Ali K.BahasaOnline
“Kita? Kamu saja kali. Lah, saya sih, enggak.” Begitulah selorohan seseorang saat menampik lawan bicara yang mengatasnamakan ‘kita’ sedangkan dirinya tidak merasa atau tidak mau dilibatkan. Kata ‘kita’ dan ‘kami’ sebagai bentuk kata ganti sering hadir dalam komunikasi sehari-hari. Kedua kata itu sederhana, namun ada saja yang salah dalam menggunakan. Lebih sering tertukar penggunaannya. atau bisa jadi sengaja dipertukarkan. Kesalahan terjadi karena tidak paham. Bisa juga kesalahan terjadi karena kesengajaan alias penyimpangan. Kesalahan itu tentu menimbulkan perbedaan penafsiran. Anda sering menonton acara televisi? Pasti. Ada persoalan penggunaan ‘kita’ yang menggelitik dalam salah satu iklan produk kosmetik. Dalam iklan itu terdapat dialog antara anak gadis, sebut saja Si Cantik, dengan kedua orangtuanya. Si Cantik hendak dijodohkan. Pada bagian akhir iklan, Si Cantik berkata kepada kedua orangtuanya, “Oke Aku akan menikah, tapi setelah aku lulus S2. Seperti dia, aku juga harus terpelajar. Punya karier bagus. (Sambil melihat Ayahnya) Baru..., kita berdua akan menjadi jodoh yang pas. Jadi sama, kan?” Kata ‘kita,’ yang diucapkan Si Cantik, maksud sebenarnya merujuk pada ‘dia dan calon suaminya.’ Apabila melihat konteks iklan tersebut, dapat dimaknai yang akan menikah justru Si Cantik dan Ayahnya. Pemirsa pun gagal paham. Seharusnya kata yang digunakan ‘kami’. Jadi kalimatnya menjadi, “Baru..., kami berdua akan menjadi jodoh yang pas. Jadi sama, kan?” Kesalahan penggunaan kata ‘kita’ banyak kita temukan dalam penggunaan bahasa para politisi. Seperti komentar ketua tim sukses salah satu kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Dia menyampaikan ke media,"Apa yang terjadi dalam situasi politik hari ini, ya kita tetap dukung. Kita bukan barisan di dalam parpol, tapi kita relawannya.” Penggunaan kata ‘kita’ dalam pernyataan tersebut dapat ditafsirkan beragam oleh pemirsa maupun pembaca. Penggunaan kata ‘kita’ tersebut dapat diartikan bahwa wartawan, pemirsa, pembaca ikut dilibatkan. Semua dipersepsikan mendukung calon tersebut. Kenyataannya kan tidak. Atau justru hanya sebagian kecil yang mendukung. Bagi pendukung calon tersebut pernyataan itu tentu tidak menjadi masalah. Sedangkan bagi yang tidak mendukung, mungkin akan berkata, “Kita? Kalian saja kali?” Oleh karena itu, kata yang digunakan seharusnya kata ‘kami.’ Artis-artis dalam berbagai acara televisi juga sering salah menempatkan penggunaan ‘kita’ dan ‘kami.’ Kesalahan serupa pun pernah kita lakukan dalam komunikasi sehari-hari. Perbedaan penggunaan kata ‘kita’ dan ‘kami’ perlu diluruskan. Berdasarkan KBBI Daring, kata ‘kami’ diartikan sebagai (kata benda) yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca. Dengan digunakannya kata ‘kami,’ lawan bicara ataupun pembaca, tidak termasuk atau tidak dilibatkan. Kata ‘kita’ memiliki makna sebaliknya. Berdasarkan KBBI Daring, kata ‘kita’ diartikan sebagai persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara. Dengan digunakannya kata ‘kita’, lawan bicara ataupun pembaca termasuk atau dilibatkan. Dengan demikian, kata ‘kita’ dan ‘kami’ sama-sama pronomina persona pertama jamak. Keduanya bentuk jamak dari kata saya, aku dan sejenisnya. Perbedaannya, apabila ‘saya’ melibatkan pendengar maupun pembaca, dapat menggunakan ‘kita,’ sedangkan kata ‘saya’ tidak melibatkan lawan bicara maupun pembaca, dapat menggunakan ‘kami.’ Penggunaan Pronomina Secara Retoris Perihal penggunaan pronomina disinggung Jason Jones dan Shan Wareing, dalam artikelnya Bahasa dan Politik. Menurut mereka, cara seorang pembicara politik menyebut diri sendiri bisa digunakan untuk mengedepankan atau menyembunyikan agen dan pertanggungjawaban atas tindakan tertentu. Politisi memiliki kecenderungan akan lantang menggunakan ‘saya’ untuk menyebut capaian yang positif. Sedangkan untuk masalah yang kontroversial, dia akan menggunakan ‘kami’ untuk membiaskan pelaku. Sepertinya, pendapat tersebut memang benar adanya. Sepakat? Kata ‘kita’ bukan sembarangan kata. Kata ‘kita’ bisa menjadi bahasa solidaritas, bahasa kebersamaan. Seperti dalam penggalan pidato Presiden Soekarno pengantar sebelum membaca naskah Proklamasi. ... Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.... Contoh lain, masih ingat jargon politik dalam Pilpres 2014? Tidak perlu disebutkan anda sudah tahu. Kata ‘kita’ menjadi jargon pendukung, relawan, dan juru kampanye salah satu capres. Pilihan kata ‘kita’ menggugah empati publik. Publik turut merasa memiliki, turut menjadi bagian diri capres, dan turut terwakili. Kata ‘kita’ itu merepresentasikan wajah rakyat Indonesia. Begitulah kira-kira pesan di balik penggunaan jargon politik itu. Yah, begitulah. Bahasa mempunyai daya. Bahasa juga bisa memperdaya. Kita harus cerdas mencernanya. Jangan terperdaya pejabat maupun politisi yang ringan mengatasnamakan kepentingan kita (rakyat). Padahal kenyataannya setelah menduduki jabatan, mereka mulai melupakan ‘kita’. Mereka hanya mengingat ‘saya’ atau ‘kami.’ Jadi ingat pesan dalam lagu Broery Marantika dan Dewi Yull, jangan (lagi) ada dusta di antara kita. |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|