita lakukan demi anak cucu. Jangan sampai mereka lebih mengenal bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Jangan sampai mereka lebih suka menyapa kita dengan “welcome” daripada “selamat datang”. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post aLelaki renta setengah baya Geram di trotoar jalan Saat panas tikam kepala Seorang buruh disingkirkan Bising mesin menyulut resah Masih bisa engkau pendam Canda anak istri di rumah Bangkitkan kau untuk bertahan Itulah penggalan lirik lagu PHK karya Iwan Fals. PHK menjadi mimpi buruk sekaligus malaikat maut bagi kaum buruh. Awal bulan Mei 2015 menjadi momentun istimewa. Hingar bingar para pekerja merayakan hari besar mereka. 1 Mei, Hari Buruh Sedunia. Beberapa ruas jalan utama di Ibukota diliburkan. Jalanan menjadi panggung bagi ribuan buruh menyuarakan segala tuntutan. Buruh dalam KBBI dimaknai sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Perkembangannya saat ini, kata buruh mengalami perubahan makna peyoratif. Kata buruh diidentikkan dengan pekerja kasar dengan status sosial rendah. Buruh mempunyai sejarah panjang seiring sejarah bangsa. Buruh sudah lama lahir di desa-desa. Kita yang mempunyai sejarah tinggal di desa atau saat ini tinggal di desa, kata buruh sangat akrab di telingga. Buruh di desa identik dengan buruh tani. Bicara tentang buruh mengingatkan pada ibu-ibu di kampung dulu. Salah satunya, sebut saja Simbok. Simbok dengan buruh tani yang lain berangkat pagi-pagi. Mereka tidak memakai seragam. Baju lengan panjang, jarik ataupun celana panjang seadanya melekat di badan. Hanya caping yang membuat mereka tampak rampak. Kala ditanya ke mana, serempak mereka menjawab, "Buruh tandur (tanam) ”. Buruh di desa menyesuaikan masa tanam. Ada buruh macul (cangkul), buruh tandur/tanam, buruh matun/menyiangi, dan buruh panen. Tidak ada spesialisasi, orangnya itu-itu saja. Mereka tidak ada serikat buruh macul, buruh tandur, buruh matun, ataupun buruh panen. Seandainya ada, mungkin setiap tanggal 1 Mei mereka juga libur ke sawah. Para buruh tani sebagian besar tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Untuk menyambung hidup keluarga, mereka mengandalkan hasil upah buruh. Dulu mereka dalam sehari biasanya mendapat upah antara lima ribu sampai sepuluh ribu. Kalau sekarang sudah mengalami kenaikan pada kisaran empat puluh ribu. Terkadang kalau buruh panen, dibayar dengan menggunakan gabah atapun singkong. Persoalan kenaikan upah, biasanya diselesaikan dengan dasar ilmu tahu sama tahu. Misalnya, saat paceklik, Simbok dan teman-temannya menyadari dan mau menerima upah yang kurang. Sebaliknya, saat hasil panen melimpah, pemilik sawah ikhlas memberi upah lebih dari biasanya. Kedua pihak saling mengerti. Kedua pihak saling memahami. Ketiadaan buruh tani membuat padi-padi di sawah tenggelam dalam rimbun rerumputan. Sebaliknya, apabila pemilik sawah membiarkan sawahnya bero tanpa tanaman, buruh tani pun bingung mencari makan. Simbok bekerja sebagai buruh, anaknya pun tidak mau ketinggalan. Si anak mengisi libur sekolah dengan nginthil Simbok ke sawah. Anaknya ikut ndaut (mencabut bibit dari persemaian), atau sekadar mencabuti rumput. Panas terik mentari justru membakar semangat anak itu. Dia tidak merasa bekerja. Semua yang dilakukan bagian dari senang-senang. Ya, mungkin sama senangnya anak-anak sekarang yang asyik memainkan ponsel pintarnya. Istirahat makan siang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Si anak ikut makan bekal yang dibawa pemilik sawah. Kalau beruntung bonus es dawet. Ehm, segarnya. Untuk mendapat ‘upah’ makan siang dan es dawet itu, Si anak harus menyelesaikan tugasnya. Si anak belajar makna ulet dan tekun. Si anak belajar makna bekerja keras, untuk meraih sesuatu butuh perjuangan dan kesabaran. Saat sedang makan dan berteduh di bawah rimbun pohon jati, simbok mengelus kepala anaknya. “Le, sekolah sek pinter yo. Ojo koyo Simbok. Wong bodo isone buroh. Sekolah sek dhuwur. Kerjo ben cekelane pulpen, dudu pacul. Simbok mung iso ndongo.” Si anak pun mengangguk. Anak belajar arti penting pendidikan. Anak belajar arti penting motivasi mengukir hidup yang lebih baik. Selesai buruh dari sawah, Simbok menuntun sepeda membawa karung besar berisi rerumputan. Si anak ikut mendorong sepeda. Saat itulah anak belajar berbakti kepada orangtua. Rangkaian pelajaran berharga dari guru dan sekolah istimewa. Orang desa seperti Simbok itu, tidak pernah tahu, setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Simbok tidak mengenal Ki Hajar Dewantara. Namun, keseharian Simbok sudah diwarnai dengan penerapan, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Simbok tidak tahu apa itu kurikulum. Simbok memberikan pendidikan kepada anak sebisa dan setahunya. Simbok tidak menekankan berhitung dan membaca, tetapi menghayati ilmu hidup dan kehidupan. Apa yang telah diberikan Simbok kepada anaknya, sekarang dikenal dengan pendidikan karakter. Simbok tidak pernah mendapatkan penyuluhan apalagi pelatihan. Kemuliaan ilmu Simbok diamini Daniel Muhammad Rosyid, (Jawapos, 1/5/15). Rosyid menyampaikan pentingnya pendidikan keluarga. Keteladanan karakter orangtua harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Memaknai Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional Ini merupakan kehendak Ilahi. Menyandingkan Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional dalam dua hari berurutan. Simbok telah terlebih dahulu memaknai kedua peringatan itu. Buruh tani bukan sebuah pilihan, melainkan paksaan keadaan. Getirnya keadaan sebagai buruh tani menjadi pelajaran berharga. Apa yang dialami dan dijalani jangan lagi diwariskan. Keadaan harus berubah. Karakter pekerja keras, ulet, sabar, dan tidak lelah meraih cita harus dibenamkan dalam benak anak. Pendidikan menjadi jalan mengubah kegetiran menjadi senyuman. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang bermental ‘buruh tani’ bekerja keras sepenuh hati. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang mencetak karakter anak-anak negeri. Maaf, sedikit terlambat. Selamat Hari Buruh Sedunia. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jayalah Indonesia. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Dalam Mata Najwa Rabu (24/12) bertajuk “Dari Aceh: Pesan untuk Negeri”, ada sederet tamu istimewa salah satunya Dahlan Iskan. Dahlan Iskan tampil sumringah. Satu penyataan pembuka Dahlan Iskan memberikan jawaban pertanyaan besar pemirsa. Kok Dahlan Iskan jarang tampil lagi ya? Dahlan Iskan menyampaikan, “Sekarang ini Saya sedang menjalani sopan santun politik. Bahwa seseorang yang baru lengser dari jabatan tinggi, sebaiknya tidak banyak tampil, tidak banyak omong, dan karena itu sekarang istilah Saya lagi puasa, puasa komentar, puasa tampil, puasa puasa ngomong. Pertanyaannya dua, sampai kapan. Saya bilang sampai masa idahnya selesai lah.” Sontak disambut tawa seisi ruangan. Satu kata dengan pernyataan Dahlan Iskan dalam acara itu. Dua minggu sebelumnya, Jumat ((12/12) pukul 19.11 WITA, ada satu pesan masuk ke pos-el Saya. Atas nama Dahlan Iskan. Antara percaya tidak percaya. Namun, dari bahasa dan pilihan katanya, Saya berkeyakinan itu asli seratus persen tulisan Dahlan Iskan. Bung Ali Kusno, tulisan Anda di JP hari ini hebat sekali. Mengalir, lincah, dan akurat dalam memotret tulisan2 sy. Terima kasih. Tapi Anda "menyiksa" saya karena begitu banyak yg kirim SMS minta agar sy segera berhenti puasa menulis. Hehehe sy memang lagi puasa nulis dan puasa berkomentar. Utk memenuhi kaidah sopan santun seseorang yg baru turun dari kekuasaan.... Berkeyakinan itu kiriman Dahlan Iskan, maka Saya segera membalas. Pak Dahlan Iskan. Alhamdulillah. Matur Suwun Bapak berkenan membaca dan menanggapi tulisan Saya. Yang Saya tulis sedikit keinginan dari sekian banyak harapan masyarakat untuk "kembali"nya Bapak. Meski Pak Dahlan bukan lagi menteri, tapi aura Bapak tak terhapus apalagi terganti. Kami tunggu kembalinya semangat, harapan, candaan, dan cerita Bapak. Semoga Allah terus memberikan kesehatan buat Bapak untuk tak pernah henti berbagi. Kami ingin tahu kelanjutan kincir angin Bang Ricky, kami ingin tahu perkembangan pembangunan pelabuhan di perbatasan Kaltim, kami ingin tahu perkembangan pembangunan jembatan Balikpapan-Penajam dan cerita lainnya. Selama ini tulisan-tulisan Bapak asyik membuat Saya berdiskusi dengan diri sendiri. Ingin rasanya bertemu dan berdiskusi dengan Bapak. Saya tunggu kesempatannya dari Bapak. Semoga Allah mempertemukan. Dahlan Iskan Tapa Bicara Sebagian besar mantan pejabat tidak tahan untuk mencela pihak yang menggantikan. Terlebih berbagai kebijakannya terdahulu dirubah atau bahkan dimentahkan. Dahlan Iskan tidak tergoda melakukan itu. Hampir tiga bulan Dahlan Iskan tapa bicara. Tidak menulis feature pedas untuk merecoki kebijakan pemerintah. Dahlan pun pelit komentar atas kebijakan penggantinya. Meskipun wartawan sudah terkesan memaksa. Tetap saja Dahlan Iskan tapa bicara. Menurut Mangkusuro, BKS Iyengar mengatakan,“menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung perasaan dan tidak berbicara buruk tentang orang lain adalah tapa berbicara.” Dahlan Iskan mampu menahan diri tidak mengekspos kesalahan-kesalahan, keburukan, atau aib orang lain. Konfrontasi hanya akan menimbulkan perdebatan dan pertengkaran. Sebagian besar pembaca dan pemirsa, baru tahu, rupanya kaidah kesantunan itu menjadi dasar Dahlan Iskan puasa menulis dan berkomentar. Meskipun diamnya Dahlan Iskan membuat sebagian masyarakat jadi buruk sangka. Beragam analisa dan prasangka pun bermunculan. Kalau berimajinasi dan meminjam gaya khasnya, pasti Dahlan Iskan berkata,”Biarlah, jangan diganggu. Pak Jokowi dan jajarannya orang-orang terpilih. Mereka memiliki kemampuan linuwih. Garis Tuhan sudah menentukan. Mereka orang-orang baik. Mereka tak akan membuat kecewa rakyat yang sukarela meminjamkan kepercayaan.” Berita gembira untuk Dahlanis Dalam pesannya, Dahlan Iskan menyakinkan Saya, “Nanti setelah masa idah selesai tentu akan nulis lagi. Trims ya”. ‘Iddah istilah dari bahasa Arab. ‘Iddah berarti perhitungan. Para ulama menafsirkan ‘iddah sebagai suatu masa seorang wanita menangguhkan perkawinan setelah ditinggal mati atau diceraikan suami. Salah satu tujuan masa ‘iddah untuk menghilangkan rasa sedih. Dahlan Iskan sebagai “Ibu” telah diceraikan “suami”. Dahlan Iskan tidak lagi duduk di kursi menteri. Dahlan Iskan boleh menjalani masa ‘Iddah. Tapi itu berlaku untuk pemerintah, bukan untuk para penggemarnya. Dahlan Iskan itu Ibu bagi para pembaca dan pemirsa. Pembaca dan pemirsa yang telah jadi anak-anaknya. Dahlan Iskan berkewajiban terus memberi siraman kasih sayang pada anak-anaknya. Jangan biarkan pembaca dan pemirsa seperti anak ayam kehilangan babon. Tampilnya Dahlan Iskan dalam acara Mata Najwa (24/12) lalu, bisa menjadi sebungkus kue rindu. Dahlan Iskan telah kembali. Sudah hampir tiga bulan beliau berdiam diri. Sungguh waktu yang lama. Masa ‘Iddah Dahlan Iskan mungkin sudah berakhir. Dahlan Iskan sudah kembali ke dunianya. Mari kita tunggu aksi Dahlan Iskan. Diskusi asyik di media. Gebrakan gagasan liar. Tulisan-tulisan feature yang selalu asyik nan menarik. Berahi pikiran Dahlan Iskan pasti sedang panas-panasnya. Selamat Datang Pak Dahlan. Anda sudah kembali. * Opini Ali Kusno (belum dimuat di Surat Kabar) |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|