Ali K.BahasaOnline
Hampir setiap orang di negeri ini menggunakanku. Sayang, hanya sebagian kecil dari kalian yang paham siapa aku. Mungkin hanya sastrawan, jurnalis, linguis, dan kalangan pendidikan yang mencoba mengenalku dengan lebih baik. Bahasa Indonesia, itu namaku. Aku lahir dan besar seiring sejarah panjang negeri ini. Aku lahir dari semangat para pemuda mempersatukan bangsa. Tekad Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menobatkanku sebagai bahasa persatuan. Mempersatukan saudara-saudaraku bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Dayak, bahasa Banjar, dan ratusan bahasa daerah yang lain. Mempersatukan bangsa yang beribu pulau. Itu sebuah kepercayaan sekaligus kehormatan. Bersama rasa satu bangsa dan satu tanah air, aku berhasil mempersatukan negeri. Namaku bahasa Indonesia, bahasa perjuangan. Aku hadir dalam setiap komando melawan penjajah. Aku bangga, menjadi bahasa perjuangan Bung Tomo, memekikkan semangat arek-arek Surabaya pada tanggal 10 November 1945. “... Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya .... Aku pun bangga dipercaya pemimpin besar, Ir. Soekarno, menggunakanku sebagai bahasa teks proklamasi. Kalian mungkin tidak tahu betapa terharunya aku. Namaku bahasa Indonesia, bahasa aspirasi. Pada masa pembangunan aku menjadi bahasa suara ketimpangan dan ketidakadilan. Aku begitu sederhana dan mudah dipahami siapa saja, termasuk para pemangku kebijakan bangsa ini. Mereka pasti tahu, kecuali pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kerukunan. Aku bangga menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan agama, mengajak kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Akulah jembatan perbedaan. Menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Akulah sarana penyampai pesan kasih sayang. Dengan kasih sayang kita simpan bedil dan kelewang Punahlah gairah pada darah (W.S. Rendra) Namaku bahasa Indonesia. Katanya aku dibutuhkan, namun faktanya malah terabaikan. Tinggal menghitung hari usia 87 tahun. Tak terhitung pengorbanan yang kuberikan. Tak terkira lelah yang kuderita. Terus menjaga bangsa ini dalam satu dekapan. Tapi kenyataannya..., ya begitulah. Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah. Mungkin hiruk pikuk kehidupan kalian membuatku pantas terabaikan. Luangkan sejenak waktu kalian mendengarkan kegetiran yang kurasakan agar kalian tersadar dan tersulut semangat para pemuda yang dulu melahirkanku. Aku cukup senang sebagian kecil dari kalian telah berupaya melestarikan dan mengembangkanku. Bulan ini Bulan Bahasa. Meski tak semarak Agustusan. Sekolah, kampus, dan balai bahasa mengadakan beragam kegiatan. Pemilihan putra putri duta bahasa, lomba baca dan musikalisasi puisi, lomba menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba mendongeng, dan aneka lomba lainnya. Terima kasih sudah mencoba membuatku riang. Sekadar kalian tahu, segalanya sudah kucurahkan untuk bangsa ini. Sedang apa balasan kalian? Para politikus hitam memperalatku menyuarakan kepentingan sesaat atas nama rakyat. Para mafia hukum menyusun pasal-pasal ambigu yang sarat kepentingan. Pemangku kebijakan, yang tidak amanah, lihai memainkan gaya bahasa membuai harapan. Rasanya aku begitu kotor. Kalian gunakan aku untuk menghina dan menghujat. Hinaan dan hujatan bertebaran dalam orasi-orasi jalanan, di televisi, dan di ruang dewan yang katanya terhormat. Bahkan seorang presiden pun tak luput dari hinaan dan hujatan kalian. Kesantunan tutur kian hancur. Tidakkah kalian sadari, anak cucu kalian meniru yang kalian pertontonkan. Kalian tentu tak ingin diabaikan, terlebih diduakan. Namun, entah sadar atau tidak, kalian telah berlaku demikian. Bahasa Inggris kalian bangga-banggakan. Jalanan, perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan penuh sesak kata-kata yang sebagian besar kalian tidak mengerti. Mungkin aku kalah gengsi. Kini kalian benar-benar asing di negeri sendiri. Aku pun terima itu semua meski menyesakkan. Lagi-lagi aku harus menambah arti kesabaran. Kewajiban pekerja asing mengerti aku, kini tinggal kenangan. Demi kepentingan investasi, aku pun harus merelakan. Para pekerja itu tidak perlu mengerti aku. Mereka tidak perlu bisa membahasakanku. Namun kalian tidak menyadari, bahwa mengerti dan memahamiku salah satu jalan mengerti bangsa ini. Yah, sudahlah. Namaku bahasa Indonesia, aku kian tersingkir kian terpinggir. Tidakkah kalian sadari rasa cinta kalian pada tanah air ini kian sirna. Begitu pula sikap dan tindak bahasa kalian bak api yang melalap padang ilalang. Tidakkah kalian malu pada bangsa lain? Apakah perlu bangsa lain menyadarkan arti diriku? Apakah aku harus senasib seperti wayang kulit, reog, tari pendet, dan batik? Saat hendak diakui bangsa lain baru kalian pedulikan. Seorang mantan Presiden Singapura, Lee Kwan Yew, salut padaku. Baginya, keutuhan bangsa ini berkat peranku. Sebagai warisan para pendiri bangsa, aku sangat sentral menjaga keutuhan bangsa. Seandainya aku sirna, lalu dengan apa lagi bangsa ini kalian persatukan. Namaku bahasa Indonesia, bahasa kalian. Bukankah kalian merasa bersaudara, kala di negeri orang, menggunakanku untuk saling bertegur sapa? Di mana rasa bangga kalian terhadapku, sedang bangsa lain ramai-ramai mempelajariku. Namaku bahasa Indonesia. Aku telah menemani perjalanan panjang bangsa ini. Namaku bahasa Indonesia. Rasa cintaku pada bangsa ini tidak perlu kalian ragukan lagi. Namamu bangsa Indonesia, bagaimana perasaanmu terhadapku? * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|