Ali K.BahasaOnline
Telah usai perhelatan kompetisi dangdut bertajuk Dangdut Academy Asia (DAA) di salah satu stasiun televisi swasta. Suguhan dangdut dengan kemasan berbeda. Peserta dari negera-negera tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, ikut berkompetisi. Musik dangdut pun naik kasta. Satu hiburan tersendiri di tengah gaduhnya politik negeri dan kesulitan ekonomi. Ada yang menarik. Bisa dibilang keanehan, bisa juga keunikan. Tidak lain bahasa para komentator dan juri dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sungguh menggelitik untuk dikulik. Pemirsa tentu bertanya-tanya. Semoga benar tebakan saya. Kok bahasanya ada yang sama dengan bahasa Indonesia, ya? Kok ada kata-kata yang dituturkan terasa tabu bagi kita? Sebagian kita mungkin tidak menyadari. Selain persaingan kualitas suara peserta, juga ada unjuk bahasa. Antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Unjuk bahasa pada lirik lagu. Unjuk bahasa para komentator dan juri dari negara yang berbeda. Sedikit mengingat sejarah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Akar dialek Melayu di Indonesia berbeda dengan Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Sesudah Traktat London 1824 yang ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Bahasa Melayu Riau (kepulauan Nusantara) lebih berkembang pesat dibandingkan bahasa Melayu Johor (Semenanjung Melayu dan Singapura). Seiring perjalanan sejarah, kedua bersaudara itu semakin menunjukkan perbedaan. Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan itu, pertama, dari latar belakang penjajahan. Bahasa Indonesia lebih menyerap bahasa Belanda. Bahasa Malayu (kususnya di Malaysia) lebih menyerap bahasa Inggris. Kedua, dari segi perlakuan, kedua bahasa tersebut diperlakukan sesuai dengan kebijakan kebahasaan di negara masing-masing. Ketiga, dari segi penyerapan kata di negara masing-masing, bahasa Indonesia menyerap pula bahasa-bahasa daerah di Indonesia (https://id.wikipedia.org). Sedikit dari fakta perbedaan itu telah diperankan para komentator dan juri di DAA. Ada penggunan ejaan yang berbeda. Masih ingat perdebatan soal lirik lagu Janji yang diciptakan Alm. A.Rafiq, dan dinyanyikan peserta dari Malaysia. Penggalan lagu itu dinyanyikan dengan, ...sungguh kau tak pandai menimbang rasa, ‘kerana’ janjimu diriku tersiksa.... Dalam Bahasa Indonesia menggunakan kata ‘karena,’ sedangkan dalam bahasa Malayu menggunakan kata ‘kerana.’ Ada juga kata yang sama memiliki makna berbeda. Contohnya pada saat komentator dari Malaysia mengomentari penampilan peserta, dengan mengucapkan “...memek muka” yang mengacu pada raut wajah seseorang. Tuturan itu sontak membuat kita terhenyak. Bagi penutur bahasa Indonesia, kata ‘memek’ memiliki arti, (maaf) mengacu kepada alat kelamin wanita. Sedangkan kata yang mengacu pada raut wajah dalam bahasa Indonesia menggunakan kata ‘mimik.’ Sebaliknya kata ‘butuh’, dalam bahasa Indonesia yang berarti ‘perlu,’ bagi penutur bahasa Melayu itu tabu. Kata ‘butuh’ dalam bahasa Melayu bermakna alat kelamin pria. Perbedaan makna kata juga tampak pada saat komentator mengatakan, “... semoga kau sukses bila-bila” yang bermakna semoga kau sukses selalu. Selain itu, ada kata yang sama, namun penggunaan huruf berbeda. Beberapa kata bahasa Melayu yang muncul dalam percakapan acara tersebut, seperti berbeza (berbeda), ade (ada), kate-kate (kata-kata), dan sikit (sedikit). Benar-benar ‘terpampang nyata’. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) jelas-jelas berbeda. Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang pantas? Bahasa Indonesia dan Malayu tengah berkompetisi. Siapa yang pantas dinobatkan sebagai bahasa internasional. Bagi Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam, bahasa Melayulah yang pantas. Mengutip pernyataan Mahsun (Antara, 8/8/2014) Malaysia dan Brunei memang berambisi besar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Ambisi itu didasari argumen bahwa bahasa Indonesia juga termasuk bahasa Melayu. Padahal faktanya bahasa Indonesia dan Melayu (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam) berbeda. Bahasa Indonesia memiliki nilai tawar yang lebih. Menurut Supriyanto Widodo, dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ejaan bahasa Indonesia sudah lebih mapan. Selain itu, jumlah penutur bahasa Indonesia jauh lebih banyak. Hal itulah yang menguatkan harapan kita agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Persoalan pengakuan sebagai bahasa internasional tidak sebatas pada kebanggaan dan kemudahan hubungan antarnegara. Perlu kita sadari dampak yang ditimbulkan apabila bahasa Indonesia harus bertekuk lutut pada bahasa Melayu. Ada kepentingan yang jauh lebih besar. Ancaman disintegrasi bangsa. Adanya kemungkinan negara lain mudah mengakui suku bangsa di Indonesia yang berbahasa Melayu sebagai bagian dari negaranya. Sayangnya, kita tidak mengabaikan hal itu. Sekarang anak-anak kita rajin belajar bahasa Melayu. Tidak di sekolah, tapi di rumah, dari televisi. Anak-anak fasih berbahasa Melayu meniru tayangan Upin Ipin. Tayangan itu tidak disulih suara bahasa Indonesia. Suka tidak suka anak-anak kita menirukannya. DVD bajakan kumpulan animasi berbahasa Melayu bertebaran dijajakan di pinggir jalan. Ini fakta dan bahan renungan bersama. Kita patut berterima kasih kepada dangdut. Dangdut telah menjadi duta bahasa Indonesia. Lantunan lagu dangdut membahana di negera-negara tetangga. Memang membutuhkan kepedulian bersama. Kita harus bahu membahu mengangkat bahasa Indonesia. Semoga amanat institusi dalam Pasal 44 Ayat 1 UU No. 24/2009, pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan, dapat terwujud. Sebagai target awal, minimal bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jangan sampai kita berurai air mata ketika bahasa Melayulah yang ‘bergoyang’ sebagai bahasa internasional. Seperti derai air mata penonton ketika menyaksikan Lesti menyanyikan lagu Keramat. Apakah bahasa Indonesia yang berhasil, ataukah bahasa Melayu yang berjaya? Kita tunggu saja. * Opini Ali Kusno belum dimuat di media massa |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|