Ali K.BahasaOnline
aLelaki renta setengah baya Geram di trotoar jalan Saat panas tikam kepala Seorang buruh disingkirkan Bising mesin menyulut resah Masih bisa engkau pendam Canda anak istri di rumah Bangkitkan kau untuk bertahan Itulah penggalan lirik lagu PHK karya Iwan Fals. PHK menjadi mimpi buruk sekaligus malaikat maut bagi kaum buruh. Awal bulan Mei 2015 menjadi momentun istimewa. Hingar bingar para pekerja merayakan hari besar mereka. 1 Mei, Hari Buruh Sedunia. Beberapa ruas jalan utama di Ibukota diliburkan. Jalanan menjadi panggung bagi ribuan buruh menyuarakan segala tuntutan. Buruh dalam KBBI dimaknai sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Perkembangannya saat ini, kata buruh mengalami perubahan makna peyoratif. Kata buruh diidentikkan dengan pekerja kasar dengan status sosial rendah. Buruh mempunyai sejarah panjang seiring sejarah bangsa. Buruh sudah lama lahir di desa-desa. Kita yang mempunyai sejarah tinggal di desa atau saat ini tinggal di desa, kata buruh sangat akrab di telingga. Buruh di desa identik dengan buruh tani. Bicara tentang buruh mengingatkan pada ibu-ibu di kampung dulu. Salah satunya, sebut saja Simbok. Simbok dengan buruh tani yang lain berangkat pagi-pagi. Mereka tidak memakai seragam. Baju lengan panjang, jarik ataupun celana panjang seadanya melekat di badan. Hanya caping yang membuat mereka tampak rampak. Kala ditanya ke mana, serempak mereka menjawab, "Buruh tandur (tanam) ”. Buruh di desa menyesuaikan masa tanam. Ada buruh macul (cangkul), buruh tandur/tanam, buruh matun/menyiangi, dan buruh panen. Tidak ada spesialisasi, orangnya itu-itu saja. Mereka tidak ada serikat buruh macul, buruh tandur, buruh matun, ataupun buruh panen. Seandainya ada, mungkin setiap tanggal 1 Mei mereka juga libur ke sawah. Para buruh tani sebagian besar tidak mempunyai sawah ataupun ladang. Untuk menyambung hidup keluarga, mereka mengandalkan hasil upah buruh. Dulu mereka dalam sehari biasanya mendapat upah antara lima ribu sampai sepuluh ribu. Kalau sekarang sudah mengalami kenaikan pada kisaran empat puluh ribu. Terkadang kalau buruh panen, dibayar dengan menggunakan gabah atapun singkong. Persoalan kenaikan upah, biasanya diselesaikan dengan dasar ilmu tahu sama tahu. Misalnya, saat paceklik, Simbok dan teman-temannya menyadari dan mau menerima upah yang kurang. Sebaliknya, saat hasil panen melimpah, pemilik sawah ikhlas memberi upah lebih dari biasanya. Kedua pihak saling mengerti. Kedua pihak saling memahami. Ketiadaan buruh tani membuat padi-padi di sawah tenggelam dalam rimbun rerumputan. Sebaliknya, apabila pemilik sawah membiarkan sawahnya bero tanpa tanaman, buruh tani pun bingung mencari makan. Simbok bekerja sebagai buruh, anaknya pun tidak mau ketinggalan. Si anak mengisi libur sekolah dengan nginthil Simbok ke sawah. Anaknya ikut ndaut (mencabut bibit dari persemaian), atau sekadar mencabuti rumput. Panas terik mentari justru membakar semangat anak itu. Dia tidak merasa bekerja. Semua yang dilakukan bagian dari senang-senang. Ya, mungkin sama senangnya anak-anak sekarang yang asyik memainkan ponsel pintarnya. Istirahat makan siang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Si anak ikut makan bekal yang dibawa pemilik sawah. Kalau beruntung bonus es dawet. Ehm, segarnya. Untuk mendapat ‘upah’ makan siang dan es dawet itu, Si anak harus menyelesaikan tugasnya. Si anak belajar makna ulet dan tekun. Si anak belajar makna bekerja keras, untuk meraih sesuatu butuh perjuangan dan kesabaran. Saat sedang makan dan berteduh di bawah rimbun pohon jati, simbok mengelus kepala anaknya. “Le, sekolah sek pinter yo. Ojo koyo Simbok. Wong bodo isone buroh. Sekolah sek dhuwur. Kerjo ben cekelane pulpen, dudu pacul. Simbok mung iso ndongo.” Si anak pun mengangguk. Anak belajar arti penting pendidikan. Anak belajar arti penting motivasi mengukir hidup yang lebih baik. Selesai buruh dari sawah, Simbok menuntun sepeda membawa karung besar berisi rerumputan. Si anak ikut mendorong sepeda. Saat itulah anak belajar berbakti kepada orangtua. Rangkaian pelajaran berharga dari guru dan sekolah istimewa. Orang desa seperti Simbok itu, tidak pernah tahu, setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Simbok tidak mengenal Ki Hajar Dewantara. Namun, keseharian Simbok sudah diwarnai dengan penerapan, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Simbok tidak tahu apa itu kurikulum. Simbok memberikan pendidikan kepada anak sebisa dan setahunya. Simbok tidak menekankan berhitung dan membaca, tetapi menghayati ilmu hidup dan kehidupan. Apa yang telah diberikan Simbok kepada anaknya, sekarang dikenal dengan pendidikan karakter. Simbok tidak pernah mendapatkan penyuluhan apalagi pelatihan. Kemuliaan ilmu Simbok diamini Daniel Muhammad Rosyid, (Jawapos, 1/5/15). Rosyid menyampaikan pentingnya pendidikan keluarga. Keteladanan karakter orangtua harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Memaknai Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional Ini merupakan kehendak Ilahi. Menyandingkan Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional dalam dua hari berurutan. Simbok telah terlebih dahulu memaknai kedua peringatan itu. Buruh tani bukan sebuah pilihan, melainkan paksaan keadaan. Getirnya keadaan sebagai buruh tani menjadi pelajaran berharga. Apa yang dialami dan dijalani jangan lagi diwariskan. Keadaan harus berubah. Karakter pekerja keras, ulet, sabar, dan tidak lelah meraih cita harus dibenamkan dalam benak anak. Pendidikan menjadi jalan mengubah kegetiran menjadi senyuman. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang bermental ‘buruh tani’ bekerja keras sepenuh hati. Semoga kita menjadi ‘Simbok’ yang mencetak karakter anak-anak negeri. Maaf, sedikit terlambat. Selamat Hari Buruh Sedunia. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jayalah Indonesia. * Opini Ali Kusno dimuat di Kaltim Post |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|