Ini bukan cerita, tetapi fakta. Kenyataan yang terangkum dalam tiga jam perjalanan di Sebatik. Pulau Sebatik yang menjadi saksi bisu peristiwa Operasi Dwikora, ganyang Malaysia. Pada pertengahan 1965, pasukan Indonesia menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Malaysia. Pulau Sebatik, sebuah daerah yang berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Pulau ini dimiliki dua negara, Sebatik bagian utara merupakan milik Malaysia dan bagian selatan milik Indonesia. Pulau Sebatik berada di antara Nunukan sebagai ibukota Kabupaten Nunukan dan Kota Tawau di negara bagian Sabah, Malaysia Timur. Sebatik jauh berada di ujung negeri. Jauh dari hiruk pikuk politik penuh caci maki. Jauh dari denyut nadi ekonomi. Mata pencaharian penduduk banyak yang berkebun. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan penyeberangan sampai Pos Lintas Batas Aji Kuning banyak ditanami kelapa Sawit. Menurut warga, dulunya banyak tanaman kakao. Semenjak harga kakao jatuh, banyak yang beralih menanam kelapa sawit. Buah sawit dijual ke negeri tetangga Malaysia. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. Selain itu, mereka juga budidaya rumput laut. Sebagian kita mungkin menyangsikan nasionalisme mereka. Mereka lebih mengantungkan hidup dari negeri seberang. Beras, minyak, gas, dan kebutuhan pokok lainnya banyak yang dari negeri seberang. Untuk transaksi pun memakai mata uang negeri seberang. Jangan heran kalau kita berkunjung ke sana membeli barang uang kembalian dalam bentuk ringgit Malaysia. Sebatik tidak bisa hidup tanpa Tawau. Fenomena itu dapat dilihat dari aliran barang yang masuk ke Sebatik tidak pernah putus sepanjang hari. Jenis barang yang dipasok ke Sebatik itu termasuk jenis barang yang disubsidi oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia. Oleh sebab itu, warga Malaysia sering menyampaikan keberatan karena tidak jarang komoditi bersubdisi ini mengalami kelangkaan di Tawau. Sebatik, yang adem ayem. Kita banyak ribut kala ada isu pergeseran patok perbatasan. Padahal belum jelas kabar beritanya. Sebaliknya, mereka di sana tetap seperti biasa. Kala beberapa kali hubungan Indonesia dan Malaysia memanas. Mereka tetap biasa-biasa saja. Sayangnya, kita justru diam dan menutup mata dengan fakta di sana. Banyak nyawa orang yang sakit tidak tertolong. Bayi yang meninggal dalam kandungan. Mereka harus berjibaku dengan jalan yang rusak, serta harus menyeberang ke Nunukan untuk mencari fasilitas kesehatan. Bahkan banyak warga yang justru berobat ke Tawau, Malaysia. Ya, Tawau. Kota yang penuh ‘bintang-bintang’ kala malam. Sedangkan warga Sebatik hanya sanggup memandang sambil berharap kelak daerah mereka juga bisa terang. He.. mereka harus menambah ukuran kesabaran. Menjaga Perbatasan (Bahasa) Bicara perbatasan, tidak cukup dengan memperbanyak pos-pos lintas batas. Memperbanyak tentara yang dengan gagah berjaga di pos perbatasan. Rasanya tidak cukup. Selama ini kita kukuh menjaga patok berbatasan dan tidak rela sejengkal tanah pun diambil negeri jiran. Kenyataannya, kita telah lalai dengan perbatasan yang sebenarnya. Patok berbatasan dalam diri penduduk di sana sudah banyak yang tergeser. Di perut mereka patok yang bernama Indonesia telah tergeser karena sebagian besar menggantungkan pada produk Malaysia. Perbatasan dalam bentuk mata uang pun banyak tergeser karena aktivitas ekonomi banyak yang menggunakan ringgit Malaysia. Patok dalam benak mereka, bahwa hidup di Malaysia lebih enak, telah kokoh berdiri. Itulah realita. Ironi yang harus segera ditangani. Masih ada asa yang bisa ikut menjaga perbatasan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki peran yang utama dalam komunikasi masyarakat Sebatik. Untuk interaksi penduduk yang beragam suku, dengan didominasi suku Bugis, bahasa Indonesia hadir sebagai mediator. Bahasa Indonesia di sana belumlah tergeser bahasa Melayu meskipun bahasa Melayu Malaysia pelan-pelan merasuki penggunaan bahasa di sana. Penguatan bahasa Indonesia di wilayah Sebatik harus dilakukan. Jangan sampai patok yang satu ini juga ikut tergeser. Sebatik. Kita memiliki tumpah darah yang sama, namun perlakuan yang berbeda. Sebatik beranda terdepan. Sudah waktunya kita perhatikan. Sudah waktunya beranda depan dipercantik. Bila hal itu menjadi nyata, saudara-saudara kita di sana akan dengan bangga berkata, kami bangsa Indonesia. Cobalah anda berhenti dan mencermati sejenak ketika melintas di jalan-jalan utama kota. Banyak kita dijumpai produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Benar-benar membuat jalanan menjadi ‘rimbun’. Bacalah dengan saksama satu per satu. Semoga pertanyaan dalam benak kita sama. Sebenarnya kita ini sedang di mana, ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Namun, kenyataannya kita disuguhi banyaknya tulisan yang menggunakan kata dan istilah dalam bahasa Inggris. Kota yang masih permisif pada iklan rokok, seperti Samarinda, bertebaran iklan rokok dengan visualisasi menarik. Rata-rata iklan rokok tersebut menggunakan slogan dalam bahasa Inggris, seperti Never Say Maybe Be, Fine Ingredients for Fine Taste, Lets Do It, dan Talk Less Do More. Saat kita memandang baliho iklan perumahan, tertulis jelas nama perumahan, seperti X Regency, X Residences, X Village, X Town Hills, X Hill Residence, X City. Selain itu, ketika kita melintas di depan mal, berjajar spanduk bertuliskan “GREAT SALE”, BIG SALE UP TO 70%”, dan “X Department Store.” Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah kita cermati saat masuk ke tempat-tempat umum. Tamu hotel sudah dijamu dengan tulisan “IN” di pintu masuk. Tanda, dengan tulisan “Please Do not Disturb” dalam ukuran besar dan di bawahnya terdapat tulisan “Mohon Jangan Ganggu” dalam ukuran kecil, menghias beberapa pintu kamar. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata “Selamat Datang”. Suasana asing kian terasa di bandara kala membaca papan petunjuk “Departure, Check in area, Drop Zone, Mall Area, Boarding Lounge, Ticketing center, Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found” tanpa keterangan bahasa Indonesia. Seperti tidak mau ‘ketinggalan’, di depan kantor pemerintahan, meminjam istilah Syahrini, terpampang nyata tulisan seperti “Sukseskan Kaltim Green”, “Say No to Drug!”, “One Data One Map”. Terbaru, meskipun belum diresmikan, saat melintas di depan komplek Stadion Sempaja, sempatkan melirik ‘Si Hijau’. Tulisan “Convention Hall Samarinda” sudah menghias pintu masuk. Gambaran fakta-fakta penggunaan bahasa tersebut benar-benar membuat kita mengernyitkan dahi. Bukankah kita tinggal di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Bukankah segmen pembaca baliho maupun spanduk itu juga orang-orang Indonesia? Bukankah mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara orang Indonesia juga? Lalu mengapa kita lebih terkesan menyanjung bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia? Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait dengan sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Jadi, sikap bahasanya harus positif dan diikuti dengan sikap berbahasa yang tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai macam pandangan terhadap bentuk-bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa saja beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Dalam konteks Indonesia kurang lebih sama, seseorang atau institusi yang lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris lebih eksklusif. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris lebih keren. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Penghargaan Adibahasa Sebagai pancingan pemerintah daerah menertibkan penggunaan bahasa Indonesia, pemerintah pusat telah memberikan wadah penghargaan Adibahasa. Penganugerahan Adibahasa diberikan setiap lima tahun sekali. Pada 2014 lalu, Penganugerahan Adibahasa diberikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Penilaian dilakukan oleh tim dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terdiri atas surat menyurat dinas, surat edaran, kebahasaan laporan; pembuatan aturan atau peraturan daerah; dan pesan-pesan sosialisasi pembangunan pada media luar ruang. Selain itu, penilaian juga dilihat dari upaya menanamkan kembali kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Apakah Provinsi Kalimantan Timur berpeluang meraih Adibahasa pada tahun 2019? Jawabannya, sangat memungkinkan. Langkah nyata perlu segera dilakukan. Pertama, masing-masing pihak yang berkepentingan, baik dinas-dinas maupun lembaga swasta, proaktif membenahi penggunaan bahasa di bawah naungan kerja masing-masing, seperti penggunaan surat-menyurat, spanduk, baliho dan lainnya; Kedua, konsultasi penggunaan bahasa dengan ahli bahasa Indonesia perlu dilakukan. Hal itu penting karena penggunaan bahasa terikat dengan aturan/kaidah kebahasaan. Dinas atau lembaga swasta bisa saja kesulitan atau ragu terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar; Ketiga, pemerintah kabupaten/kota proaktif melakukan penertiban bahasa di wilayah masing-masing; Keempat, perlunya peraturan daerah yang mengatur penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Kita harus menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Semua pihak harus mempunyai rasa memiliki dan rasa bangga pada bahasa Indonesia. Pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia harus terus kita lakukan demi anak cucu. Jangan sampai mereka lebih mengenal bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Jangan sampai mereka lebih suka menyapa kita dengan “welcome” daripada “selamat datang”. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|