Ali K.BahasaOnline
Sesempurna-sempurnanya gading pasti ada retaknya. Demikian juga cintamu. Bersabarlah. Anda pasti sudah bisa menebak siapa perangkai kata-kata mutiara tersebut. Tepat. Mario Teguh. Hari-hari ini publik dibuat kaget dengan masalah yang membelit Sang Motivator. Mario Teguh tengah mendapat tekanan besar perihal kehidupan pada masa lalunya. Seperti banyak diberitakan, Pak Mario tidak mau mengakui kalau Kiswinar adalah putranya. Bersama dengan itu pula bermunculan cerita miring masa lalu Mario Teguh. Mau tidak mau hal itu menjadi konsumsi publik. Beragam hujatan pun datang. Hal itu memunculkan aneka persepsi negatif tentang Mario Teguh. Tentunya itu bertentangan dengan citra diri Mario Teguh selama ini. Sosok sempurna. Kata-katanya inspiratif. Penuh motivasi. Yang gundah bin galau bisa kembali sumringah. Yang baru putus cinta bisa segera move on. Ekspektasi masyarakat terhadap Mario Teguh memang begitu tinggi. Bahwa kehidupan Mario Teguh sesempurna untaian kata yang disampaikan. Seolah ada kewajiban bagi Sang Motivator, segala tindakannya harus seindah kata-kata yang disampaikan. Ada yang menarik dalam tulisan kolom salah satu redaktur Kompas, Bambang Priyo Jatmiko. Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban (14/9). Bambang menganggap pandangan masyarakat yang seperti itu salah kaprah. Bambang menganalogikan dengan seorang penjual kopi enak yang didatangi ratusan pelanggan tiap hari. Belum tentu si pedagang kopi suka minuman tersebut. Bisa saja asam lambung si pedagang akan kumat ketika dia menyeruput kopi. Di sinilah posisi konsumen. Dia berhak mendapatkan sesuatu dari produsen untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumen berhak puas. Namun demikian, konsumen tak berhak untuk memaksa si penjual menyenangi barang-barang yang dijualnya. Bagi Bambang, masyarakat tidak berhak menuntut para motivator berperilaku seperti apa yang disampaikannya dalam ceramah, talkshow, serta yang ditulis dalam buku. Semua yang disampaikan para motivator pada dasarnya adalah komoditas yang diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar. Bukan Komoditas Analogi penjual kopi yang disampaikan tersebut rasanya kurang pas. Motivator dan materi yang disampaikan bukanlah komoditas. Motivator layaknya seorang pendakwah lintas agama. Pesan yang disampaikan pada dasarnya penuh nilai-nilai kebaikan. Penunjuk arah bagi seseorang dalam menghadapi permasalahan. Kekuatan bahasa seorang motivator tidak sebatas pada tuturan yang disampaikan. Kekuatan bahasa tutur dan tulis tersebut dipengaruhi pula diri motivator. Bahasa merupakan identitas seseorang. Bahasa motivasi yang disampaikan secara otomatis melekat pada diri. Ketika seseorang menyampaikan pesan-pesan kebaikan, kebaikan itu juga dipersepsikan melekat pada diri orang tersebut. Kekuatan pesan motivasi terkait dengan kepercayaan. Kepercayaan bahwa sang motivator juga sesempurna tuturannya. Joanna Thornborrow (2006) dalam tulisannya Bahasa dan Identitas mengungkapkan bahwa lewat cara kita menggunakan bahasa merupakan salah satu cara paling dasar untuk memengaruhi cara orang lain memandang diri kita. Dalam pepatah Jawa ajining diri gumantung ing lathi. Bahasa sangat penting bagi pembentukan identitas personal. Melalui bahasa yang dituturkan, dapat menimbulkan beragam persepsi diri. Persepsi diri yang penyabar, penyayang, ataupun pemarah dapat diterjemahkan dari bahasa kita. Begitu pula persepsi masyarakat yang melekat pada diri seorang motivator. Kata-kata mutiara dan penuh motivasi yang disampaikan membentuk citra diri. Masyarakat mempersepsikan diri motivator seperti kata-kata yang disampaikan. Jadi, tidak salah kaprah apabila masyarakat mempersepsikan seorang Mario Teguh sebagai penyayang keluarga, penyabar, dan label-label baik lainnya. Kodrat bahwa tidak ada manusia yang sempurna, itu baru benar. Kita perlu menyadari Mario Teguh dan motivator lainnya juga manusia. Motivator bukan sosok sempurna tanpa cela. Mereka juga memiliki masa lalu. Mereka juga mempunyai masalah. Mereka juga memiliki keterbatasan. Bukankah dengan banyaknya masalah yang pernah dihadapi menjadi kamus bagi motivator memberikan pencerahan. Kalaupun beragam cerita miring yang menimpa Mario Teguh benar adanya, memang butuh waktu bagi masyarakat untuk menerima. Berkurangnya kepercayaan masyarakat menjadi kosekuensi logis. Bisa saja akan ada yang bilang, “Lah, dia sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya, ngapain menasehati orang lain.” Begitulah kira-kira. Deretan nama tokoh runtuh citra dirinya karena dianggap cela oleh masyarakat. Begitulah citra diri. Citra diri dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan sosial. Dibangun tidak dalam hitungan hari. Butuh waktu dan perjuangan untuk menitinya. Sayang, citra bisa runtuh dalam hitungan detik. Peribahasa yang pas, nila setitik rusak susu sebelanga. Masalah yang membelit Mario Teguh semacam pembuktian diri. Momentum ini justru tepat untuk mengangkat citranya lebih tinggi lagi. Bahwa pencerahan Mario Teguh bukan perkataan belaka. Bahwa pesan motivasinya memang berisi. Bahwa indah mutiara tidak sebatas dalam kata-katanya, namun juga ada dalam diri. Sahabat-sahabatku yang super. Jangan pernah takut dengan masa lalu. Jadikan mereka ajang pendewasaan diri. Kian banyak masalah yang dihadapi maka diri kian matang. Hadapilah dengan senyuman. Berikan salam kepada mereka, “Selamat datang masalah.” Urai mereka satu persatu dengan kesabaran. Kelak mereka kan dapat kita selesaikan. Andai kalian menemui kebuntuan, ada Tuhan yang senantiasa mengulurkan bantuan. Itu! Maaf, itu bukan kata-kata Mario Teguh. Itu kata-kata saya. Salam lemper. |
Histats.com
ARSIP BLOG
November 2018
LABEL
All
|