Hari ini, Selasa, 13 Desember 2016, akan digelar sidang perdana sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bagi saya, mengikuti dan mencermati kasus ini tidaklah menarik. Tapi suangat menarik. Jauh lebih menarik dari ‘sinetron’ Kopi Sianida. Yang entah berapa episode itu dan sepertinya masih akan ditambah jam tayangnya. Kali ini publik akan disuguhkan judul ‘sinetron’ baru. Sebelumnya, saya minta maaf menggunakan pilihan kata ‘sinetron’ ini. Bukan menganggap ini hanya sandiwara. Ini hanya gaya bahasa kawan, biar menarik. Itu saja. Tanpa ada niat apa-apa. Sumpah. Begitu sensitifnya ‘sinetron’ ini, sampai saya tidak berani memberi judul. Masing-masing berhak memberi judul. Sesuai bekal ilmunya. Sesuai pandangan politiknya. Sesuai ketajaman lensanya. Sesuai kejernihan pikirannya. Sesuai temperatur hatinya. Apa yang menjadikan ratingnya akan melejit? Selain isu yang begitu panas, juga akan ada ‘artis-artis’ baru yang luar biasa. Kalau dalam ‘sinetron’ Kopi Sianida, berderet ahli forensik yang dihadirkan. Ada ahli digital forensik, ada ahli kedokteran forensik, ada ahli patologi forensik, ada ahli toksikologi forensik, ada psikologi forensik, dan ntah ahli apalagi. Dalam sidang Ahok ini, kemungkinan juga akan dihadirkan deretan ahli forensik. Bisa ahli digital forensik, bisa psikologi forensik. Namun, yang pasti hadir adalah ahli-ahli linguistik forensik. Siapa pun linguis-linguis yang dihadirkan, pastilah orang-orang yang sudah terpilih. Semoga dalam bekal ilmunya. Semoga netral pandangan politiknya. Semoga terjamin resolusi ketajaman lensanya. Semoga terjaga kejernihan pikirannya. Semoga temperatur hatinya sesejuk puncak Gunung Tangkuban Perahu. Nyesss. Ah.... Kehadiran linguis-linguis dalam persidangan itu, menjadi berkah bagi pelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Selama ini pelajaran bahasa Indonesia dianggap sebelah mata oleh siswa. Cenderung diabaikan. Termasuk saya, dulu. Sebagian kita menganggap apalah belajar bahasa Indonesia, toh tanpa belajar kita bisa. Tanpa belajar kita dapat bertutur kata. Tanpa belajar kita dapat menangkap makna. Kini, kita dibukakan mata. Bahasa Indonesia itu sangatlah berguna. Masalah yang menyita energi bangsa hari ini, tidak lain persoalan bahasa Indonesia. Persoalan berkata dan menangkap makna. Ujung dari persidangan ini nantinya sangat dipengaruhi adu ketajaman analisis masing-masing linguis. Namun, buka persoalan siapa yang menang, siapa yang kalah. Kebenaran yang harus diterima semua pihak, itulah yang utama. Mari mengambil berkah dari kasus ini. Nonton bareng rekaman sidang ini ketika pelajaran bahasa Indonesia tentu dapat menjadi metode pembelajaran yang mendidik dan menarik. Semoga kita dapat mencetak generasi-generasi yang dapat bertutur apa adanya tanpa ada yang tersinggung apalagi tersakiti. Semoga kita dapat mencetak generasi-generasi yang dapat mencerna dan memahami tuturan orang lain dengan kejernihan berpikir, bukan memaknai yang dikotori rasa benci. Berbanggalah jadi guru bahasa Indonesia. Cintai bahasa Indonesia. Jayalah linguistik forensik. Ini bukan cerita, tetapi fakta. Kenyataan yang terangkum dalam tiga jam perjalanan di Sebatik. Pulau Sebatik yang menjadi saksi bisu peristiwa Operasi Dwikora, ganyang Malaysia. Pada pertengahan 1965, pasukan Indonesia menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Malaysia. Pulau Sebatik, sebuah daerah yang berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Pulau ini dimiliki dua negara, Sebatik bagian utara merupakan milik Malaysia dan bagian selatan milik Indonesia. Pulau Sebatik berada di antara Nunukan sebagai ibukota Kabupaten Nunukan dan Kota Tawau di negara bagian Sabah, Malaysia Timur. Sebatik jauh berada di ujung negeri. Jauh dari hiruk pikuk politik penuh caci maki. Jauh dari denyut nadi ekonomi. Mata pencaharian penduduk banyak yang berkebun. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan penyeberangan sampai Pos Lintas Batas Aji Kuning banyak ditanami kelapa Sawit. Menurut warga, dulunya banyak tanaman kakao. Semenjak harga kakao jatuh, banyak yang beralih menanam kelapa sawit. Buah sawit dijual ke negeri tetangga Malaysia. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. Selain itu, mereka juga budidaya rumput laut. Sebagian kita mungkin menyangsikan nasionalisme mereka. Mereka lebih mengantungkan hidup dari negeri seberang. Beras, minyak, gas, dan kebutuhan pokok lainnya banyak yang dari negeri seberang. Untuk transaksi pun memakai mata uang negeri seberang. Jangan heran kalau kita berkunjung ke sana membeli barang uang kembalian dalam bentuk ringgit Malaysia. Sebatik tidak bisa hidup tanpa Tawau. Fenomena itu dapat dilihat dari aliran barang yang masuk ke Sebatik tidak pernah putus sepanjang hari. Jenis barang yang dipasok ke Sebatik itu termasuk jenis barang yang disubsidi oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia. Oleh sebab itu, warga Malaysia sering menyampaikan keberatan karena tidak jarang komoditi bersubdisi ini mengalami kelangkaan di Tawau. Sebatik, yang adem ayem. Kita banyak ribut kala ada isu pergeseran patok perbatasan. Padahal belum jelas kabar beritanya. Sebaliknya, mereka di sana tetap seperti biasa. Kala beberapa kali hubungan Indonesia dan Malaysia memanas. Mereka tetap biasa-biasa saja. Sayangnya, kita justru diam dan menutup mata dengan fakta di sana. Banyak nyawa orang yang sakit tidak tertolong. Bayi yang meninggal dalam kandungan. Mereka harus berjibaku dengan jalan yang rusak, serta harus menyeberang ke Nunukan untuk mencari fasilitas kesehatan. Bahkan banyak warga yang justru berobat ke Tawau, Malaysia. Ya, Tawau. Kota yang penuh ‘bintang-bintang’ kala malam. Sedangkan warga Sebatik hanya sanggup memandang sambil berharap kelak daerah mereka juga bisa terang. He.. mereka harus menambah ukuran kesabaran. Menjaga Perbatasan (Bahasa) Bicara perbatasan, tidak cukup dengan memperbanyak pos-pos lintas batas. Memperbanyak tentara yang dengan gagah berjaga di pos perbatasan. Rasanya tidak cukup. Selama ini kita kukuh menjaga patok berbatasan dan tidak rela sejengkal tanah pun diambil negeri jiran. Kenyataannya, kita telah lalai dengan perbatasan yang sebenarnya. Patok berbatasan dalam diri penduduk di sana sudah banyak yang tergeser. Di perut mereka patok yang bernama Indonesia telah tergeser karena sebagian besar menggantungkan pada produk Malaysia. Perbatasan dalam bentuk mata uang pun banyak tergeser karena aktivitas ekonomi banyak yang menggunakan ringgit Malaysia. Patok dalam benak mereka, bahwa hidup di Malaysia lebih enak, telah kokoh berdiri. Itulah realita. Ironi yang harus segera ditangani. Masih ada asa yang bisa ikut menjaga perbatasan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki peran yang utama dalam komunikasi masyarakat Sebatik. Untuk interaksi penduduk yang beragam suku, dengan didominasi suku Bugis, bahasa Indonesia hadir sebagai mediator. Bahasa Indonesia di sana belumlah tergeser bahasa Melayu meskipun bahasa Melayu Malaysia pelan-pelan merasuki penggunaan bahasa di sana. Penguatan bahasa Indonesia di wilayah Sebatik harus dilakukan. Jangan sampai patok yang satu ini juga ikut tergeser. Sebatik. Kita memiliki tumpah darah yang sama, namun perlakuan yang berbeda. Sebatik beranda terdepan. Sudah waktunya kita perhatikan. Sudah waktunya beranda depan dipercantik. Bila hal itu menjadi nyata, saudara-saudara kita di sana akan dengan bangga berkata, kami bangsa Indonesia. Cobalah anda berhenti dan mencermati sejenak ketika melintas di jalan-jalan utama kota. Banyak kita dijumpai produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Benar-benar membuat jalanan menjadi ‘rimbun’. Bacalah dengan saksama satu per satu. Semoga pertanyaan dalam benak kita sama. Sebenarnya kita ini sedang di mana, ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Namun, kenyataannya kita disuguhi banyaknya tulisan yang menggunakan kata dan istilah dalam bahasa Inggris. Kota yang masih permisif pada iklan rokok, seperti Samarinda, bertebaran iklan rokok dengan visualisasi menarik. Rata-rata iklan rokok tersebut menggunakan slogan dalam bahasa Inggris, seperti Never Say Maybe Be, Fine Ingredients for Fine Taste, Lets Do It, dan Talk Less Do More. Saat kita memandang baliho iklan perumahan, tertulis jelas nama perumahan, seperti X Regency, X Residences, X Village, X Town Hills, X Hill Residence, X City. Selain itu, ketika kita melintas di depan mal, berjajar spanduk bertuliskan “GREAT SALE”, BIG SALE UP TO 70%”, dan “X Department Store.” Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah kita cermati saat masuk ke tempat-tempat umum. Tamu hotel sudah dijamu dengan tulisan “IN” di pintu masuk. Tanda, dengan tulisan “Please Do not Disturb” dalam ukuran besar dan di bawahnya terdapat tulisan “Mohon Jangan Ganggu” dalam ukuran kecil, menghias beberapa pintu kamar. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata “Selamat Datang”. Suasana asing kian terasa di bandara kala membaca papan petunjuk “Departure, Check in area, Drop Zone, Mall Area, Boarding Lounge, Ticketing center, Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found” tanpa keterangan bahasa Indonesia. Seperti tidak mau ‘ketinggalan’, di depan kantor pemerintahan, meminjam istilah Syahrini, terpampang nyata tulisan seperti “Sukseskan Kaltim Green”, “Say No to Drug!”, “One Data One Map”. Terbaru, meskipun belum diresmikan, saat melintas di depan komplek Stadion Sempaja, sempatkan melirik ‘Si Hijau’. Tulisan “Convention Hall Samarinda” sudah menghias pintu masuk. Gambaran fakta-fakta penggunaan bahasa tersebut benar-benar membuat kita mengernyitkan dahi. Bukankah kita tinggal di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Bukankah segmen pembaca baliho maupun spanduk itu juga orang-orang Indonesia? Bukankah mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara orang Indonesia juga? Lalu mengapa kita lebih terkesan menyanjung bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia? Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait dengan sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Jadi, sikap bahasanya harus positif dan diikuti dengan sikap berbahasa yang tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai macam pandangan terhadap bentuk-bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa saja beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Dalam konteks Indonesia kurang lebih sama, seseorang atau institusi yang lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris lebih eksklusif. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Orang bisa beranggapan bahasa Inggris lebih keren. Orang bisa saja beranggapan bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Penghargaan Adibahasa Sebagai pancingan pemerintah daerah menertibkan penggunaan bahasa Indonesia, pemerintah pusat telah memberikan wadah penghargaan Adibahasa. Penganugerahan Adibahasa diberikan setiap lima tahun sekali. Pada 2014 lalu, Penganugerahan Adibahasa diberikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Penilaian dilakukan oleh tim dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terdiri atas surat menyurat dinas, surat edaran, kebahasaan laporan; pembuatan aturan atau peraturan daerah; dan pesan-pesan sosialisasi pembangunan pada media luar ruang. Selain itu, penilaian juga dilihat dari upaya menanamkan kembali kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Apakah Provinsi Kalimantan Timur berpeluang meraih Adibahasa pada tahun 2019? Jawabannya, sangat memungkinkan. Langkah nyata perlu segera dilakukan. Pertama, masing-masing pihak yang berkepentingan, baik dinas-dinas maupun lembaga swasta, proaktif membenahi penggunaan bahasa di bawah naungan kerja masing-masing, seperti penggunaan surat-menyurat, spanduk, baliho dan lainnya; Kedua, konsultasi penggunaan bahasa dengan ahli bahasa Indonesia perlu dilakukan. Hal itu penting karena penggunaan bahasa terikat dengan aturan/kaidah kebahasaan. Dinas atau lembaga swasta bisa saja kesulitan atau ragu terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar; Ketiga, pemerintah kabupaten/kota proaktif melakukan penertiban bahasa di wilayah masing-masing; Keempat, perlunya peraturan daerah yang mengatur penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Kita harus menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Semua pihak harus mempunyai rasa memiliki dan rasa bangga pada bahasa Indonesia. Pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia harus terus kita lakukan demi anak cucu. Jangan sampai mereka lebih mengenal bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Jangan sampai mereka lebih suka menyapa kita dengan “welcome” daripada “selamat datang”. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post Saat Anda melintas di jalan-jalan utama kota, cobalah berhenti sejenak. Jalanan begitu rimbun dengan produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Baca dengan saksama satu per satu. Bisa jadi isi pikiran kita sama, di mana saya ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Kenyataannya kita disuguhi beragam tulisan didominasi kata dan istilah asing terutama bahasa Inggris. Gerbang-gerbang perumahan merasa gagah dengan embel-embel Residences, Village, Town Hills,Hill Residence, atau City. Penghuninya jangan-jangan tidak tahu artinya apa. Di depan pusat perbelanjaan, berjajar spanduk bertuliskan, GREAT SALE, BIG SALE UP TO 70%, dan Department Store. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata, “Selamat Datang”. Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah mencermati saat masuk hotel. Seolah demi mendongkrak hotel berbintang agar lebih berbintang-bintang, bahasa Inggris ditebar di mana-mana. Tamu dijamu tulisan “In” di pintu masuk. Petunjuk bertuliskan, Please Do not Disturb (dalam ukuran besar) menggelayut di pintu kamar. Seolah malu-malu, di bawahnya tersemat tulisan Mohon Jangan Ganggu dalam ukuran kecil. Tamu pun bisa tersasar saat membaca petunjuk Rest Room. Sebagian kita mengira, itu arah ke kamar tidur, eh ternyata toilet. Di bandara suasana asing kian terasa. Beragam petunjuk bertuliskan, Departure, Check in area, Drop Zone, Boarding Lounge,Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found. Parahnya, petunjuk seperti itu di beberapa bandara tanpa keterangan bahasa Indonesia. Kalaupun menggunakan keterangan bahasa Indonesia, ukurannya kecil dan posisinya di bawah tulisan bahasa Inggris. Fakta-fakta tersebut baru sedikit gambaran penggunaan bahasa di tempat umum. Sungguh memprihatinkan. Padahal kita tinggal di negara yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ironis lagi, segmen pembaca baliho maupun spanduk itu pun orang Indonesia. Begitu pula mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara juga orang Indonesia. Lalu, mengapa bahasa Inggris lebih disanjung? Sejarah bahasa Indonesia, berjasa sampai sekarang sebagai pemersatu bangsa, tidak menjadikannya mendapat posisi terhormat. Bangsa sendiri saja kurang menghargai, apalagi bangsa lain. Saat ada anak negeri melamar pekerjaan di perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, semacam ada tuntutan penguasaan bahasa Inggris. Hal itu bisa jadi dilatarbelakangi jajaran petinggi yang lebih banyak berbahasa Inggris. Seharusnya para pekerja asing itulah yang menyesuaikan diri untuk belajar bahasa Indonesia. Sependapat dengan Menteri Tenaga Kerja, sebuah ketidakadilan apabila orang Indonesia hendak bekerja ke Jepang, Korea, Hongkong harus menguasai bahasa mereka. Giliran orang asing bekerja di Indonesia dengan modal terima kasih dan selamat pagi bisa mendapat posisi strategis. Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang atau lembaga lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa memang terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai pandangan terhadap bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Seseorang atau institusi tertentu lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Bahasa Inggris dianggap lebih eksklusif. Bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Bahasa Inggris lebih keren. Bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk/jasa. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Sebenarnya, sudah ada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Seperti pada pasal 36 ayat (3) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Seandainya dua puluh satu pasal mengenai bahasa negara dalam UU tersebut dapat ditegakkan, kekacauan penggunaan bahasa tidak perlu ditemui lagi. Sedangkan terkait tenaga kerja asing, menurut Farah Fitriani, sebenarnya dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing pasal 26 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa salah satu persyaratan TKA bekerja di Indonesia adalah dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Peraturan tersebut belum dapat dijalankan dengan efektif karena belum ada peraturan lain yang khusus membahas pelaksanaan dan pengawasan mengenai TKA bisa berbahasa Indonesia. Semoga wacana Menteri Hanif Dhakiri yang akan memberikan Uji Kemampuan Bahasa Indonesia bagi TKA segera direalisasikan. Membutuh Kesadaran Bersama Upaya pemerintah membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, dinahkodai Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dukungan bersama. Sosialisasi dan penegakan aturan tentang penggunaan bahasa Indonesia di daerah-daerah harus dibarengi kepedulian masyarakat. Menjadi tanggung jawab bersama menjaga bahasa Indonesia agar tidak ‘asing di negeri sendiri’. Bukan berarti kita alergi globalisasi. Bahasa Iggris dan bahasa asing lainnya perlu kita kuasai. Meski demikian, bahasa Indonesia berhak mendapat posisi terhormat. Kita berkewajiban menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia. Keteladanan pemimpin di pusat maupun daerah menjadi keharusan. Kita akan dapat tersenyum bangga kala bertandang ke kantor-kantor, perumahan, pusat perbelanjaan, hotel, maupun bandara. Tulisan Selamat Datang (dalam ukuran besar) dan di bawahnya Welcome (dalam ukuran kecil) ramah menyambut kita. Para pekerja kita pun percaya diri menyapa pekerja asing, “Selamat pagi”. * Opini Ali Kusno belum dipublikasikan Ada satu foto mantan Presiden Soeharto sedang melambaikan tangan kanan. Meskipun wajahnya tampak tua dengan rambut sudah memutih, Soeharto tersenyum sumringah. Senyumnya benar-benar lebar. Selebar senyum petani memandang hijaunya tanaman padi. Soeharto, mengenakan jaket, wajahnya menoleh. Di bagian bawah foto tertulis, “Piye, isih penak zamanku, to?” Kalimat itu dalam bahasa Indonesia artinya, “Gimana, masih enak zamanku kan?” Sebuah guyonan politik penuh kritik nan menggelitik. Sungguh komplet. Itulah meme yang sekarang kita kenal meskipun sebenarnya ada beragam meme. Siapa yang tidak tahu meme? Foto menarik disertai tulisan kreatif, unik, juga asik. Kreativitas pembuat meme terlihat dari hasil meme yang dibuat. Meme akrab bagi pengguna media sosial, seperti facebook, path, twitter, instagram dan lainya. Meme menjadi sebuah kombinasi yang pas antara gambar dan tulisan untuk menyampaikan pesan. Perpaduan gambar dan tulisan itu dapat membentuk ruang makna baru. Sebuah bentuk penyampaian pesan yang efektif sarat makna. Fenomena meme berawal dari munculnya ide kreatif para pengguna media sosial untuk merespon beragam permasalahan di masyarakat. Kemasannya yang sarat humor dinilai mampu menjadi alternatif berpendapat dan berkespresi. Meme begitu ringan, renyah, dan mudah dicerna. Meme berhasil apabila imajinasi yang dituangkan pembuat meme dapat mudah dipahami pembaca. Karakter meme di media sosial cukup beragam. Ada meme humor. Para pengguna internet kreatif memplesetkan foto-foto publik figur dengan tulisan yang mengundang tawa. Meme juga dapat berperan sebagai motivator. Banyak meme memberikan penyemangat bagi pembaca. Semangat untuk bergerak dan berubah. Lagi-lagi dengan nuansa humor. Para pengguna internet lebih suka menggunakan meme sebagai sarana penyampai kritikan. Meme menjadi media kritik baru yang memberi kelapangan kreativitas. Sebagaimana pernah diulas di Koran Jakarta, kritikan melalui meme tidak kalah ‘menyentil’ daripada cara kritik pada umumnya. Yang paling menarik dari model kritik ini ialah kemasan yang selalu memancing tawa pembaca. Apa pun objek kritikannya dapat dikemas dalam humor. Meskipun demikian, pembuat meme harus tetap berhati-hati. Dibalik sisi manis sebagai penyampai pesan, meme dapat menjadi bumerang bagi si pembuat. Beberapa meme mengakibatkan si pembuat harus berurusan dengan hukum. Gara-gara membuat meme yang cenderung menghina bahkan melecehkan pihak tertentu. Pada bulan Agustus 2015 lalu, ramai diperbincangkan salah satu meme yang cenderung menghina dan melecehkan Presiden Jokowi. Sebuah akun Facebook bernama Mansyorie Lamp terancam berurusan dengan hukum karena meme yang dibuat dan diunggahnya. Meme tersebut (whatever.id) bermaksud memberi kritikan dengan gambar wajah Presiden Jokowi yang disamakan dengan barang belanjaan. Meme tersebut disertai tulisan "Punya Presiden Tidak Berguna? Jual aja di Toko Bagus. Langsung ketemu pembelinya. Klik, Ketemuan, Deal." Sungguh keterlaluan dan jauh dari kata sopan. Bukan lagi kritikan, melainkan hinaan. Kasus terbaru (Beritagar.id), meme ‘kreasi’ Imelda Syahrul. Imelda Syahrul membuat meme yang dianggap menghina polisi. Dalam meme tersebut digambarkan Bripda Aris melakukan tindak pidana pungli. Hasil pungli diberikan kepada istrinya melalui transfer. Intinya digambarkan polisi tersebut melakukan tindak kejahatan pungli untuk menghidupi keluarga. Kasus tersebut dimediasi dan akhirnya kedua belah pihak saling memaafkan dan menerima. Ujaran Kebencian Kita sepakat kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang. Sebagai salah satu upaya mengatur kebebasan berekspresi, termasuk di media sosial, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian. Surat ini diharapkan agar para personel Polri bisa lebih memahami dan mampu menangani kasus. Ada 180.000 akun media sosial yang diduga menyebar kebencian yang tengah diselidiki (BBC Indonesia). Kita harus berpikir positif dengan surat edaran tersebut. Semoga sedikit banyak dapat mengerem ujaran yang berisi hinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan yang tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, dan berita bohong. Kita memang harus belajar bertanggung jawab. Setiap tuturan kita baik lisan maupun tulis ada konsekunsinya. Kita harus belajar arif dalam menanggapi berbagai persoalan di masyarakat. Kita berhak menyampaikan pendapat maupun kritikan. Meskipun demikian, etika harus tetap kita kedepankan. Tuturan harus tetap sopan. Kritikan disampaikan atas dasar rasa peduli bukan membenci. Kebencian yang diwujudkan dalam pendapat dan kritikan hanya akan merugikan pihak lain dan diri sendiri. Silakan menggunakan meme sebagai sarana berekspresi, baik berisi humor, motivasi, maupun kritikan. Sebelum kita menggunggah, pastikan meme tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk siap bertanggung jawab apabila ada pihak lain menuntut secara hukum. Meme..., meme.... Rasanya saya juga ingin membuat meme. Semoga tidak masuk ujaran kebencian. Meme mantan Presiden Soeharto melambaikan tangan. Senyumnya merekah seakan berkata, “Mas Bro, gunakno otak lan ototmu kanggo mbangun bongso. Zamanmu bakal luwih kepenak ketimbang zamanku” (Mas Bro, gunakan pikiran dan tenagamu untuk membangun bangsa. Zamanmu akan lebih enak daripada zamanku”). * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa Telah usai perhelatan kompetisi dangdut bertajuk Dangdut Academy Asia (DAA) di salah satu stasiun televisi swasta. Suguhan dangdut dengan kemasan berbeda. Peserta dari negera-negera tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, ikut berkompetisi. Musik dangdut pun naik kasta. Satu hiburan tersendiri di tengah gaduhnya politik negeri dan kesulitan ekonomi. Ada yang menarik. Bisa dibilang keanehan, bisa juga keunikan. Tidak lain bahasa para komentator dan juri dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sungguh menggelitik untuk dikulik. Pemirsa tentu bertanya-tanya. Semoga benar tebakan saya. Kok bahasanya ada yang sama dengan bahasa Indonesia, ya? Kok ada kata-kata yang dituturkan terasa tabu bagi kita? Sebagian kita mungkin tidak menyadari. Selain persaingan kualitas suara peserta, juga ada unjuk bahasa. Antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Unjuk bahasa pada lirik lagu. Unjuk bahasa para komentator dan juri dari negara yang berbeda. Sedikit mengingat sejarah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Akar dialek Melayu di Indonesia berbeda dengan Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sesudah Traktat London 1824 yang ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Bahasa Melayu Riau (kepulauan Nusantara) lebih berkembang pesat dibandingkan bahasa Melayu Johor (Semenanjung Melayu dan Singapura). Seiring perjalanan sejarah, kedua bersaudara itu semakin menunjukkan perbedaan. Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan itu, pertama, dari latar belakang penjajahan. Bahasa Indonesia lebih menyerap bahasa Belanda. Bahasa Malayu (kususnya di Malaysia) lebih menyerap bahasa Inggris. Kedua, dari segi perlakuan, kedua bahasa tersebut diperlakukan sesuai dengan kebijakan kebahasaan di negara masing-masing. Ketiga, dari segi penyerapan kata di negara masing-masing, bahasa Indonesia menyerap pula bahasa-bahasa daerah di Indonesia (https://id.wikipedia.org). Sedikit dari fakta perbedaan itu telah diperankan para komentator dan juri di DAA. Ada penggunan ejaan yang berbeda. Masih ingat perdebatan soal lirik lagu Janji yang diciptakan Alm. A.Rafiq, dan dinyanyikan peserta dari Malaysia. Penggalan lagu itu dinyanyikan dengan, ...sungguh kau tak pandai menimbang rasa, ‘kerana’ janjimu diriku tersiksa.... Dalam Bahasa Indonesia menggunakan kata ‘karena,’ sedangkan dalam bahasa Malayu menggunakan kata ‘kerana.’ Ada juga kata yang sama memiliki makna berbeda. Contohnya pada saat komentator dari Malaysia mengomentari penampilan peserta, dengan mengucapkan “...memek muka” yang mengacu pada raut wajah seseorang. Tuturan itu sontak membuat kita terhenyak. Bagi penutur bahasa Indonesia, kata ‘memek’ memiliki arti, (maaf) mengacu kepada alat kelamin wanita. Sedangkan kata yang mengacu pada raut wajah dalam bahasa Indonesia menggunakan kata ‘mimik.’ Sebaliknya kata ‘butuh’, dalam bahasa Indonesia yang berarti ‘perlu,’ bagi penutur bahasa Melayu itu tabu. Kata ‘butuh’ dalam bahasa Melayu bermakna alat kelamin pria. Perbedaan makna kata juga tampak pada saat komentator mengatakan, “... semoga kau sukses bila-bila” yang bermakna semoga kau sukses selalu. Selain itu, ada kata yang sama, namun penggunaan huruf berbeda. Beberapa kata bahasa Melayu yang muncul dalam percakapan acara tersebut, seperti berbeza (berbeda), ade (ada), kate-kate (kata-kata), dan sikit (sedikit). Benar-benar ‘terpampang nyata’. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) jelas-jelas berbeda. Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang pantas? Bahasa Indonesia dan Malayu tengah berkompetisi. Siapa yang pantas dinobatkan sebagai bahasa internasional. Bagi Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, bahasa Melayulah yang pantas. Mengutip pernyataan Mahsun (Antara, 8/8/2014) Malaysia dan Brunei memang berambisi besar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Ambisi itu didasari argumen bahwa bahasa Indonesia juga termasuk bahasa Melayu. Padahal faktanya bahasa Indonesia dan Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) berbeda. Bahasa Indonesia memiliki nilai tawar yang lebih. Menurut Supriyanto Widodo, dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ejaan bahasa Indonesia sudah lebih mapan. Selain itu, jumlah penutur bahasa Indonesia jauh lebih banyak. Hal itulah yang menguatkan harapan kita agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Persoalan pengakuan sebagai bahasa internasional tidak sebatas pada kebanggaan dan kemudahan hubungan antarnegara. Perlu kita sadari dampak yang ditimbulkan apabila bahasa Indonesia harus bertekuk lutut pada bahasa Melayu. Ada kepentingan yang jauh lebih besar. Ancaman disintegrasi bangsa. Adanya kemungkinan negara lain mudah mengakui suku bangsa di Indonesia yang berbahasa Melayu sebagai bagian dari negaranya. Sayangnya, kita tidak mengabaikan hal itu. Sekarang anak-anak kita rajin belajar bahasa Melayu. Tidak di sekolah, tapi di rumah, dari televisi. Anak-anak fasih berbahasa Melayu meniru tayangan Upin Ipin. Tayangan itu tidak disulih suara bahasa Indonesia. Suka tidak suka anak-anak kita menirukannya. DVD bajakan kumpulan animasi berbahasa Melayu bertebaran dijajakan di pinggir jalan. Ini fakta dan bahan renungan bersama. Kita patut berterima kasih kepada dangdut. Dangdut telah menjadi duta bahasa Indonesia. Lantunan lagu dangdut membahana di negera-negara tetangga. Memang membutuhkan kepedulian bersama. Kita harus bahu membahu mengangkat bahasa Indonesia. Semoga amanat institusi dalam Pasal 44 Ayat 1 UU No. 24/2009, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan, dapat terwujud. Sebagai target awal, minimal bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jangan sampai kita berurai air mata ketika bahasa Melayulah yang ‘bergoyang’ sebagai bahasa internasional. Seperti derai air mata penonton ketika menyaksikan Lesti menyanyikan lagu Keramat. Apakah bahasa Indonesia yang berhasil, ataukah bahasa Melayu yang berjaya? Kita tunggu saja. * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa Hampir setiap orang di negeri ini menggunakanku. Sayang, hanya sebagian kecil dari kalian yang paham siapa aku. Mungkin hanya sastrawan, jurnalis, linguis, dan kalangan pendidikan yang mencoba mengenalku dengan lebih baik. Bahasa Indonesia, itu namaku. Aku lahir dan besar seiring sejarah panjang negeri ini. Aku lahir dari semangat para pemuda mempersatukan bangsa. Tekad Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menobatkanku sebagai bahasa persatuan. Mempersatukan saudara-saudaraku bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Dayak, bahasa Banjar, dan ratusan bahasa daerah yang lain. Mempersatukan bangsa yang beribu pulau. Itu sebuah kepercayaan sekaligus kehormatan. Bersama rasa satu bangsa dan satu tanah air, aku berhasil mempersatukan negeri. Namaku bahasa Indonesia, bahasa perjuangan. Aku hadir dalam setiap komando melawan penjajah. Aku bangga, menjadi bahasa perjuangan Bung Tomo, memekikkan semangat arek-arek Surabaya pada tanggal 10 November 1945. “... Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya .... Aku pun bangga dipercaya pemimpin besar, Ir. Soekarno, menggunakanku sebagai bahasa teks proklamasi. Kalian mungkin tidak tahu betapa terharunya aku. Namaku bahasa Indonesia, bahasa aspirasi. Pada masa pembangunan aku menjadi bahasa suara ketimpangan dan ketidakadilan. Aku begitu sederhana dan mudah dipahami siapa saja, termasuk para pemangku kebijakan bangsa ini. Mereka pasti tahu, kecuali pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kerukunan. Aku bangga menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan agama, mengajak kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Akulah jembatan perbedaan. Menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Akulah sarana penyampai pesan kasih sayang. Dengan kasih sayang kita simpan bedil dan kelewang Punahlah gairah pada darah (W.S. Rendra) Namaku bahasa Indonesia. Katanya aku dibutuhkan, namun faktanya malah terabaikan. Tinggal menghitung hari usia 87 tahun. Tak terhitung pengorbanan yang kuberikan. Tak terkira lelah yang kuderita. Terus menjaga bangsa ini dalam satu dekapan. Tapi kenyataannya..., ya begitulah. Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah. Mungkin hiruk pikuk kehidupan kalian membuatku pantas terabaikan. Luangkan sejenak waktu kalian mendengarkan kegetiran yang kurasakan agar kalian tersadar dan tersulut semangat para pemuda yang dulu melahirkanku. Aku cukup senang sebagian kecil dari kalian telah berupaya melestarikan dan mengembangkanku. Bulan ini Bulan Bahasa. Meski tak semarak Agustusan. Sekolah, kampus, dan balai bahasa mengadakan beragam kegiatan. Pemilihan putra putri duta bahasa, lomba baca dan musikalisasi puisi, lomba menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba mendongeng, dan aneka lomba lainnya. Terima kasih sudah mencoba membuatku riang. Sekadar kalian tahu, segalanya sudah kucurahkan untuk bangsa ini. Sedang apa balasan kalian? Para politikus hitam memperalatku menyuarakan kepentingan sesaat atas nama rakyat. Para mafia hukum menyusun pasal-pasal ambigu yang sarat kepentingan. Pemangku kebijakan, yang tidak amanah, lihai memainkan gaya bahasa membuai harapan. Rasanya aku begitu kotor. Kalian gunakan aku untuk menghina dan menghujat. Hinaan dan hujatan bertebaran dalam orasi-orasi jalanan, di televisi, dan di ruang dewan yang katanya terhormat. Bahkan seorang presiden pun tak luput dari hinaan dan hujatan kalian. Kesantunan tutur kian hancur. Tidakkah kalian sadari, anak cucu kalian meniru yang kalian pertontonkan. Kalian tentu tak ingin diabaikan, terlebih diduakan. Namun, entah sadar atau tidak, kalian telah berlaku demikian. Bahasa Inggris kalian bangga-banggakan. Jalanan, perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan penuh sesak kata-kata yang sebagian besar kalian tidak mengerti. Mungkin aku kalah gengsi. Kini kalian benar-benar asing di negeri sendiri. Aku pun terima itu semua meski menyesakkan. Lagi-lagi aku harus menambah arti kesabaran. Kewajiban pekerja asing mengerti aku, kini tinggal kenangan. Demi kepentingan investasi, aku pun harus merelakan. Para pekerja itu tidak perlu mengerti aku. Mereka tidak perlu bisa membahasakanku. Namun kalian tidak menyadari, bahwa mengerti dan memahamiku salah satu jalan mengerti bangsa ini. Yah, sudahlah. Namaku bahasa Indonesia, aku kian tersingkir kian terpinggir. Tidakkah kalian sadari rasa cinta kalian pada tanah air ini kian sirna. Begitu pula sikap dan tindak bahasa kalian bak api yang melalap padang ilalang. Tidakkah kalian malu pada bangsa lain? Apakah perlu bangsa lain menyadarkan arti diriku? Apakah aku harus senasib seperti wayang kulit, reog, tari pendet, dan batik? Saat hendak diakui bangsa lain baru kalian pedulikan. Seorang mantan Presiden Singapura, Lee Kwan Yew, salut padaku. Baginya, keutuhan bangsa ini berkat peranku. Sebagai warisan para pendiri bangsa, aku sangat sentral menjaga keutuhan bangsa. Seandainya aku sirna, lalu dengan apa lagi bangsa ini kalian persatukan. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kalian. Bukankah kalian merasa bersaudara, kala di negeri orang, menggunakanku untuk saling bertegur sapa? Di mana rasa bangga kalian terhadapku, sedang bangsa lain ramai-ramai mempelajariku. Namaku bahasa Indonesia. Aku telah menemani perjalanan panjang bangsa ini. Namaku bahasa Indonesia. Rasa cintaku pada bangsa ini tidak perlu kalian ragukan lagi. Namamu bangsa Indonesia, bagaimana perasaanmu terhadapku? * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos Media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path dan lain-lain, makin naik daun. Hampir semua peselancar dunia maya memiliki akun media sosial. Jasa media sosial sangat besar. Kemenangan Obama dan Jokowi sebagai presiden tidak lepas dari kiprah media sosial. Masyarakat umum pun merasakan kelebihan media sosial. Bahkan ngegosip pun tidak lagi di kantin atau parkiran, cukup di media sosial. Betul ibu-ibu? Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, media sosial dapat berperan sebagai wadah kritik sosial. Media sosial hadir sebagai solusi sumbatan aspirasi. Berbagai ketidakberesan di masyarakat menjadi bahan kritikan. Kritikan di media sosial kian berisik, tajam, dan pedas. Masih hangat dalam ingatan, awal Februari lalu riuh cuitan “Cirebon Kota Tilang”. Para pengguna media sosial menggunjingkan kepolisian Cirebon. Mereka mengeluhkan banyaknya aksi tilang saat melintas di wilayah Cirebon. Alasan penangkapan pun terkesan mengada-ada. Beragam meme ‘Cirebon Kota Tilang’ bertebaran di media sosial. Rata-rata menggunakan bahasa humor, unik, dan menyentil. Hal itu tentu mencoreng nama baik Cirebon. Selain sebagai Kota Udang, Cirebon juga dikenal sebagai kota tilang. Polda Jawa Barat tidak tinggal diam. Dirlantas Polda Jawa Barat, Kombes Sugiharto, menerima kritikkan dengan lapang dada dan menganggap sebagai masukan dari masyarakat (Okezone.com, 22/2/2016). Oknum polisi yang terlibat pun langsung ditindak. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pembenahan kepolisian di Cirebon. Pengguna media sosial di Samarinda tidak mau ketinggalan. Belajar dari keberhasilan ‘Cirebon Kota Tilang’, pengguna media sosial di Samarinda kompak menyuarakan ‘Samarinda Kota Juru Parkir”. Keberadaan juru parkir liar di Samarinda dinilai sudah meresahkan. Lantaran mereka mengenakan tarif parkir seenaknya, bahkan mengarah pemerasan dan kekerasan. Pengguna media sosial meluapkan kekesalan dengan membuat beragam meme sindiran. Salah satunya, meme yang bertuliskan 'Selamat Datang di Samarinda Kota Jukir'. Gayung bersambut. Rupanya kritikan pengguna media sosial membuat Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang panas telinga. Jaang tidak terima dengan julukan baru kota yang dipimpinnya. Tindakan tegas pun diambil. Juru parkir liar ditertibkan. Selamat. Media sosial berhasil mendesak pemerintah Kota Samarinda mengatasi juru parkir liar. Dua kasus tersebut membuktikan bahwa media sosial efektif menjadi sarana perubahan. Para pemangku kebijakan tidak perlu alergi. Sudah bukan zamannya lagi antikritik. Hal itulah yang diajarkan presiden kita, Bapak Jokowi. Masyarakat kita semakin cerdas dalam melihat ketidakberesan pemerintahan. Suara mereka dapat bergulir cepat di media sosial. Positifnya tentu masyarakat lebih berani bersuara. Keluhan masyarakat pun lebih didengar. Meskipun demikian, tentu kritik yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan. Para pengguna media sosial harus dapat bertanggung jawab secara substansi maupun kemasan bahasanya. Jangan sampai kritik yang disampaikan melanggar kesopanan dan mencemarkan nama baik seseorang. Terlebih lagi menabrak aturan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian. Sayangnya sebagian besar pengguna media sosial belum memahami hal itu. Kasus penghinaan dan pencemaran nama baik justru semakin marak. Sepanjang tahun 2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI mencatat ada 791 kasus pencemaran nama baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan (Zifana, 2015). Kasus yang masih hangat terjadi di Ponorogo bulan November 2015 lalu. Gara-gara membuat meme yang dinilai menghina polisi, seorang pengguna media sosial harus berurusan dengan hukum. Seorang anggota Polantas keberatan dengan meme tentang dirinya yang cenderung melecehkan. Meme tersebut menggambarkan polisi tersebut tengah memegang radio seluler (handie talkie). Permasalahannya adalah penggambaran percakapan antara sang polisi dengan istrinya seputar ‘uang hasil tilang’. Kasus serupa banyak terjadi di daerah-daerah. Kemudahaan dan kebebasan pengguna media sosial menjadi pemicunya. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan bahasa yang santun menjadi faktor pendorong. Banyak pengguna media sosial yang mencuitkan kata-kata kasar, tuduhan tidak berdasar, dan membunuh karakter seseorang. Pengguna media sosial sebaiknya menyadari etika dan norma dalam bermedia sosial. Kritikan yang disampaikan harus atas dasar rasa peduli bukan membenci. Kebencian yang diwujudkan dalam kritikkan hanya akan merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Oleh karena itu, tutur bahasa yang santun di media sosial harus dijaga. Kita harus membuktikan bahwa Indonesia pantas dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh adat ketimuran. Boleh kita mengkritik, tetapi janganlah menghina. Keberagaman kritik di media sosial merupakan perwujudan dari kontrol sosial. Tingginya akses masyarakat di media sosial berpotensi membentuk ruang demokrasi baru. Media sosial menyediakan ruang rembuk dan perdebatan. Berjalannya waktu, masyarakat akan semakin dewasa dalam menyampaikan kritikan di media sosial. Begitu pula, setiap para pemangku kebijakan. Mereka harus semakin terbuka terhadap kritikan yang datang. Semoga. |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|