Ali K.BahasaOnline
Saat Anda melintas di jalan-jalan utama kota, cobalah berhenti sejenak. Jalanan begitu rimbun dengan produk media ruang luar, seperti spanduk dan baliho. Baca dengan saksama satu per satu. Bisa jadi isi pikiran kita sama, di mana saya ya? Secara fisik kita di negara tercinta, Indonesia. Kenyataannya kita disuguhi beragam tulisan didominasi kata dan istilah asing terutama bahasa Inggris. Gerbang-gerbang perumahan merasa gagah dengan embel-embel Residences, Village, Town Hills,Hill Residence, atau City. Penghuninya jangan-jangan tidak tahu artinya apa. Di depan pusat perbelanjaan, berjajar spanduk bertuliskan, GREAT SALE, BIG SALE UP TO 70%, dan Department Store. Gambar pramuniaga cantik di dalam mal seolah menyambut kita dengan “Welcome” kemudian baru berkata, “Selamat Datang”. Itu baru yang terlihat di jalan-jalan. Cobalah mencermati saat masuk hotel. Seolah demi mendongkrak hotel berbintang agar lebih berbintang-bintang, bahasa Inggris ditebar di mana-mana. Tamu dijamu tulisan “In” di pintu masuk. Petunjuk bertuliskan, Please Do not Disturb (dalam ukuran besar) menggelayut di pintu kamar. Seolah malu-malu, di bawahnya tersemat tulisan Mohon Jangan Ganggu dalam ukuran kecil. Tamu pun bisa tersasar saat membaca petunjuk Rest Room. Sebagian kita mengira, itu arah ke kamar tidur, eh ternyata toilet. Di bandara suasana asing kian terasa. Beragam petunjuk bertuliskan, Departure, Check in area, Drop Zone, Boarding Lounge,Parking Building, Pick Up Zone, Lost & Found. Parahnya, petunjuk seperti itu di beberapa bandara tanpa keterangan bahasa Indonesia. Kalaupun menggunakan keterangan bahasa Indonesia, ukurannya kecil dan posisinya di bawah tulisan bahasa Inggris. Fakta-fakta tersebut baru sedikit gambaran penggunaan bahasa di tempat umum. Sungguh memprihatinkan. Padahal kita tinggal di negara yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ironis lagi, segmen pembaca baliho maupun spanduk itu pun orang Indonesia. Begitu pula mayoritas pengunjung hotel, mal, dan bandara juga orang Indonesia. Lalu, mengapa bahasa Inggris lebih disanjung? Sejarah bahasa Indonesia, berjasa sampai sekarang sebagai pemersatu bangsa, tidak menjadikannya mendapat posisi terhormat. Bangsa sendiri saja kurang menghargai, apalagi bangsa lain. Saat ada anak negeri melamar pekerjaan di perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, semacam ada tuntutan penguasaan bahasa Inggris. Hal itu bisa jadi dilatarbelakangi jajaran petinggi yang lebih banyak berbahasa Inggris. Seharusnya para pekerja asing itulah yang menyesuaikan diri untuk belajar bahasa Indonesia. Sependapat dengan Menteri Tenaga Kerja, sebuah ketidakadilan apabila orang Indonesia hendak bekerja ke Jepang, Korea, Hongkong harus menguasai bahasa mereka. Giliran orang asing bekerja di Indonesia dengan modal terima kasih dan selamat pagi bisa mendapat posisi strategis. Persoalan Sikap Bahasa dan Berbahasa Fakta kecenderungan seseorang atau lembaga lebih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia terkait sikap bahasa dan berbahasa. Menurut Dr. Mansyur Pateda, sikap terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Permasalahan sikap bahasa dan berbahasa memang terjadi di seluruh dunia. Orang memiliki berbagai pandangan terhadap bentuk bahasa tertentu. Menurut Linda Thomas, orang bisa beranggapan bahwa bahasa atau varian bahasa tertentu sebagai bahasa yang elegan, ekspresif, vulgar, banyak menggunakan bunyi gultural, terdengar seperti musik, atau merasa bahwa bentuk bahasa yang satu adalah lebih sopan atau menyenangkan/tidak menyenangkan dibandingkan bahasa lain. Seseorang atau institusi tertentu lebih memilih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia bisa didasari beberapa alasan. Bahasa Inggris dianggap lebih eksklusif. Bahasa Inggris menimbulkan kesan kelas sosial tinggi. Bahasa Inggris lebih keren. Bahasa Inggris dapat mendongkrak nilai jual produk/jasa. Akibatnya, seperti yang kita jumpai. Bahasa Indonesia terkesan dikalahkan bahkan dianaktirikan. Persoalan sikap bahasa dan berbahasa tidak berhenti pada tulisan atau ucapan semata. Lebih dari itu, sikap bahasa berhubungan erat dengan nasionalisme. Kecintaan kita kepada bangsa Indonesia, salah satunya, terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa maupun berbahasa dapat menumbuhkan perasaan memiliki bahasa. Sedangkan untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, harus dimulai dari pemahaman bahwa bahasa Indonesia milik kita. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Sebenarnya, sudah ada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Seperti pada pasal 36 ayat (3) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Seandainya dua puluh satu pasal mengenai bahasa negara dalam UU tersebut dapat ditegakkan, kekacauan penggunaan bahasa tidak perlu ditemui lagi. Sedangkan terkait tenaga kerja asing, menurut Farah Fitriani, sebenarnya dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing pasal 26 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa salah satu persyaratan TKA bekerja di Indonesia adalah dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Peraturan tersebut belum dapat dijalankan dengan efektif karena belum ada peraturan lain yang khusus membahas pelaksanaan dan pengawasan mengenai TKA bisa berbahasa Indonesia. Semoga wacana Menteri Hanif Dhakiri yang akan memberikan Uji Kemampuan Bahasa Indonesia bagi TKA segera direalisasikan. Membutuh Kesadaran Bersama Upaya pemerintah membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, dinahkodai Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dukungan bersama. Sosialisasi dan penegakan aturan tentang penggunaan bahasa Indonesia di daerah-daerah harus dibarengi kepedulian masyarakat. Menjadi tanggung jawab bersama menjaga bahasa Indonesia agar tidak ‘asing di negeri sendiri’. Bukan berarti kita alergi globalisasi. Bahasa Iggris dan bahasa asing lainnya perlu kita kuasai. Meski demikian, bahasa Indonesia berhak mendapat posisi terhormat. Kita berkewajiban menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia. Keteladanan pemimpin di pusat maupun daerah menjadi keharusan. Kita akan dapat tersenyum bangga kala bertandang ke kantor-kantor, perumahan, pusat perbelanjaan, hotel, maupun bandara. Tulisan Selamat Datang (dalam ukuran besar) dan di bawahnya Welcome (dalam ukuran kecil) ramah menyambut kita. Para pekerja kita pun percaya diri menyapa pekerja asing, “Selamat pagi”. * Opini Ali Kusno belum dipublikasikan |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|