Ali K.BahasaOnline
“Saya bersedia mengganti seluruh pengeluaran sponsorship maupun CSR untuk pengadaan mobil listrik kalau memang proyek tersebut tidak diperbolehkan menggunakan dana sponsorship atau CSR. Saya merasa sedih karena mantan anak buah saya di kementerian BUMN dijadikan tersangka karena mengkoordinasikan CSR/sponsorship untuk pembuatan mobil listrik.” (Dahlan Iskan) Marah, sedih, bercampur jengkel. Mungkin itulah gambaran perasaan Dahlan Iskan dalam penggalan catatan ‘Mobil Listrik’ di gardudahlan.com. Dahlan Iskan pada 5 Juni 2015 ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Sebuah berita besar. ‘Dahlan Iskan Tersangka’ menjadi headline media massa nasional. Sebuah antiklimaks citra Dahlan Iskan selama menjabat Dirut PLN maupun Menteri BUMN. Selama ini masyarakat mengenal sosok Dahlan Iskan yang sederhana, bersih, dan merakyat. Sebagai rakyat biasa yang sebatas kenal dari catatan-catatan beliau, tentu kaget. Penetapan tersangka tersebut juga menimbulkan kekhawatiran Dahlan Iskan bakal mengunakan halaman-halaman Jawa Pos Group sebagai corong sekaligus tameng. Kekhawatiran itu segera dijawab dalam catatan ‘Soal Corong’. Dahlan Iskan memastikan tidak menggunakan Jawa Pos Group sebagai media menghadapi perkara yang membelitnya. Dahlan Iskan lebih memilih gardudahlan.com sebagai media klarifikasi kepada masyarakat. Penulis tidak ingin masuk pada carut marut perkara hukum tersebut. Tidak kalah menarik dari perkara hukum, pilihan Dahlan Iskan agar Jawa Pos Group tidak cawe-cawe. Media dan Kekuasaan Fakta media massa, sebagai salah satu sarana yang banyak digunakan untuk mengakses informasi, tidak terbantahkan. Media massa berpotensi memproduksi, menyebarluaskan, dan menentukan makna sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa dapat dimaknai positif maupun negatif dengan giringan media massa. Kelebihan media massa tersebut memang rentan disalahgunakan. Media massa dapat dimanfaatkan sebagai sarana mempengaruhi masyarakat. Media massa dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini masyarakat. Bila media massa dalam cengkraman penguasa, fungsi kontrol pun hilang. Menurut Joanna Thornborrow (Thomas, 2006) salah satu aspek penting dari potensi kekuasaan media jika dilihat dari sudut pandang linguistik adalah cara media memberitakan orang atau kejadian. Bentuk linguistik tentu dapat mempengaruhi nuansa dan makna yang ditimbulkan. Dua artikel dari media yang berbeda, cenderung menggunakan bentuk linguistik yang juga berbeda. Meski kejadian atau permasalahan sama. Meski sumber beritanya sama. Bila bentuk linguistik berbeda, penafsiran pun bisa berbeda. Dahlan Iskan sebenarnya memungkinkan mengarahkan Jawa Pos Group membentuk opini masyarakat ‘Dahlan Iskan tidak bersalah’. Dahlan Iskan sangat memungkinkan memberikan klarifikasi versinya. Jawa Pos Group layaknya ‘anak-anak’ Dahlan Iskan. Kalau pun tidak ada perintah, Jawa Pos Group bisa berlaku mikul duwur mendem jero. Menyampaikan kebaikan Dahlan Iskan dan memendam kekurangannya. Rupanya Dahlan Iskan tidak ingin itu terjadi. Dahlan Iskan tidak ingin menjerumuskan Jawa Pos Group. “Biarlah (Jawa Pos Group) menjadi corong bagi siapa saja.” Bisa jadi Dahlan Iskan belajar dari dunia pertelevisian kita. Sudah rahasia umum. Beberapa stasiun televisi berafilisasi dengan partai politik. Suguhan tontonannya pun ikut dipolitisasi. Sebagai contoh, Umar Fauzan dalam disertasinya Analisis Wacana Kritis Teks Berita MetroTV dan tvOne mengenai ‘Luapan Lumpur Sidoarjo’ (pasca.uns.ac.id) telah membuktikan. Dalam berita terkait ‘Luapan Lumpur Lapindo’ struktur teks MetroTV tidak hanya berisi pemaparan peristiwa. MetroTV juga memberi pemaparan hal-hal negatif yang mengangkat hal tidak baik (buruk) dari PT Lapindo Brantas. Sebaliknya, struktur teks tvOne tidak hanya berisi pemaparan informasi sebagaimana lazimnya teks berita. TvOne juga memberi nuansa argumentasi untuk teks berita. Tujuannya jelas, menetralkan isu-isu yang negatif. Secara ideologi, MetroTV menggunakan pencitraan negatif dengan menyerang. Sebaliknya ideologi tvOne menggunakan pencitraan positif dengan membela diri dan menentralkan isu-isu negatif pihak lain. Kedua seteru tentu berebut simpati dari masyarakat. Fakta tersebut membuktikan media massa yang terkontaminasi kepentingan tertentu maka tumpullah penanya. Wacana ‘Gardu’ Akal Sehat Catatan tidak bisa lepas dari sosok Dahlan Iskan. Baik saat menjabat CEO Jawa Pos, Dirut PLN, Menteri BUMN, maupun waktu ‘Menuntut Ilmu di AS’. Kini Dahlan Iskan memiliki kesibukan tambahan. Jabatan ‘tersangka’ memaksa beliau membuat catatan Gardu Akal Sehat Dahlan Iskan. Menurut penulis, catatan dalam gardudahlan.com efektif memberi pemahaman masyarakat tentang duduk perkara yang membelit Dahlan Iskan. Meskipun penjelasan Dahlan Iskan singkat. Meskipun penjelasan Dahlan Iskan sepotong-sepotong. Beliau membutuhkan waktu memutar ulang cuplikan episode yang sudah lama tayang. Masyarakat yang setia membaca setiap catatan Dahlan Iskan tentu lebih mudah memahami. Mereka lebih ‘nyambung’. Kebijakan maupun terobosan yang dilakukan Dahlan Iskan selama menjabat Dirut PLN maupun Menteri BUMN terekam dalam bundel catatan. Kecuali riak-riak tersembunyi yang Dahlan Iskan tak berkenan menuliskannya. Kita mengenal Dahlan Iskan sebagai mantan wartawan yang lihai merangkai catatan. Bahasanya enak dan mengalir. Bahasanya mudah dipahami pembaca. Semoga beliau juga lihai membuat catatan hukum. Pembelaan atas jeratan hukum yang mebelitnya. Dahlan Iskan orang yang bersih. Aroma citra itu keluar dari keringat kerja keras Dahlan Iskan. Kini episode hidup Dahlan Iskan ceritanya lebih menantang. Ceritanya penuh kejutan. Semoga Dahlan Iskan mampu menjaga citra yang kita kenal selama ini. Dahlan Iskan ‘bapak’ yang baik. Beliau tidak ingin menjerumuskan ‘anak-anak’nya ke jurang kesesatan. Biarlah Jawa Pos Group menjadi milik masyarakat. Semoga ketajaman pena Jawa Pos Group tetap terjaga. Kita lihat saja. * Opini Ali Kusno dimuat di Jawa Pos |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|