Ali K.BahasaOnline
Masih ingat dengan rapat mediasi, 5 Maret 2015 yang diadakan Kemendagri menengahi kisruh antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta? Selain masih berlarut-larutnya masalah itu sampai sekarang juga masih ada penggalan cerita di akhir mediasi. Rapat berakhir buntu. Beberapa oknum diduga anggota DPRD DKI Jakarta melontarkan umpatan, "Gubernur goblok..!"; "Ahok dan SKPD anjing..!"; “Anjing! Bangsat! Sangat memalukan”. Terbaru, muncul kasus yang menyenggol sastrawan Saut Situmorang. Saut ditangkap polisi karena mengeluarkan kata-kata kasar di Facebook, “Jangan mau berdamai dengan bajingan”. Saat itu Saut mengomentari sebuah tautan tentang polemik buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh. Terlepas dari kasus-kasus tersebut. Siapa yang benar siapa yang salah? Menarik bagi kita untuk membahas umpatan-umpatan tersebut. Sejarah Umpatan Anjing, Bangsat, dan Bajingan Kemarahan sewaktu-waktu bisa hinggap pada diri seseorang. Ketika marah dan tidak dapat mengontrol kemarahan, orang berpeluang besar untuk mengumpat. Mengumpat dalam KBBI daring berarti mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb); mencerca; mencela keras; mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik; memaki-maki. Di antara sekian banyak umpatan, rupanya umpatan anjing, bangsat, tai, dan bajingan sedang naik daun. Anjing. Menurut Hendri F. Esnaeni, anjing kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayang. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. ‘Pasai’ kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Anjing sebagai umpatan, bermula ketika Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), menyamakan Raja Mataram, Sultan Agung, dengan ‘seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.’ Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis, ’Verboden voor Inlanders en Honden’ (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Para politisi dan rakyat Belanda pun mengecap Sukarno sebagai ‘anjing piaraan Jepang’. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda sebagai ‘Anjing Belanda’. Anjing sebagai umpatan mengalami perluasan pemakaian. Di beberapa tembok rumah-rumah kosong, biasanya ada tulisan, ‘Dilarang kencing di sini kecuali anjing’. Di tanah-tanah kosong ada plang bertuliskan, ‘Dilarang buang sampah di sini kecuali anjing’. Bangsat. Bangsat dalam KBBI berarti kutu busuk atau kepinding; orang yang bertabiat jahat (terutama suka mencuri mencopet, dsb.). Dalam bahasa Jawa, bangsat disebut tinggi, yakni kutu busuk yang bisa ditemukan di kursi anyaman atau tempat tidur. Bangsat meminum darah manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, istilah bangsat ini mengalami pergeseran makna sebagai sebuah umpatan kekecewaan. Bajingan. Bajingan dalam KBBI berarti penjahat, pencopet, kurang ajar (kata makian). Mengutip Merdeka.com, umpatan bajingan awalnya merujuk pada pengendara gerobak sapi. Konon, pada tahun 1940-an, istilah bajingan ini pertama kali muncul di daerah Banyumas. Pada saat itu sarana transportasi sulit ditemukan. Sarana transportasi alternatif paling banyak gerobak sapi. Masalahnya, kedatangan bajingan ini bisa dibilang suka-suka. Terkadang pagi, siang, sore, bahkan terkadang malam hari. Yah, mungkin sapinya lelah. Masyarakat yang tidak bertemu dengan bajingan, mau tidak mau ya jalan kaki. Seiring waktu banyak warga yang tanpa sengaja melontarkan kalimat-kalimat ketidakpuasan terhadap bajingan. Sejak itulah istilah bajingan ngetren sebagai umpatan karena keterlambatan seseorang, misalnya, "Bajingan, ditunggu-tunggu tidak datang?" Sekarang umpatan itu pun berkembang luas dan umum. Kalau iseng-iseng kita pikir, sebenarnya apa salah anjing? Apa salah bangsat? Apa salah bajingan? Kasihan nama mereka tercemar. Untung mereka tidak pernah mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Tidak terhitung lagi orang yang dapat terjerat. Lha, hampir tiap hari orang menggunakannya sebagai umpatan. Penyebab Ketidaksantunan Luncuran umpatan saat bertutur dianggap sebagai bentuk ketidaksantunan. Pranowo mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan tuturan menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain: menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase yang kasar; didorong rasa emosi; penutur protektif terhadap pendapatnya; sengaja ingin memojokkan mitra tutur; dan menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Sekarang ini yang dikhawatirkan, umpatan yang dituturkan pejabat negara maupun publik figur di media massa maupun media sosial, akan ditiru anak-anak. Kita, yang katanya memegang adat ketimuran, diharapkan memperhatikan kesantunan dalam tuturan. Lebih penting dari itu, anak selain diajarkan santun bertutur juga perlu diajarkan santun berperilaku. Etika bertutur harus didukung dengan perilaku. Ada orang etika tuturannya santun, tetapi perilakunya sebaliknya. Orang seperti itulah yang memancing Ahok mengumpat untuk ke sekian kalinya. Ahok menjuluki orang-orang seperti itu dengan ‘tai’. Menurutnya kata yang paling cocok dan halus untuk orang-orang yang ngembat uang rakyat, ya ‘tai’ . Ada juga orang yang mengumpat orang lain, tetapi tidak sadar sebenarnya dialah yang lebih pantas mendapat umpatan itu. Mengumpat orang lain anjing, padahal dirinya yang lebih pantas mendapat umpatan anjing. Mengumpat orang lain bangsat, padahal dirinya sendiri bangsat. Mengumpat orang lain bajingan, padahal dirinya yang lebih pantas disebut banjingan. Kok saya jadi ikutan mengumpat. Maaf. Hendaklah kita pandai-pandai menjaga lidah, termasuk tidak mengumpat. Jangan sampai orang berprasangka buruk karena lidah kita ringan mengumpat. Jangankan mengumpat sesama, mengumpat nyamuk saja Rasulullah melarang. Dalam hadits riwayat Ahmad, Al-Bukhari dalam “Al-Adab al-Mufrad”, Al-Bazzar, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam “Syu’bul Iman”; dari Anas bin Malil, bahwa sesungguhnya Rasulullah mendengar seorang lelaki mengumpat nyamuk. Lalu beliau bersabda, “Jangan kau umpat nyamuk (itu), karena sesungguhnya ia membangunkan seorang nabi dari para nabi untuk melakukan sholat fajar!”. Bapak dan Ibu terhormat yang memegang amanah rakyat, biasanya santun bertutur. Semoga santun pula perilakunya. Kalau bahasanya santun, tetapi ternyata korupsi, itu sih memaksa rakyat berbuat dosa untuk berkata, “Dasar pejabat perilaku bangsat!”. Aduh, maaf saya mengumpat lagi. * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|