Ali K.BahasaOnline
Ada yang berbeda dengan jalan-jalan di Bumi Etam. Utamanya jalan-jalan di ibu kota kabupaten/kota, seperti Samarinda dan Balikpapan. Biasanya pengguna jalan disuguhi baliho dengan aneka iklan produk dan jasa. Sejak awal tahun 2017 suasana mulai berganti. Baliho-baliho besar mulai diisi iklan diri jelang Pilkada 2018. Iya, iklan diri bakal calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Timur. Wajah-wajahnya pun beraneka rupa. Wajah bupati dan walikota yang masih aktif menjabat dan mencoba peruntungan untuk naik kasta. Wajah yang hanya kita kenal fotonya, tetapi belum tahu karyanya. Wajah yang dulu pernah berkarya, pensiun, dan mencoba berkarya lagi. Ada pula wajah baru yang memperkenalkan diri dengan tampak malu-malu. Mereka memiliki gayanya masing-masing. Mulai dari pose foto, pilihan baju, dan juga gaya bahasa nan memesona. Seolah tidak ingin kalah dengan iklan ponsel dan sabun. Mereka pun menggunakan pendekatan beraneka rupa. Selain metode konvensional menebar baliho di jalan-jalan, para calon gubernur juga mulai menjaring simpati melalui media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Para bakal calon gubernur dan wakil gubernur menyadari saat ini media sosial memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat. Informasi akan lebih cepat tersampaikan tanpa sekat dengan masyarakat. Sayang, informasi yang disampaikan masih sebatas ‘bedak dan lipstik’. Wajah-wajah lama masih bicara yang itu-itu saja. Mereka belum menyampaikan prestasi dan bukti nyata atas kepemimpinannya. Atau bingung apa yang dapat dibanggakan? Wajah-wajah baru seolah sebatas menjual slogan sambil memikirkan apa yang hendak ditawarkan. Para bakal calon masih sibuk dengan kemasan pencitraan diri belum kualitas diri. Semua menawarkan janji bin mimpi. Yah lupa, mereka kan politisi. Ada sebuah lelucon lama yang unik nan menggelitik. Jason Jones dan Shan Wareing menyampaikan, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong?” Jawab, “Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.” Artinya, politisi tidak pernah berhenti berbohong dan akan selalu berbohong. Maaf, itu bukan pendapat saya. Saya hanya mengutip saja. Politisi memang lihai dalam bergaya bahasa, utamanya eufimisme. Bahasa eufimisme berperan membungkus sampah dapat terlihat mewah. Meminjam kepentingan rakyat padahal untuk kepentingan pribadi dan konglomerat. Bahasa calon gubernur dan wakil gubernur masih banyak yang abstrak. Lukisan kali ye? Memang, bahasa politik lebih banyak berisi pendapat dan ungkapan tidak jelas bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Bahasa politik dirancang untuk membuat dusta terdengar nyata dan benar adanya. Membuat omong kosong terdengar meyakinkan. Terlebih jelang Pilkada, para bakal calon mulai memainkan drama. Memajang visi misi dengan rapi. Melambai tangan agar masyarakat mendekat. Bujuk rayu pun dilancarkan. Bagi yang tidak bisa ‘membaca’, yang dikatakan benar atau sebatas tipu muslihat, pasti terperdaya. Perlu wawasan agar dapat membedakan. Para bakal calon gubernur dan wakil gubernur sebaiknya berbenah diri dalam memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Utamanya berbenah dalam penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Orwell mengajukan beberapa aturan penggunaan bahasa yang harus diterapkan para politisi. Aturan itu bertujuan mewujudkan komunikasi yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Pertama, janganlah menggunakan metafor atau perumpamaan. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas membuat pendengar kesulitan memahami konsep yang diajukan. Masyarakat sudah terbiasa hidup sederhana. Masyarakat memerlukan kesederhanaan pula dalam konsep bahasa politisi agar mudah mencernanya. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek mampu mengemukakan maksud yang sama. Kata yang panjang memang kedengarannya lebih formal dan serius daripada kata-kata pendek. Acap kali politisi menggunakan kalimat panjang untuk membuat orang terkesan, orang segan, atau malah agar orang kebingungan. Gagasan berbobot tidak akan hilang taji dengan pernyataan yang sederhana. Ketiga, kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang saja. Menambah kata-kata yang tidak perlu merupakan teknik membuat pernyataan lebih mengesankan dari sebenarnya. Efeknya pernyataan jadi sulit dimengerti. Kalau politisi berharap agar rakyat benar-benar memahami yang dikatakan, buanglah kata-kata yang tidak diperlukan. Keempat, jangan menggunakan kata pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif. Ini terkait dengan masalah tata bahasa. Kalimat aktif mampu memberikan informasi lebih jelas dan langsung. Sedangkan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, rumit, informasinya pun lebih sedikit. Kelima, jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah, atau jargon apabila ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama. Istilah yang terkesan hebat sebatas berfungsi afektif, bukan informatif. Pendengar sebatas terkesan dengan betapa hebatnya si pembicara. Saat ditanya apa isi yang didengarkan, hanya geleng-geleng kepala alias tidak tahu maksudnya. Keenam, semua aturan tersebut lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang tidak benar. Maksudnya, yang penting katakan yang sebenarnya. Dalam hal ini, isi lebih utama daripada mewahnya kemasan. Memang yang penting dari sebuah bahasa politik adalah isi yang disampaikan. Percuma mematuhi aturan satu sampai lima apabila mengabaikan aturan keenam. Percuma menebar janji, beretorika dengan gaya bahasa nan meyakinkan apabila tidak pernah mau dan mampu merealisasikan. Selain keenam aturan tersebut, aturan lain yang perlu diperhatikan para bakal calon gubernur dan wakil gubernur, yakni janganlah sekali-kali menggoreng isu SARA. Pilkada Kalimantan Timur dapat belajar dari panasnya Pilkada-Pilkada sebelumnya yang disebabkan gorengan isu SARA. Masyarakat Kalimantan Timur sangatlah heterogen. Jangan ada yang coba-coba menyentil dengan sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan, dan golongan. Terlalu sayang mempertaruhkan persatuan hanya untuk kepentingan kekuasaan (sesaat). Pilkada 2018 menjadi pesta demokasi masyarakat Kalimantan Timur. Saatnya masyarakat mencermati bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang ada sedari sekarang. Silakan bakal calon gubernur maupun wakil gubernur saling berlomba. Silakan memilah dan memilih bahasa yang tepat agar masyarakat terpikat. Silakan menunjukkan kualitas diri bukan sekadar obral janji. Sekian. |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|